26. Laa Tai'as
🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈
Suara bising semakin melemah, mengikuti langkah orang-orang yang mulai keluar dari ruang Masjid ini.
Tubuhku masih terpaku, diam. Kakiku terasa lemah untuk diajak bangkit. Pikiranku berkecamuk dengan berbagai macam pertanyaan yang belum juga terjawab.
Apakah benar rekan yang dimaksud itu Mas Hasbi?
Jika iya. Gimana keadaannya sekarang?
Dia kecelakaannya dimana?
Dimana ia sekarang?
Parahkah keadaannya?
Dan banyak lagi pertatanyaan yang hanya tersimpan di memori otakku, tak mampu terucap oleh lisanku.
Untuk menjawab rasa penasaran dan mengurangi kecamuknya pikiranku. Aku bangkit dan segera mendekat ke arah Kak Fadhil.
"Kak ... Mas Hasbikah yang kecelakaan dengan Pak penghulu itu?" Kak Fadhil mendongak dan menatapku. Dia diam tak menjawab lalu kembali menunduk.
Aku ikut duduk di depannya.
"Kak ... tolong jawab Kak." Aku menangkup kedua tanganku memohon.
"Ma-maaf kan Kakak Nis. Ini semua salah Kakak." Matanya tampak berkaca-kaca.
Aku menutup mulutku. Menggeleng-geleng masih tak percaya.
"Jadi benar? Terus ... hiks ... hiks... sekarang di mana Mas Hasbi kak?"
"Masih perjalanan menuju kemari Nis." Aku langsung bangkit, berjalan cepat hendak keluar Masjid karena Aku berniat menunggunya di depan Rumah Sakit ini.
Tak kuhiraukan Kak Fadhil yang sempat memanggil namaku, kutinggalkan ia yang masih duduk terpaku bersama Papanya.
"Nis ... Nisa kamu mau ke mana Nak?" ucap Ibu memegang lenganku, mencegat langkahku.
Ayah, Nenek dan Adik-adikku turut mengikuti di belakangnya.
"Nisa mau ketemu Mas Hasbi, Bu."
Ibu mengangguk, " Sama Ibu ya." Ibu kemudian menuntunku berjalan perlahan menuju tempat duduk yang terletak di depan UGD setelah kudapatkan info bahwa dua pasien yang baru mengalami kecelakaan sudah ditangani oleh dokter di dalam ruangan tersebut.
Aku duduk gelisah. Kepalaku tak hentinya menengok ke arah pintu UGD menunggu seseorang akan membukanya.
Kedua tangannku saling meremas, sedangkan posisi dudukku tak tenang. Sedikit-sedikit berganti arah ke kanan dan ke kiri.
"Tenang Sayang ... serahkan semuanya kepada Allah. Banyak-banyak do'a ya." Kubalas tatapan Ibu, menyelami tatapan matanya yang seakan menyalurkan ketenangan.
Aku mengangguk. Kedua tanganku menangkup di depan wajahku sembari dalam hatiku mulai berdoa meminta kepada-Nya. "Ya Allah ... berikanlah kesembuhan kepada Mas Hasbi. "
Sudah 15 menit terlewati. Belum juga ada tanda-tanda dokter keluar ruangan ini. Keluarga Pak Penghulu sudah sampai di tempat ini beberapa menit yang lalu. Kami semua berkumpul menunggu kabar dari dokter yang belum juga menampakkan batang hidungnya.
Aku masih terisak, penuh harap semoga tak terjadi yang serius pada keduanya.
Tapi kenapa Dokter lama sekali jika memang keduanya baik-baik saja? pikirku.
Kembali air mataku menetes, mengingat jika saja sampai Mas Hasbi-
Ah ... aku nggak mau berpikiran buruk, takut itu menjadi nyata.
Aku harus husnudhzon. Mas Hasbi pasti baik ... pasti baik ... rapalku dalam hati ingin menenangkan diriku sendiri.
"Assalamu'alaikum Ziyya." Kepalaku mendongak mendengar suara lembut seseorang memanggilku.
"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh, Ummi." Aku beranjak dan meraih tangan kanannya lalu kukecup dengan ta'dhzim.
Selanjutnya aku bersalaman dengan Mbak Himma dan si kecil Aqila, kemudian hanya menangkup kedua tangan di depan Bang Risqi, suami Kak Himma.
Aku bercerita sedikit kronologi insiden kecelakaan mobik Mas Hasbi yang sempat kudengar ceritanya tadi dari saksi mata yang ikut mengantar ke Rumah Sakit ini.
Mobil yang dikemudikan Mas Hasbi melaju dengan kecepatan diatas rata-rata, sedangkan dari arah berlawan ada mobil truk besar yang melaju juga dengan sangat cepat karena posisi hendak mendahului truk box yang memuat barang berat.
Karena posisi yang sama-sama melaju cepat itulah. Keduanya tidak bisa berhenti atau membelok tepat waktu untuk saling menghindari. Jadilah posisi tepi kanan mobil Pak hasbi, tepat di bagian sisi sopirlah yang terkena hantaman lumayan keras dari bagian sisi sopir gruk.
Akhirnya ... ditemukanlah oleh warga tubuh Mas Hasbi yang sedikit terjepit di bagian tangan kanannya. Sedangkan di dahinya terdapat lumayan banyak darah akibat terbentur. Benturan ini terjadi kemungkinan besar karena pengemudi tak menggunakan seatbelt nya saat mengemudikan mobil.
"Astaghfirullahal'dhzim ... inilah yang Ummi khawatirkan jika Hasbi bawa mobil Nak. Dia ceroboh, sering lupa untuk memakai sabuk pengaman kalau lagi mengemudi," ucap Ummi sembari mengusap wajahnya sedikit kasar. Gurat Kekhawatiran begitu tampak di wajahnya.
Tak lama setelah kami duduk bersama. Terdengar suara pintu ruang UGD terbuka.
Kami semua berhambur mendekat ke arah laki-laki berkaca mata berjas putih itu.
Setelah menjelaskan keadaan Pak Penghulu yang katanya tak begitu parah. Hanya tak sadarkan diri dan sedikit lecet di bagian kepalanya.
Kemudian ... ia beralih menghadap ke arah kami, Aku dan keluarga Mas Hasbi.
"Keadaan Pak Hasbi lumayan cukup parah. Tangan kanannya retak karena terjepit dan mengalami gagar otak yang masih tergolong kategori ringan, karena tak sampai terjadi pendarahan di otak akibat benturan keras di kepalanya. Jadi keluarga nggak perlu terlalu khawatir."
"Tapi anak saya nggak akan amnesia kan Dok?" Celetuk Ummi tiba-tiba.
"In syaa Allah nggak Bu. Tapi kami tidak bisa memprediksi kapan pasien akan sadar. Banyak berdo'a saja ya."
"Boleh kami lihat keadaan Adik saya, Dok?" tanya Kak Himma yang juga tak berhenti menangis.
Aku? Aku tak mampu berucap apa pun. Lidahku kelu, dadaku sesak. Menahan rasa khawatir yang sangat akan keadaan laki-laki yang kini terbaring lemah di dalam.
Apalagi mendengar ia gagar otak. Ya Allah ... pulihkanlah segera ia dan sadarkanlah Mas Hasbi.
"Nanti ya Bu. Setelah pasien dipindahkan di ruang rawat." Kami semua mengangguk.
"Saya Permisi." Dokter yang ber Name tag Dr. Ilham itu berlalu dari hadapan kami.
"Ya Allah ...," ucapku lirih sembari menutup mulut, air mata tak hentinya terus mengaliri kedua pipiku.
----***----
Semua yang terjadi sudah menjadi ketetapan-Nya.
Kita sebagai makhluk hanya patut meminta kekuatan dan kesabaran dalam menghadapinya.
Bukan meminta perubahan taqdir yang telah ditentukan-Nya.
Kututup mushaf hijau yang berada di tangan, menciumnya kemudian menutup resletingnya. Ba'da sholat Shubuh di Masjid Rumah Sakit tadi. Aku kembali ke kamar inap ini, bergantian dengan Ummi Halimah menjaga Mas Hasbi.
Sampai saat ini ... Mas Hasbi belum juga sadarkan diri. Dia betah banget memejamkan matanya dengan kepala yang berbalut perban putih dan tangannya yang diperban coklat melilit di lengan kanannya.
"Mas ... kapan Mas Hasbi akan membuka mata? Nggak capek apa terpejam terus?" Aku berbicara sendiri kini menemaninya. Air mataku kembali mencelos.
Merasa iba dan rindu dengan suaranya.
"Ziyya ... kamu nggak kuliah Nak?" Ummi duduk di sampingku. Sepertinya ia baru saja masuk tanpa kusadari.
Ya ... Aku menemani Ummi semalaman di Kamar inap ini.
Keluarga yang lain telah berpamit pulang semalam.
Kak Himma tak mungkin menemani Ummi karena harus menemani si kecil Aqila. Jadi kemarin sore ia sudah pamit ke rumah Ummi bersama Bang Rizqi.
Ayahku semalam kembali lagi, setelah sore harinya mengantar Ibu, Nenek dan Adik-adikku. Mengantar pakaianku dan membawakan makanan untuk kami berdua.
Ayah dan Adik Kak Fadhil? Akhirnya mereka tau bagaimana perasaanku kepada Mas Hasbi. Sedangkan Ibu Wulan, Ia harus kembali istirahat karena sempat ngedrop mendengar pernikahan yang tertunda.
"Ziyya nggak mau ke mana-mana Nek. Ziyya ingin menemani Mas Hasbi, Nisa harap ia akan segera sadar," ucapku dengan uata yang membengkak, akibat sering menangis.
"Aamiin ... tapi Sayang, kamu harus mikirin pendidikan kamu juga, Nak. Hasbi juga nggak akan senang kalau kamu mengabaikan tugasmu kalau ia sadar nanti." Ummi menatapku sendu.
"Tolong Ziyya Ummi, biar Ziyya izin hari ini aja ya, Mi. Besok In syaa Allah Ziyya akan masuk kuliah," ucapku memelas.
Ummi merengkuhku, kemudian kurasakan Ia menganggukkan kepalanya.
"Ummi bisa merasakan betapa kalian berdua saling mencintai Sayang. Tapi kalian anak-anak Ummi yang hebat, berusaha saling melepas demi kebahagiaan seorang sahabat dan Ibunya. Semoga Allah memberikan kekuatan dan kesabaran kepada kalian berdua dalam menjalani ini semua."
"Aamiin," ucap kami berbarengan dengan lirih.
-----***-----
5 Hari Kemudian.
"Gimana keadaan Pak Hasbi sekarang Nis?" tanya Dira sembari mengiringi langkahku keluar kelas.
"Masih belum sadar, Dir." Aku menunduk lesu dan meneruskan langkah kembali sembari menjawab pertanyaannya.
Tangan Dira dengan lembut mengusap punggungku "Yang sabar ya. Banyak-banyak berdoa kepada Allah. Aku juga doain, semoga Pak Hasbi segera sadar dan cepat pulih."
"Aamiin ... makasih ya Dir. Keadaan Mama wulan gimana?" Aku menoleh ke arahnya sebentar lalu meneruskan langkah.
"Alhamdulillah tadi pagi Mama sudah siuman, Dia nanyain kamu mulu. Kamu mau kan nanti ke sana jengukin Mama?"
Ya ... setelah insiden kecelakaan Mas Hasbi. Keesokan harinya, saat aku menjenguk Mama Wulan. Aku mendengar kabar baik, ada seorang relawan yang dirahasiakan identitasnya hendak mendonorkan ginjalnya dan ginjalnya itu cocok untuk Mama Wulan. Barulah keesokan harinya dilakukan operasi transplantasi ginjal.
Aku merasa sedikit lega saat mendengar kabar itu. Setidaknya beban pikiranku terkurangi dengan pikiran hal pernikahan yang tertunda dan tentang kondisi Mama Wulan yang sempat memburuk.
"Alhamdulillah. Iya In syaa Allah nanti pulang kampus aku mampir nengokin Mama Wulan. Maaf ya, nggak nengokin Mama kamu tiap hari."
Kuusap punggung tangan sahabatku ini dan berusaha tersenyum ke arahnya.
"Iya nggak apa-apa, aku bisa ngerti kok. Maafin keluargaku ya Nis. Jadi maksain kamu nikah sama Kak Fadhil." Tampak sorotan matanya merasa tak enak.
"Udah ... nggak perlu minta maaf gitu. Jangan dibahas lagi ya." Aku mengelak, Aku tak ingin membahas hal ini. Yang lalu biarlah berlalu, toh sudah terlanjur pisah juga sama Mas Hasbi.
"Kamu mau ke mana sekarang? Mau ikut Aku ke Kantin?" tanyanya begitu kami berada di pertigaan koridor kampus.
Aku menggeleng." Aku ke Masjid dulu Dir."
"Ya udah kalau gitu kita pisah di sini ya. Assalamu'alaikum." Aku mengangguk kemudian menjawab salamnya.
20 menit berlalu.
Ku tengok sekitar, Masjid pagi ini sepi. Kuhela napas dalam dan menghembuskannya perlahan, diikuti kemudian oleh pikiranku yang mulai melayang.
Kusandarkan punggung pada tembok bagian belakang masjid ini selepas meletakkan mukenah di tempatnya. Aku baru saja selesai melaksanakan sholat Dhuha 8 Roka'at.
Kepalaku tertunduk, menempel pada kedua tanganku yang telah bersandar di atas lutut.
Tak terasa air mataku mulai mengalir. Pikiranku teringat kembali pada Dia, laki-laki yang kucintai itu sampai saat ini belum juga sadarkan diri.
Rindu, gelisah, takut, khawatir dan sedih kini berkumpul menjadi satu kurasakan dalam hati.
Takut akan terjadi sesuatu yang tak kuinginkan. Gelisah menahan tindu ingin mendengar suaranya kembali. Ingin melihat ia membuka mata dan menyapaku dengan senyumnya.
Ah ... Mas Hasbi ... Nisa Kangeeeen. hiks.. hiks.. jeritku dalam hati diikuti suara isakan.
Aku terus larut dalam pikiran pilu, membuatku kalut dan makin terisak sampai beberapa menit.
Aku benar-benar seorang diri sekarang, tak ada yang menopangku untuk memberi kekuatan.
Hatiku rasanya begitu sakit teremas oleh keadaan yang menghimpitku dalam kesedihan.
Ya Allah ... kuatkanlah hati dan diri hamba menghadapi ujian-Mu ini yaa Robb.
Berilah kesembuhan buat Mas Hasbi.
Tak lama kemudian, tiba-tiba sebuah tangan dengan lembut mengusap punggungku dan juga kudengar suara salam darinya begitu lembut. Aku mengenal suara itu, sontak kudongakkan kepala.
Setelah kupastikan dialah yang kini berada di depanku. Langsung kuhamburkan tubuhku kepelukannya setelah menjawab salamnya.
Aku kembali tergugu. Meneruskan tangisku tanpa sungkan dan secara terang-terangan di hadapannya. Kurasakan ia mengusap punggungku lembut. Ia sangat tau bagaimana keadaanku, sehingga ia seakan merasakan apa yang aku rasakan.
Setelah merasa tenang. Aku mengusap air mataku dan mengurai pelukan kami.
Kupukul tangannya perlahan. " kamu kemana aja sih Fin? Hilang gitu aja tanpa kabar. Kamu jahat." Aku merajuk di hadapan gadis bercadar ini. Tampak ia kemudian terkekeh kemudian meraih tanganku, lalu mengusapnya perlahan.
"Maafin Aku ya. Aku sama sekali nggak bermaksud meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini. Tapi ada urusan yang sangat penting dan mendesak. Jadi terpaksa izin nggak kuliah dan tak sempat memberimu kabar."
"Tapi tetep aja. Kamu bikin aku khawatir. Hilang begitu saja dan ponsel kamu juga tak aktif."
"Hehe iya-iya maafin aku ya Nis. Please ... tadi tuh begitu urusanku selesai, aku lansung cari kamu lo. Eh... ketemunya di sini." Mendengarnya memohon dan berusaha menjelaskan.
Aku sebagai sahabat yang baik harus bisa ngertiin dia. Meskipun ia tak menjelaskan urusan penting apa itu. Bukankah setiap orang punya privasi yang berhak ia simpan sendiri, meski itu kepada sahabatnya sendiri.
"Kamu kenapa nangis sendirian di sini? Oh iya gimana keadaan Pak Hasbi?" tanya Fina menatapku lekat tampak penasaran.
Aku menunduk, buliran cairan bening ini menetes kembali. Kepalaku menggeleng. "Masih belum sadar, Fin."
"Astaghfirullahal'adhzim. Sabar ya Nis. Pak Hasbi in syaa Allah akan sembuh kok."
"Masih pantaskah aku berharap Fin? Jika nanti Mas Hasbi sadar aku ingin hidup bersama dengannya Fin? Aku nggak mau menikah dengan Kak Fadhil," ucapku mengeluarkan uneg-uneg dalam hatiku yang beberapa hari ini begitu menyesakkan dada.
Fina merengkuhku. Aku kembali terisak setelah menghabiskan kalimat itu. Fina tampak tak tega melihatku menangis dan berputus asa seperti ini.
"Segala kehidupan bukan manusia yang mengatur. Tapi ada yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu di muka bumi ini. Begitu pun hidup kita, jodoh, rizqi, nasib, masa depan. Semuanya Allahlah yang mengatur. Jadi kita tidak bisa memaksakan kehendak kita untuk mengatur taqdir-Nya, tapi kita harus memaksakan diri untuk ikhlas menerima segala apa yang ditaqdirkan-Nya." Dia menghela napas mengambil jeda, Aku masih menunggu dan mendengarkan dengan seksama apa yang ia utarakan.
"Kalau Pak Hasbi memang jodohmu, pasti akan ada jalan untuk kalian bersatu. Begitu pun sebaliknya Nisa. Kamu mengerti kan?" jelas Fina cukup panjang lebar. Fina melepaskan pelukannya kemudian kedua jempolnya mengusap air mata yang membasahi kedua pipiku.
Kepalaku mengangguk lemah.
"Kalau memang kamu merasa menjadi seorang hamba dan yakin jika taqdir Allah itu adalah yang terbaik untukmu. Maka tersenyumlah." Dia menatapku lekat menelisik segala penjuru wajahku.
Kuhirup napas dalam, kemudian perlahan kuhembuskan. Bibir kutarik membentuk lekungan. Apa yang dikatakan Fina benar adanya.
Untuk apa aku segelisah ini? Aku hanyalah seorang hamba-Nya yang harus yakin kepada-Nya, bahwa semua ini terjadi atas ketentuan-Nya. Bahwa Allah akan memberikan yang terbaik untuk setiap taqdir hamba-hamba-Nya.
Apa hakku sebagai hamba? Selain menerima segala ketentuannya dengan berusaha mengikhlaskan hati ini. Bukankah diriku ini hanya hamba yang bergelimang dosa, lemah tak berdaya dan sangat banyak keterbatasan?
Memikirkan apa yang akan terjadi dimenit berikutnya saja. Aku tak Kuasa. Apalagi memikirkan apa yang terbaik untuk diriku sendiri di masa depan. Sama sekali tak ada daya kan?
"Yakinlah ... setelah kesulitan pasti akan ada kemudahan, setelah kesedihan pasti akan ada kebahagiaan. Sekarang tinggal bagimana kita sebagai hamba berupaya menancapkan sabar dan ikhlas di hati kita," ucap Fina kembali berusaha menenangkanku dengan segala titah nasihatnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
04 Romadhon 1440 H
*Assalamu'alaikum sahabat pembaca.
Alhamdulillah baru Up nih.
Maaf ya agak lama. Karena sempet buntu ide 😁
Tapi alhamdulillah bisa Up hari ini.
Gimana part ini???
Komentarnya dong...
Karena beberapa Part lagi in syaa Allah cerita ini akan Tamat 😐
Oia...
Aku mau promo ceritaku yang revisi akan kembali Up
Cerita ini aku bikin khusus edisi Bulan Romadhon di awal" Partnya.
Cerita ringan seputar kehidupan di pondok pesantren dan bisa terbilang pendek pada setiap Partnya.
Tapi in syaa Allah isinya bisa menambah ilmu atau bisa mengingat kembali ilmu tentang Seputar Puasa dan zakat.
Jadi bisa baca cerita sekaligus ta'lim/muthola'ah ya.
Yuk jangan sampai ketinggalan baca.!
Semoga bisa memetik manfaat baik setiap membaca cerita"ku ya.
Aamiin.
Jangan lupa vote dan komentarnya 😉😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top