27. Nasib Cinta Kita

🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈

Tiada hari yang terlewati olehku tanpa menjenguk Mas Hasbi. Kadang menginap, kadang juga tidak jika sudah ada Mas Rizqi yang menemani Ummi Halimah.

Aku selalu berusaha tegar disaat aku datang menjenguk Mas Hasbi. Aku harus pasrahkan semuanya hanya kepada Allah. Aku hanya berharap kepada-Nya. Menggantungkan hati hanya kepada-Nya.

Setelah menjenguk Mama Wulan kemarin. Aku sadar bahwa semua terjadi atas kuasa-Nya. Jika Allah berkehendak, maka apa pun bisa terjadi.

Mama Wulan yang sangat lemah dan divonis gagal ginjal akut dan begitu panjangnya perjalanan mencari pendonor, pada akhirnya Allah mengirimkan bantuannya lewat seseorang yang datang tiba-tiba hendak mendonorkan ginjalnya.

Padahal saat itu, semua keluarga telah pasrah dan merasa putuh asa atas pencariannya yang tak kunjung mendapat hasil.

Begitu pun seharusnya aku, mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Tak ada yang bisa Aku lakukan selain berdo'a saat ini atas kesembuhan Mas Hasbi. Karena Hanya Dia-lah yang mampu berkuasa atas semua makhluk ciptaan-Nya.

Hari ini merupakan  hari ke enam MS Hasbi dirawat. Aku sengaja datang pagi hari, karena selain kuliah libur, Aku juga ingin menggantikan Ummi. Kasihan dia beberapa hari ini terus menjaga Mas Hasbi di Rumah Sakit.

Ummi memang sempat menolak untuk pulang. Tapi setelah aku bujuk dan Mas Rizqi juga ikut membujuk, akhirnya beliau mau pulang. "Bukankah ini semua demi kesehatan Ummi juga?" bujukku tadi berkali-kali dengan berbagai rayuan.

Di ruangan serba putih ini, begitu hening. Tak ada yang bisa diajak bicara. Lelaki di hadapanku masih setia dengan dunianya sendiri. Entah masih enggan ataukah ia masih berjuang kembali ke dunia ini, Aku tak tahu.

Beberapa menit yang lalu, dua orang suster mengecek keadaannya yang katanya mulai stabil.
Mudah-mudahan hari ini Mas Hasbi akan membuka mata. Doaku dalam hati.

Melihat ia terbaring dengan tenang begini. Aku bisa menatapnya lama. Tapi ... air mata ini tak bisa kutahan jika lama-lama menatapnya.

Hati ini rindu, sesak di dadaku. Nyeri dalam hatiku kembali menyeruak. "Kita saling mencintai Mas. Kenapa kita harus terpisah?" ucapku lirih, mengingat kenyataan yang ada.

Apalagi Mama Wulan kemarin, masih saja dengan antusianya menaruh harapan kepadaku, betapa bahagianya ia kalau aku telah sah menjadi istri Kak Fadhil. Bodohnya Aku yang tak bisa menolaknya, Mas. Padahal hatiku sangat ingin membatalkan pernikahanku dengan Kak Fadhil karena Nisa hanya ingin menikah dengan Mas Hasbi.

Air mataku meluruh saat netra ini lekat menatapnya. Pikiranku dengan segala kecamukannya membuat kepiluan semakin menerpa ke dalam hatiku.

Ya Allah ... kusebut Asma-Nya sembari menghela napas dalam untuk mencari ketenangan.

Dari pada aku melamun, pikiran meracau, juga bosan menunggu dengan diam saja. Akhirnya kuputuskan membuka AlQur'an. Hendak mengaji sembari menemaninya.

Kulihat Dia masih tetap dalam keadaan yang sama.
Masih dengan eratnya memejamkan mata.
Aku sampai heran apa ia tak capek?. Apa ia tak Bosan, terus berbaring dengan mata terpejam seperti itu?.

Air mataku mengalir. Merutuki kebodohan apa yang baru saja aku pikirkan. Namanya juga orang koma. Ya nggak sadar kan?.
Segera kuusap air mata. Aku harus kuat, batinku

Aku pun mulai mengaji di sampingnya. Hanya suaraku yang mendominasi di ruangan yang berukuran empat kali dua meter ini. Sepi ... hanya suara sedikit gaduh dari arah luar yang sesekali terdengar saat lalu lalang orang lain melintas. Pintu sengaja kubuka, karena kami hanya berdua saja saat ini.

Saat tilawahku baru saja usai dan hampir 15 menit berlalu. Kuletakkan mushaf di atas meja yang berada di samping brangkar, kemudian kembali menatapnya.

Tiba-tiba sebuah pemandangan yang mengejutkan kudapati. Kulihat jari-jari tangan kanan Mas Hasbi bergerak. Sontak senyuman terbit dari bibirku, kelopak mataku sedikit membelalak saking senangnya.

"Mas ...," ucapku lirih.

Detik berikutnya, kelopak matanya mengerjap perlahan. Seperti menyesuaikan cahaya yang akan tertangkap oleh netranya yang lama terpejam.

"Mas Hasbi," ucapku perlahan, Air mata kebahagiaan mulai mengalir di kedua pipi. Tapi dengan cepat tanganku menghempasnya.

Dia menoleh kearahku, menatapku, lalu bibirnya mengukir senyum begitu netranya terbuka sempurna dan mendapatiku di sampingnya.
"Zi-ziyadah," ucapnya sangat lirih tapi masih bisa kudengar.

"Alhamdulillah ya Allah ... Ziyya panggil Dokter dulu ya Mas," ucapku bersemangat hendak beranjak. Tapi dia memegang lenganku, Ia menggelengkan kepala.

"Mi ... num," ucapnya terbata.

Sepertinya ia kehausan setelah bangun dari tidur panjangnya.
Kubantu ia sedikit menegakkan tubuhnya lalu kusodorkan gelas, perlahan membantunya untuk minum.
"Bismillahirrohmanirrohim." Terlontar kalimat Basmalah dari bibirnya yang kering.

"Terima kasih," ucapnya tersenyum ke arahku.

Aku pun mengangguk kemudian membalas senyumnya. Aku sangat merindukan senyuman itu. Dan sekarang ia telah mengobati rindu yang mendera hatiku beberapa hari ini.

Ya Allah ... alhamdulillah bini'matihi tatimmus sholihat. Hatiku sangat bahagia mendapatkan kenyataan ini. Serasa ada setetes embun menyejukkan hatiku yang sudah lama mengering.
Kebahagiaan yang kurasa menyeruakkan bunga-bunga kebahagiaan dalam hati, sehingga bibir ini tak lelahnya menyungging senyum.

"Ziyya panggilin Dokter ya Mas, untuk memeriksa bagaimana  keadaan Mas Hasbi sekarang."

"Mas baik-baik aja kok Ziyya. Kamu di sini saja ya. Mas kangen."

Blush ... kurasakan pipiku menghangat. Aku menunduk malu, bisa-bisanya ia mengatakan hal itu.
Tapi aku tak munafik, jika hatiku saat  bahagia mendengar ungkapan rindu darinya, karena pada kenyataannya Aku merasakan hal yang sama. Bedanya, Aku tak berani mengungkapkannya.

"Maaf Ziyya, Mas keceplosan." Dia tersenyum manis menatapku. Aku hanya mengangguk perlahan dengan tetap tertunduk menyembunyikan rona kemerah-merahan pada pipiku.

"Tapi kan ... Dokter perlu mengecek keadaan Mas, biar tau lebih pasti gimana keadaan Mas sekarang," bujukku kembali.

"Ya udah. Terserah kamu aja," ucapnya datar lalu mengalihkan pandangannya ke depan.

"Loh ... Mas Hasbi marah nih?" tanyaku peka.

"Nggak," jawabnya datar.

"Masak sih. Tapi kok ekspresinya gitu?" tanyaku lagi tak percaya.

"Gimana pernikahan kamu?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Ditunda Mas," jawabku menunduk.
Hatiku tiba-tiba nyeri mengingat hal ini.
"Tapi Ziyya inginnya-"
Hening. Aku enggan melanjutkan ucapanku.

"Inginnya apa?" Mas Hasbi menatapku kembali.

Aku mendongak seraya menggigit bibir bawahku. Ragu untuk meneruskan ucapanku yang tadi. Akhirnya aku memilih untuk menggelengkan kepala.

"Inginnya apa Ziyyadah?" tanyanya mendesakku untuk jujur. Aku tertunduk, tak berani membalas tatapannya karena aku juga takut untuk menjawabnya.

"Ziyyadah Khoirun Nisa'," ucapnya dengan suara lebih lembut seakan memohon untuk meneruskan ucapanku.

Dengan memberanikan diri. Setelah menghela napas, aku mulai berucap, " Zi-ziya ingin batalin pernikahan ini Mas. Ziyya ingin nikahnya dengan Mas Hasbi." Air mataku kembali mencelos setelah menyelesaikan kalimat ini.

Gurat terkejut pada awalnya tercetak jelas diwajahnya, tapi detik kemudian kepalanya menghadap keatas, tepatnya menatap langit-langit ruangan ini yang polos putih bersih.

Hening ... tak ada suara untuk beberapa menit. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing.

Tak berselang lama, netranya menatapku nanar, gurat rasa bersalah tampak dari tatapannya. "Ziyya ... maafin Mas ya."

Sontak Kugelengkan kepala berkali-kali."Nggak Mas, ini bukan salahnya Mas Hasbi."

"Tapi Zi-"

"Udah ya. Mas Hasbi nggak usah pikirin ucapan Ziyya tadi. Ziyya panggilin Dokter dulu." Tanpa menunggu persetujuannya, aku langsung saja beranjak keluar ruangan ini.

Kakiku melangkah dengan cepat membawaku keluar dari ruangan yang sempat membuat dada ini sesak. Lebih tepatnya aku menghindar dari pembahasan yang nantinya akan semakin menyakiti diriku.

Aku tak boleh terus seperti ini. Bukankah kenyataan ini harus kita hadapi, bukan untuk disesali dan terus diangan-angan.

Air mata yang mengalir di pipi segera kutepis. Kuhela napas berkali-kali untuk menemukan ruang napas agar melegakan dalam dada.

Langkahku sedikit berlari menuju ke ruangan dokter.
Setelahnya, barulah Aku memilih duduk di bangku depan ruangan ini, menunggu Dokter itu keluar.

Netraku sesekali memandang lalu lalang orang di sekeliling mulai ramai. Kemudian beralih menatap Jam dinding yang menunjukkan pukul 10.

Tak terasa aku disini sudah hampir 2 jam, batinku.

"Assalamu'alaikum Nis." Tiba-tiba datang seorang laki-laki di hadapanku. Tampak laki-laki itu tersenyum.
Penampilan laki-laki ini berbeda, seakan kembali sedia kala, begitu tampak rapi.

Apa mungkin setelah ibunya dinyatakan telah sembuh. Frustasinya telah menguap dan mengembalikan ia pada dirinya yang dulu? batinku.

"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh." Kepalaku mendongak, memastikan suara yang tak asing itu ternyata benar adanya.
"Kak Fadhil."

"Gimana keadaan Hasbi?"

"Alhamdulillah dia baru saja sadar Kak. Sekarang lagi diperiksa dokter."

"Alhamdulillah." Helaan nafas terdengar darinya. Ia pun ikut duduk di sampingku dengan jarak 1 kursi yang kosong.

"Kenapa wajahmu sembab dan terlihat sedih begitu? Bukankah seharusnya kamu bahagia?" tanyanya menoleh ke arahku.

Aku hanya diam tertunduk. Entahlah, kenapa begitu enggan hari ini aku berbicara dengan laki-laki yang meruapakan calon suamiku ini.

"Nggak apa-apa, Kak." Hanya kata itu yang mampu kulontarkan.

"Sudah ngabarin Ummi?" tanya Kak Fadhil lagi. Sepertinya Fadhil mengerti keadaanku . Ia tak mau memaksa diriku untuk memberikan alasan kenapa kelihatan sedih seperti ini.

"Astaghfirullah, iya kak. Nisa lupa makasih udah diingetin." Aku langsung mengambil ponsel, lalu menghubungi Ummi Halimah.

"Gimana perkembangan Mama Wulan Kak?" Aku bertanya dan sebentar menoleh ke arah Kak Fadhil yang sepertinya melamun.

"Alhamdulillah ... lusa Mama in syaa Allah diperbolehkan pulang. Tapi harus tetap kontrol rutin ke mari," jelasnya

"Alhamdulillah."

"Oh iya Nis. Rencananya tiga hari lagi. Keluargaku akan kerumahmu untuk membahas pernikahan kita yang tertunda. Kamu nggak keberatan kan?" tanyanya yang saat ini menatapku lekat.

Degh.
Hatiku serasa terhantam mendengar ucapan Kak Fadhil.

Apakah ia tak pernah terbesit dalam pikirannya untuk iba dengan cintaku dan cinta Mas Hasbi?
Mengingat keadaan Mama Wulan telah membaik.
Masihkah ia ingin memaksa cintaku untuk dimilikinya?
Padahal sudah jelas, hatiku sampai saat ini masih setia untuk satu orang laki-laki yang sampai saat ini pula aku harap hanya ia yang akan menjadi Imamku. batinku terus meracau menatapnya ingin marah-marah terhadapnya.

"Gimana Nis? Kamu nggak berpikir untuk membatalkan pernikahan kita setelah kesembuhan Mama kan Nis?"

Hening. Aku memilih diam. Iya ... Aku tak mampu untuk berkata lagi. Hatiku serasa remuk kembali mendapati kenyataan ini.

"Mama yang bilang soal ini semalam Nis. Kakak tak berani untuk membantah keinginannya. Keadaan Mama masih belum sembuh total. Kakak hanya takut akan terjadi apa-apa sama Mama kalau Kakak menolak keinginannya ini."

Cukup panjang penjelasan yang Kak Fadhil lontarkan. Aku hanya bisa menyimak dan tak menanggapinya dengan satu kata pun. Toh Aku sepertinya juga tak berani untuk berkata " aku ingin batalin pernikahan ini."

Aku langsung mendongak saat tampak seorang dokter dan seorang suster yanga akan keluar ruangan. Dengan cepat Aku beranjak, menghampiri dokter yang baru saja selesai memeriksa Mas Hasbi.

----***----

Hasbi Pov's

Debaran hatiku begitu cepat, sesak di dadaku pun ikut mendera. Sepeninggal Dokter dari ruangan ini. Netraku mendapati sosok wanita yang masuk tak sendiri lagi ke ruangan ini, di belakangnya diikuti seorang laki-laki.

Meski ia sahabatku, entah mengapa, hati ini masih saja berat untuk menerima kenyataan kalau dia adalah calon suami Ziyyadah. Apakah ini berarti aku belum Ikhlas melepasnya?.

Ya Allah ... berilah hamba kekuatan dan ketegaran.
Seulas senyum paksa kucetak pada kedua bibir yang mengatup.

"Alhamdulillah kata Dokter. Keadaan Mas Hasbi sudah membaik. Tinggal nunggu pemulihan dibagian lengan saja Mas. Ziyya juga sudah kasih tau Kak Himma tadi, kalau Mas sudah sadar. Katanya, sebentar lagi mereka akan ke sini." Dengan wajah ceria dan antusias Nisa menceritakan hal yang membuatku tak kalah bahagia.

"Alhamdulillah. Makasih ya Ziy." Senyuman cerah pun ikut terhias di wajahku.

"Fadhil." Arah pandangku kini tertuju pada laki-laki yang berdiri di belakang Ziya.

"Iya Has. Assalamu'alaikum. Maaf Ane baru sempat jenguk Ente hari ini," ucapnya.

"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh. Iya Fadh nggak pa-pa. Ane juga baru sadar. Kalau Ente kemarin-kemarin ke sini. Malah Ane nggak bisa nyambut kedatangan Ente. Hehe." Kami terkekeh bersamaan.

"Oia ... Kak Fadhil mau kan nemenin Mas Hasbi dulu di sini? Nisa mau tebus obat dulu. Tadi disuruh dokternya." Ziyya beranjak kemudian berlalu dari hadapan kami setelah mendapat anggukan dari Fadhil.

"Ziyya tinggal dulu ya, Mas." Aku menganggukkan kepala sembari tersenyum menatapnya.
Wanita yang kucintai itu begitu pedulinya padaku. Tak heran sih, karena dia juga mencintaiku.

"Alhamdulillah akhirnya Ente sadar Has. Ane senang banget mendengar kabar ini." Binaran senyum tulus begitu tampak dari wajah Fadhil.

"Alhamdulillah, Fadh. Ane juga bersyukur. Allah masih memberi kesempatan Ane untuk merasakan hidup di dunia ini."

"Maafin Ane ya, Has. Secara nggak langsung, ente mengalami kecelakaan ini gara-gara Ane," ungkapnya merasa bersalah.

Aku menggeleng cepat. "Qodarullah Fadh. Ini semua sudah taqdir-Nya. Jadi tak patut kita menyalahkan siapa pun."

"Iya Has. Ente benar, Ane salut sama Nisa Has. Tak ada lelahnya dia menemani Ente setiap hari. Sampai-sampai kata Ummi dia nginep nemenin Ummi. Segitu cintanya dia ya  sama Ente." Fadhil yang saat ini duduk di sampingku berdecak Kagum.

"Iya?" Senyumku merekah, begitu bahagia mendapati kabar ini. Tak salah aku memilihnya waktu itu. Tapi-
Sudahlah ...

Kami berdua lanjut mengobrol. Aku pun tak lupa menyakan keadaan Mama Wulan ke Fadhil, berita gembira pun aku dapatkan. Tapi setelahnya aku menerima pil pahit lagi saat Fadhil mengatakan akan melanjutkan pernikahan yang tertunda itu secepatnya, itu murni keinginan Mamanya.

Bagaimana hatiku? Kembali hancur.

Yakinlah wahai hati bahwa Allah tak akan memberi ujian kepada hambaNya diluar batas kemampuan hambaNya.

Al-Baqarah 2:286

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْۗ ......َ

(Allah tidaklah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya, Ia mendapat dari apa yang diusahakannya, dan ia beroleh pula dari hasil kejahatannya......)

Dapatkan Aplikasi Quran:https://goo.gl/w6rESk
📗📗📗📗📗

.
.
.
.
.
.
.

"Kita berdekatan. Tapi cinta kita menjauh."

Nisa&Habsi

🔷🔷🔷🔷🔷🔷🔷🔷🔷

Bersambung.
9 Romadhon 1440H

Assalamu'alaikum sahabat pembaca.😊
Alhamdulillah Publish lagi nih.

Gimana menurut kalian cerita ini?
Komentarnya untuk :
1. Nisa
2. Hasbi
3. Fadhil

Sikap mereka gimana sih menurut kalian???

Yuk ramein kolom komentar.
Jangan lupa tekan bintang dibagian bawah ya. 😉

Semoga akan ada manfaat yang bisa dipetik dalam Part ini.
Aamiin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top