25. Air Mata
Buliran bening ini masih setia menemaniku malam ini, mengingat kejadian tadi siang dan juga hari esok adalah hari dimana aku harus siap menerima seseorang laki-laki yang sama sekali tak kucintai.
Flashback On
"Ikhlaskah kamu menerima kehadiranku sebagai imammu nanti Nis?" Pertanyaan itu muncul saat kami berdua sedang menunggu Dira yang pamit ke toilet. Saat makan siang di rumah makan, selepas kami bertiga berbelanja perlengkapan besok acara pernikahan kami. Di sini Dira tak hanya menemaniku, tapi dia juga berperan memilah-milah pilihan pakaian yang cocok buatku.
Aku bukanlah gadis modis yang pintar memilih busana untuk penampilan-penampilanku agar terlihat menarik.
Dari dulu. Aku paling nggak ahli dalam hal berbelanja. Baik itu memilih gamis atau kerudung yang cocok untukku. Aku hanya memilih yang simple, sederhana tak terlalu ramai motif dan yang penting itu longgar, sehingga tak membentuk lekuk tubuhku. Bukankah hal ini yang terpenting yang diajarkan syari'at agama untuk para wanita untuk menjaga kehormatannya kan? 😄
"In syaa Allah Kak. Nisa akan belajar ikhlas menerima Kakak. Tapi maaf untuk saat ini. Belum ada cinta di hati Nisa untuk Kakak." Aku hanya menunduk, duduk di seberangnya sembari memilin-milin ujung jilbabku. Gugup dan merasa bersalah.
"Iya Nis. Kakak mengerti dan in syaa Allah Kakak akan berusaha bersabar menunggu cinta itu hadir di hatimu untuk kakak. Ini aja kakak udah seneeeeng banget, Kamu mau menjadi istri kakak."
Ya Allah ... begitu tersayatnya hati ini kurasakan. Melepaskan seseorang yang aku cintai dan akan bersatu dengan orang di hadapanku yang tak aku cintai.
Aku tak menyangka jika perjalanan cintaku berakhir seperti ini. Cinta pertamaku kepada laki-laki, harus kulepaskan. Cinta laki-laki pertama yang aku terima sebagai calon kekasih halalku, berujung perpisahan yang sama-sama a tak kami inginkan.
Flashback Off
Kuhirup udara malam ini lewat jendela kamar yang terbuka. Mengusap air bening yang sedari tadi membasahi pipiku.
Aku tak boleh terus begini. Aku tak boleh larut dalam kesedihan.
Maafin aku Mas. Tangisan waktu itu bukanlah tangisan terakhirku.
Maaf ... aku yang tak bisa menahan tangis ini. Karena hanya dengan ini, salah satunya hal yang bisa mengurangi sesak di dadaku dan rasa nyeri dan perih di hatiku.
Angin malam berhembus membawa hawa dingin menerpa kulit wajahku. Membelai wajahku seakan ikut membujukku agar hati ini lebih tenang.
Kutatap langit malam ini. Begitu indah, seakan ikut juga menghibur hatiku yang sedang terlena dalam kesedihan.
Langit malam ini tampak cerah oleh cahaya rembulan yang bentuknya bulat sempurna. Gemerlipan bintang di sekitarnya menambahkan panorama keindahan pemandangan ini.
Maa syaa Allah.
Sungguh luar biasa kuasa-Mu menciptakan langit yang begitu luasnya seakan tanpa batas karena netra manusia yang tak mampu melihat ujungnya.
Sungguh luar biasa kuasa-Mu, menciptakan langit yang begitu kokohnya menjulang tinggi tanpa ada tiang satu pun yang menopangnya.
Inilah kesukaanku jika berhadapan dengan alam ciptaannya. Bisa bertafakkur alam dan melupakan sejenak segala permasalahan, jika telah dihadapkan dengan suatu hal luar biasa yang hanya mampu Dia Ciptakan.
Detak jarum jam terus berputar. Hari semakin larut. Kuputuskan menutup jendela dan menyeret korden untuk menutupinya.
Jam di dinding menunjukkan pukul 9 kurang 30 menit.
Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, bersuci dan berniat untuk melaksanakan sholat witir dan membaca surat Al Mulk sebelum tidur.
Sholat sunnah dengan bilangan ganjil ini boleh dilakukan sebelum atau setelah tidur. Tapi lebih afdholnya dilakukan sebagai penutup sholat sunnah yang lain di waktu sepertiga malam.
Jadi ... jika kita telah mampu istiqomah melakukan sholat tahajjud, maka lebih di anjurkan melakukannya setelah sholat tahajjud tersebut. Tapi jika kita belum istiqomah dan tidak yakin dengan pasti mau bangun di sepertiga malam, maka boleh dilakukan sebelum tidur atau setelah sholat fardhu Isya'.
📗📗📗📗📗
Waktu Shalat Witir Yang Paling Utama:
Yang paling utama adalah mengakhirkan pelaksanaan shalat Witir hingga akhir malam, hal itu diperuntukkan bagi orang yang yakin bahwa dirinya akan bangun (di akhir malam), berdasarkan hadits Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُوْمَ آخِرَ اللَّيْلِ، فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُوْدَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ.
'Barangsiapa yang khawatir tidak bangun pada akhir malam, maka hendaklah dia me-lakukan shalat Witir pada awal malam. Dan barangsiapa yang bersikeras untuk bangun pada akhir malam, maka hendaklah dia melakukan shalat Witir pada akhir malam, karena shalat di akhir malam itu disaksikan (oleh para Malaikat), dan hal itu adalah lebih utama.
"Di samping itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berwasiat kepada beberapa orang Sahabatnya agar tidak tidur sebelum melakukan shalat Witir."
Dari Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, dia berkata, saya pernah mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلَّذِي لاَ يَنَامُ حَتَّى يُوْتِرَ، حَازِمٌ.
"Orang yang tidak tidur sebelum melakukan shalat Witir, adalah orang yang teguh (iman-nya)."
Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/952-waktu-dan-tata-cara-shalat-witir.html
📗📗📗📗
---***---
Gamis putih dan kerudung putih lebar saat ini telah sempurna menghiasi tubuhku. Tak lupa bunga melati bertengger dengan cantik di atasnya seperti bando.
Make up natural juga yang terpampang jelas di wajahku.
Aku menatap diriku di cermin. Mengapa sulit sekali bibir ini tertarik membentuk senyuman? Bukankah seharusnya hari ini aku berbahagia? Bahagianya seorang pengantin yang akan dijemput sang pangerannya.
"Maa syaa Allah, anak gadis Ibu cantik banget," ucap Ibuku begitu mendapatiku duduk sendiri saat beliau memasuki kamar. Kedatangan Ibu berhasil membuyarkan lamunanku.
Kedua orangtuaku dan adik-adikku baru sampai rumah kemarin sore menjelang petang. Dengan berhati-hati Nenek menjelaskan apa yang terjadi. Alhamdulillah ayah dan Ibu bisa memahami keadaan ini dan tak menyalahkan sikap Mas Hasbi.
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Ibu yang langkahnya semakin mendekatiku.
"Kenapa wajahmu terlihat murung gini Sayang? Apa kamu belum siap menerima ini semua?" ujarnya setelah sukses duduk tepat di sampingku.
Kuhela napas panjang. Kemudian berusaha merubah mimik wajahku agar terlihat lebih ceria.
Setelah sholat dhuha diawal waktu tadi. Perias sudah masuk ke kamarku.
Aku memang sengaja memintanya datang tak setelah subuh. Agar aku bisa melaksanakan sholat Dhuhaku dengan istiqomah.
"In syaa Allah Nisa siap Bu. Doakan Nisa ya." Sesak di dadaku kembali mendera, membuatku tak bisa menahan bendungan air yang tiba-tiba mengaliri pipiku.
Dengan segera Ibu mengedarkan pandangannya dan memungut tisu yang berada di meja rias, mengusap perlahan pipiku yang sedikit basah oleh air mata.
"Kok nangis sih Sayang? Make up nya nanti berantakan lo.
Apa perlu Ibu panggil Nak Hasbi agar membatalkan pernikahan ini Sayang? Ibu nggak mau melihat kamu terus bersedih Nak." Ibu menatapku dengan wajah sendu, membuatku merasa bersalah.
Kenapa diriku masih saja tak berhenti menangis? Kenapa air mata ini juga tak habis-habis? Padalah tiga hari berlalu setelah pertunangan itu batal, tak luput satu hari pun Aku melewatinya dengan deraian air mata.
Aku menggeleng dengan cepat.
"Nggak Bu. Maafin Nisa udah buat Ibu sedih ya. In syaa Allah Nisa akan berusaha ikhlas menerima Kak Fadhil sebagai suami Nisa nantinya. Bukankah Kak Fadhil juga merupakan laki-laki baik yang sholih dan bisa membimbing Nisa menjadi wanita yang lebih baik nantinya in syaa Allah."
"Iya Sayang. In syaa Allah." Kami saling bertukar senyum.
"Ibu jadi penasaran nih. Hasbi tuh seganteng apa sih kok sampai ngebuat anak gadis Ibu ini klepek-klepek." Aku terkekeh mendengar kalimat Ibu, apalagi dengan kata-kata klepek-klepeknya itu, jadi malu sendiri.
"Ibu belum tau aja kalau Mas Hasbi tu ganteeeeng banget." Aku meladeni godaan Ibu dengan senyuman merekah. Entah kenapa kembali membahas laki-laki itu membuat hatiku kembali terketuk dengan kebahagiaan.
"Ehm ... jadi udah ada laki-laki yang ngalahin kegantengan Ayah nih?" Aku menoleh ke arah pintu, kudapati seorang laki-laki gagah yang kini mendekat kearahku dengan mimik wajah sedikit kesal, dan aku tau itu hanya pura-pura.
Aku dan Ibu terkekeh melihat raut wajah itu. "Hehe sama gantengnya dengan Ayah. Jadi Ayah tetap tak terkalahkan kok." Aku beranjak, kemudian menghambur ke dalam pelukannya.
Aku rindu ayahku, tak terasa air mataku kembali mengalir. Merasa sangat bersyukur karena Allah masih memberi kesempatan bagiku untuk bertemu dan memeluk laki-laki yang selama ini memanjakan diriku.
Hanya beberapa detik, pelukan kami pun terurai setelah usai suara kekehan dari ayahku.
"Udah mau jadi pengantin kok cengeng sih?" Dengan kedua jempolnya, ayah mengusap pelan air mataku.
"Nisa kangen Ayah," ujarku dengan nada manja.
"Iya Sayang. Ayah juga kangen anak Ayah yang paling cantik ini."
Kembali Ayah menarik tubuhku ke dalam dekapannya.
Beberapa Menit setelah adegan romantis itu. Kami bertiga melangkah keluar kamar begitu sampai titah Nenek yang sudah terwakili oleh suara Ahsan "Ayo berangkat kata Nenek Yah, Bu, Kak."
Mobil toyota berwarna silver ini meluncur membawa keluargaku, Ayahlah yang mengemudikannya menuju ke Masjid Rumah Sakit.
Iya ... sesuai kesepakatan kedua belah pihak keluarga. Dengan mempertimbangkan kondisi Ibu Wulan dan pengertian dari keluargaku.
Akhirnya akad nikah akan di laksanakan di Masjid dekat rumah sakit. Jaga-jaga dengan kondisi Ibu Wulan yang masih lemah karena sampai saat ini belum ada kabar satu pun soal pendonor yang cocok.
Selang hampir satu jam, Aku telah tiba di pelataran rumah sakit. Aku diapit oleh Ayah dan Ibu berjalan ke arah Masjid. Nenek berjalan di belakangku menemani adik-adik.
Langkahku langsung terhenti, begitu netra ini menemukan sosok lelaki yang pagi ini terlihat wajahnya tak sebinar biasanya. Tapi tetap saja ia berusaha menutupi hal itu dengan tersenyum ke arahku. Tapi aku bisa merasakan senyum itu getir dan terkesan dipaksakan.
"Ziyyadah ... Fadhil sudah menunggumu di dalam." Begitu posisi dekat, ia mengutarakan hal yang sebenarnya tak ingin kudengar, aku hanya ingin mendengar "aku menunggumu di dalam."
Astaghfirullahal'adhzim ... Apa yang barusan aku pikirkan. Ayolah Nisa... terimalah kenyataan ini. Jangan berandai-andai.
Aku hanya bisa diam kemudian mengangguk dengan lemah. Kudapati selanjutnya dia menyalami ayahku dan menangkup kedua tangan dihadapan Ibu yang disambut hangat oleh Ayah dan Ibu.
"Seharusnya dialah bakal menantu ayah dan ibu," jeritku dalam hati. Lagi-lagi Aku tak kuasa menahan air mata yang mendadak membendung, membanjiri kelopak mata. Buru-buru aku mengusap dengan tisu yang telah siap di tanganku. Jangan sampai yang lain menyadari aku menangis lagi.
Setelah menyapa keluargaku. Kembali ia berdiri tepat didepanku. "Ziyyadah Khoirun Nisa'." Panggilannya membuatku mendongakkan kepala.
Netra kami bertemu pandang.
"Berjanjilah kepadaku. Kalau kamu akan bahagia setelah ini." Aku hanya terdiam. Lidahku kelu untuk mengucap kata.
" Ziyya ... jawablah. Saya tidak mau menjadi orang yang paling jahat telah membuatmu terus bersedih seperti ini." Ingin rasanya aku menghambur kepelukannya. Tapi akalku masih waras dan bisa berpikir dengan jernih, Dia bukan mahramku.
Kurasakan pundakku direngkuh oleh ayah seakan menyalurkan kekuatan. Sejenak aku menoleh ke arah ayah. Kudapati anggukan kepalanya seraya bibirnya terhias senyum manisnya.
Kembali kumenoleh ke depan. Menghembuskan napas perlahan, mulai menerbitkan senyum di bibirku.
"I-iya In syaa Allah Mas." Kudapati ia menghela napas lega. Kemudian membalas senyumku dengan hal serupa.
"Terima kasih Ziyya. Saya pamit dulu ya Ziy. Tante, Om, Nenek. Hasbi mau jemput Pak Penghulunya"
"Hati-hati Mas."
"Hati-hati Nak."
Kami serempak mengucapkannya yang langsung mendapat anggukan darinya.
Suasana Masjid nampak sedikit ramai. Acara ini hanya dihadiri sanak keluarga terdekat, baik dari pihak keluargaku atau pun keluarga Kak Fadhil.
Kak Fadhil nampak telah siap duduk di depan meja dekat tempat Imam. Duduk membelakangiku dengan busana serba putih senada dengan diriku.
10 menit telah berlalu, acara belum juga dimulai karena pak penghulunya belum juga menampakkan diri.
Membuatku menoleh ke arah Ibu yang berada di samping kananku.
"Nak Hasbi belum datang menjemput Pak Penghulunya," bisik Ibu yang mengerti tatapanku.
Detik terus bejalan menjadi menit dan menit itu pun kini hampir berubah menjadi jam. Hampir Satu jam lebih kami semua menunggu. Tapi yang ditunggu belum juga menampakkan batang hidungnya.
Suara bising mulai terdengar. Semua orang menanyakan di mana keberadaan Pak Penghulu dan yang menjemput pun tak diketahui kabarnya.
Kak Fadhil sejak tadi telah berdiri di teras masjid, sibuk dengan benda pipih yang di pegangnya. Menatap sejenak layar yang bercahaya itu kemudian menempelkannya di telinga. Begitulah berkali-kali yang ia lakukan.
Aku kembali menunduk. Kembali membaca sholawat untuk menenangkan hatiku.
Belum lama aku dalam tunduk. Suasana mendadak hening. Membuat kepalaku mendongak. Penasaran dengan apa yang terjadi. Apakah Pak penghulunya sudah datang?
Kulihat Kak Fadhil berbisik kepada Pak Hamid, Papanya. Tampak Om Hamid beranjak, berdiri kemudian mengucap salam. Sehingga berhasil mengambil seluruh perhatian penghuni Masjid ini dengan membalas ucapan salamnya.
"Mohon maaf Bapak, Ibu sekalian yang hadir di tempat ini yang telah menunggu lama. Karena ada kabar duka yang baru saja Kami dapatkan,
jadi ... dengan terpaksa Pernikahan pagi ini akan ditunda pelaksanaannya." Beliau menghela napas sejenak
Sedangkan hatiku Dag dig dug, berdebar begitu kencang mendengar kabar ini. Dengan raut penasaran yang sangat aku memerhatikan mimik wajah Beliau yang berubah sendu. Kuberalih melihat ke arah Kak Fadhil, ia menatapku nanar.
Ada apa gerangan?
Apa yang sebenarnya terjadi?
"Hal ini dikarenakan Pak Penghulu dan salah satu rekan kami yang menjemputnya mengalami kecelakaan saat perjalanan kemari."
Serasa petir menyambar gendang telingaku. Tubuhku langsung menegang lalu gemetar. Hatiku semakin menggila debarannya dan dadaku sesak.
Pikiranku langsung menangkap bahwa yang disebut Om Hamid sebagai rekannya adalah Mas Hasbi. Benarkah dia?
Air mataku dengan cepat lolos mengaliri kedua pipi. Aku menutup mulut dengan kedua tangannku seraya kepalaku menggeleng-geleng, masih tak percaya dengan berita yang kudengar.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung.
💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙
"Air mata itu jatuh dan tak akan pernah kering selama napas ini masih bertahan. Mengapa demikian? Karena Air Mata sering mewakilimu untuk menunjukkan sebuah rasa dalam hatimu."
Akhwatul_Iffah
💚💚💚💚💚💚💚💚💚💚💚💚💚💚
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
26 Sya'ban 1440H
Assalamu'alaikum Sahabat.
Alhamdulillah aku kembali membawa Part baru nih.
Gimana Perasaan kalian?
Tegang?
Sedih?
Marah?
Atau biasa saja?
Penasaran nggak siapa yang kecelakaan??
Siapa ya kira-kira ?
Ada yang tau?
Jawab dong.
Tunggu Part selanjutnya ya.
Mau Up Cepet??
Banyakin vote komennya sampai tembus 50 ya 😎 (biar Silent Reader nya muncul 😆)
Nanti dikasih hadiah permen nih 🍭 kalau kamu mau komen 😄
Semoga cerita ini tetap bisa menambah ilmu dan manfaat baik ya.
Jangan lupa Vote dan Komentarnya .
Kalau perlu komentar di setiap paragrafnya. Dan itu sudah pasti bikin aku seneng banget... 🙂☺
Syukron ya udah mau mampir 😄😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top