24. Fashobrun Jamil

🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱

"Kesabaran adalah akhlak mulia, yang dengannya setiap orang dapat menghalau segala rintangan."
(Imam Syafi'i)

💦💦💦💦💦💦💦💦💦💦💦💦💦

Sekitar pukul 10 pagi, kami semua sudah sampai di Rumah Sakit. Kugandeng tangan wanita bercadar yang berjalan di sampingku begitu kami keluar dari mobil hitam milik Mas Hasbi.

Iya ... sesuai janjiku semalam saat aku curhat kepada Fina lewat telepon. Dia mau menemaniku datang kemari.
Setidaknya setelah curhat kepadanya. Dia tak henti-hentinya memberiku wejangan agar aku bersabar menghadapi ini semua.

📔📔📔📔

وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

"Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa". [Al-Baqarah : 177]


📔📔

Hatiku sedikit lega setelah bercerita, mengurangi sesak di dada. Apalagi jika hati ini mengingat segala kenikmatan dari-Nya. Rasanya tak pantas diriku mengeluh atas ujian cinta yang jelas-jelas sakitnya timbul dari kelalaianku sendiri. Salah karena telah terlanjur berharap banyak akan cinta kepada makhluk-Nya.

Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya perlahan, sebelum kaki ini akan berbelok menuju ke ruang ICU, tempat rawat Tante Wulan atau Ibu Kak Fadhil.

Sebenarnya aku belum siap menghadapi ini semua.
Belum siap untuk bertemu Kak Fadhil juga. Tapi apa mau dikata. Aku hanya ingin belajar menjadi wanita tegar yang bisa memberi kebahagiaan kepada orang lain yang membutuhkan itu.

Kudengar Mas Hasbi mengucap salam begitu mendapati seseorang yang sedang duduk di bangku depan ruangan. Detik kemudian, terdengar suara berat jawaban salam, laki-laki yang terlihat beranjak itu menyisiri satu persatu orang yang hadir di depannya.

Aku hanya bisa tertunduk saat ini. Tak ingin melihat wajahnya dulu. Sekilas tadi tampak sekali wajah lesunya, benar-benar tampak frustasi dan juga tak terawat.

"Nenek ... Nisa dan ..."

"Kenalin teman Nisa dan Dira Fadh, Fina." Mas Hasbi mengangkat suara saat Kak Fadhil kebingungan akan menyapa Fina.

Keduanya pun saling menangkup kedua tangan di dada.

Kemudian Kak Fadhil tampak menganggukkan kepala."Mari silakan duduk semua."

Kami pun menuruti ucapannya duduk di bangku yang sama, Di depan ruangan ini.

"Gimana keadaan Wulan Nak?" Nenek angkat suara terlebih dahulu melenyapkan keheningan.

"Masih belum ada perkembangan apa-apa Nek," ucapnya dengan nada sendu kemudian sempat melirik ke arahku. Memang aku saat ini duduk di dekatnya Nenek.

"Boleh Nisa tengok ke dalam Kak?" Kak Fadhil sontak menoleh ke arahku.

"Nanti dulu ya Nis. Ada yang ingin Kakak bicarakan sama kamu dan Hasbi."

"Ya udah biar Nenek aja dulu yang ke dalam ya Nak."

"Iya Nek. Silahkan. Di dalam ada Dira yang nemenin Mama.
Karena ruangan ini hanya 2 orang aja yang boleh masuk. Jadi bisa gantian nanti."

"Iya Nak." Nenek pun beranjak dan memutar knop lalu masuk ke dalam.

"Bagaimana kalau kita di kantin saja ngobrolnya. Biar bisa sambil minum atau makan-makan." Pak Hasbi mengangguk setuju. Aku pun hanya bisa menyetujuinya ikut mengangguk.

"Aku ajak Fina nggak apa-apa ya Kak." Kuraih pergelangan tangannya kemudian menatapnya. Kedipan matanya mewakili tanda persetujuannya.

"Iya Nisa. Memang sudah seharusnya begitu."

Jika seorang Akhwat dan Ikhwan ada perlu bicara. Maka sudah seharusnya pihak Akhwat ada mahram atau sesama perempuan yang menemani.

📗📗📗📗

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّوَمَعَهاَذُو مَحْرَمٍ

"Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertai wanita tersebut." (HR. Bukhari & Muslim)


📗📗📗📗

Kami ber-empat pun beranjak menuju kantin. Aku dan Fina berjalan di belakang Pak Hasbi dan Kak Fadhil yang jalan beriringan.

"Ehm ... mau pesan apa nih?" Kak Fadhil membuka suara begitu kami telah duduk berhadapan dalam satu meja.

"Ane pesan es Jeruk aja Fadh. Ziyya mau samaan?" Pertanyaannya membuatku mendongak, menoleh ke arahnya. Tampak ia senyum-senyum ke arahku. Menghipnotis pandanganku dan seakan membungkam mulutku.

Ya Allah ... gimana aku bisa melupakannya? Senyumnya bikin aku meleleh. Ingin rasanya aku mendekat ke arahnya, memeluknya dan berkata "Aku tak mau ditinggalkannya."

"Nis." Suara bisikan Fina terdengar sembari menyenggol bahuku, membuatku kaget.

"Ada apa sih Fin?."

"Kamu nih ya ... ditanyain Pak Hasbi malah bengong gitu."

Astaghfirullahal'dhzim. Iya ya aku sampai lupa. Asyik meratapi hati sih, batinku berkecamuk.

Aku pun menoleh ke arahnya dengan sedikit Gugup.
"Eh ... i-iya Mas. Samain aja. Fina juga kan?" Aku beralih menatap Fina yang diikuti anggukan darinya.

"Yaudah. Ane pesen dulu ya ke sana." Terlihat kak Fadhil meninggalkan tempat kami.

"Ziyya ... sekali lagi maafkan saya ya." Aku menoleh ke arah Pak Hasbi yang saat ini berada tepat di hadapanku.

"Iya Mas.
Sudahlah ... Mas nggak usah merasa bersalah seperti itu. Bukankah ini sudah menjadi kesepatan kita berdua." -Meskipun pada awalnya memang Mas Hasbi sendirilah yang memutuskan pertunangan ini-. Lanjutan kalimat ini hanya muncul dalam hatiku

Flashback On.

Sebelum kami benar-benar berangkat ke Rumah Sakit. Selagi Nenek bersiap-siap.
Setelah kejadian khilaf itu.
Pak Hasbi sempat ragu akan keputusannya sendiri.

"Ziyya ... sebelum semuanya terlambat dan saya akan menyesal seumur hidup saya.
Saya juga merasa sangat bersalah karena tak meminta pendapatmu dulu tentang persoalan ini dengan kamu.
Sekarang ... saya mau tanya satu hal sama kamu. Apakah menurut kamu keputusan saya ini sudah tepat?
Saya mengorbankan kebahagiaan kita berdua demi sahabat saya.
Apakah saya egois?
Jika memang begitu menurut kamu, saya akan batalkan keputusan ini dan saya akan memperjuanganmu Ziyyadah." Tampak ia menghela napas sejenak, kemudian melanjutkan pertanyaannya.

"Atau masih adakah jalan lain menurut kamu?" Dia menatapku lekat.
Aku hanya menggelengkan kepala. Kemudian mencoba tersenyum menatapnya.

"Mas Hasbi sudah benar dengan keputusan ini. Meskipun hati Nisa sempat kecewa yang sangat pada Mas. Tapi setelah Nisa pikir-pikir lagi." Jeda sejenak kumenatap ke arah ke depan.

"Seharusnya Nisa bangga kepada Mas. Selain Mas sudah jujur apa adanya kepada Nisa. Juga karena Mas bukanlah orang yang mengedepankan ego dan bisa bijak dalam mengambil keputusan.
Mas Habsi mau berkorban demi Sahabat Mas. Itu merupakan hal besar yang mungkin Nisa saja belum tentu bisa melakukannya.
Mungkin dengan begini, Nisa bisa melatih kesabaran Nisa. Dan menerima segala taqdir yang telah Allah tentukan buat Nisa."

Jadi bisa dikatakan keputusan ini juga atas kerelaanku. Hatiku memang sedang patah. Tapi aku harus tetap tegar. Toh aku sangatlah yakin bahwa Allah memberi ujian kepada hamb-Nya itu sesuai kemampuan hambaNya.

Jika hamba-Nya itu bisa bersabar melewati ujian-Nya. Maka Allah akan pahala yang besar tuk Hamba-Nya.

📔📔📔📔

وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Dan, sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan". [An-Nahl : 96]

📔📔

Flashback Off

Selang hanya beberapa menit. Kak Fadhil kembali duduk di tengah-tengah kami.

"Nisa ... Maafin Kakak ya." Kak Fadhil menatapku, membuatku kembali mununduk setelah mendongak sebentar ke arahnya.

"Kakak nggak berniat memaksamu Nis. Kakak benar-benar mencintai kamu dan ingin melihatmu bahagia. Tapi Mama-" Kata-katanya terhenti. Aku pun menyahutinya.

"Iya Kak. Nisa Faham kok. In syaa Allah Nisa akan belajar Ikhlas menerima ini semua. Yang penting, semoga Ibu Wulan segera sembuh ya kak."

"Aamiin" Kami berempat dengan serempak mengamini.

"Udah dong, nggak usah sedih gitu. Ente kan bakal daperin bidadari cantik gini. Harusnya ente seneng dong Fadh. -Kamu bakal beruntung banget dapetin dia." Pak Hasbi sedikit berbisik saat berucap di akhir kalimat itu. Tapi indera pendengaranku masih mampu menangkapnya.

Mataku berkaca-kaca. Maa syaa Allah ... Aku semakin kagum kepada laki-laki yang sempat akan menjadi calon suamiku itu.

Dia begitu tegar berkata sesuatu yang aku yakin ... dibalik senyumnya itu, dia begitu rapinya menyimpan luka yang jelas-jelas masih menganga, dia mampu menahan perihnya itu.

Kurasakan usapan di pundakku. Aku menoleh ke arah Fina yang kini menatapku lekat. Menyalurkan ketenangan di balik usapan lembutnya pada lengan kananku.

"Innallaha ma'ash shobirin," ucapan Fina lirih di dekat telingaku.
Aku menoleh ke arahnya kemudian merengkuhnya dan menangis di pundaknya.

Ya Allah ... sesak dadaku kembali kurasakan. Melihat pemandangan dua sahabat itu berpelukan dalam diam. Lain halnya dengan Kak Fadhil, tampak ia menangis, sedangkan Mas Hasbi menatap nanar ke depan. Tampak sekuat tenaga ia menahan tangis.
Kenapa ia tak menangis saja. Melihat wajahnya memerah begitu membuat hatiku semakin sakit seakan tertusuk sembilu semakin mendalam.

"Makasih ya Has. Syukron Jazilan atas pengorbanan Ente ini. Jazakallah khoiron Katsiro. (Semoga Allah membalas kebaikan yang banyak untukmu)"

"Udah ya ... jangan kayak gini. Ane malu kalau sampai nangis di depan akhwat di depan kita ini." Ia terkekeh setelah ucapannya, membuat kami semua ikut mengukir senyum.
Senyum miris lebih tepatnya.

🌱🌱🌱🐙🌱🌱🌱

Setelah menemui Ibu Wulan. Kami segera pamit diri.

Akhirnya aku bisa menghela napas bebas. Sedari tadi, Aku menahan sesak didada. Hatiku tersayat-sayat, hingga luka ini semakin menganga dan semakin nyeri kurasakan.

Tapi dibalik itu. Ada perasaan lega dalam hatiku. Saat melihat Ibu Wulan sadar dan senyumnya merekah begitu sampai kabar kalau Fadhil dan Ziyya akan segera menikah.

Kata segera ini pun tak tanggung-tanggung. Ibu Wulan meminta mereka melaksanakan akad nikah dua hari lagi. Bertepatan dengan kedatangan orang tua Ziyya yang akan berkunjung ke kota ini. Sedangkan resepsi pernikahannya bisa menyusul kemudian di hari lain.

"Alhamdulillah ya Allah ... terima kasih ya Nisa. Kamu bersedia menjadi calon menantunya Mama. Mama seneeeeng banget. Setidaknya Mama tenang jikalau memang Allah berkehendak memanggil Mama setelahnya."

Aku sangat ingat kata-kata itu yang diiringi deraian air mata kebahagiaan dari semua pengunjung ruangan ICU saat itu.

Fadhil meminta izin pada Dokter untuk kami bisa masuk bersamaan saat diketahui Ibu Wulan sadar untuk menyampaikan kabar baik ini.

Setidaknya kata dokter 'Baiklah saya Izinkan. Mudah-mudahan dengan adanya kabar bahagia ini. Bisa memberikan ketenangan pikiran pasien. Dan itu bisa saja memberi respon positif atas kondisi pasien'.

Ya Allah ... kuatkan hamba menghadapi ujian hati ini, gumamku dalam hati, saat langkahku terus mengayun menuju parkiran.

Sedangkan 3 orang wanita ini masih setia di belakangku.
"Nak Hasbi ..." Tanganku yang hendak memasukkan kunci ke bagian pintu mobil langsung terhenti saat mendengar suara nenek yang berada di belakang.

"Iya Nek," jawabku menoleh ke arahnya.

"Kalau kita sholat dhuhur dulu gimana? Apa kamu keberatan?"

Astagfirullahal'adhim ... aku lupa kalau adzan telah dikumandangkan beberapa menit yang lalu.

"Oh iya Nek. Sama sekali tidak Nek. Silahkan Nenek duluan. Saya ambil peci dulu." Tunjukku ke dalam mobil. Meneruskan tanganku memutar kunci.

Saat kututup pintu mobil setelah ambil peci putihku. Begitu tubuhku berbalik hendak melangkahkan kaki. Aku sedikit terkejut mendapati Ziyya berdiri dihadapanku.

"Mas ... "

"Iya Ziyyadah? Ada apa?" Seperti biasa. Jantungku berdegup abnormal jika berada di dekatnya.

"Boleh Ziyya simpan cincin ini?" Tangan kanannya menjulur di hadapanku. Tapi kepalanya masih setia dalam tunduk.

"Iya Ziyyadah Khoirun Nisa'. Ambillah dan simpanlah. Bukankah aku sudah memberikannya untukmu? Jadi itu sudah menjadi milikmu." Dengan sekuat tenaga aku mengucapkan ini dengan tenang.
Padahal hatiku bergemuruh, dadaku sesak. Menerima kenyataan bahwa aku dan dia tak bisa bersatu menjadi kita, pasangan kekasih halal.

Dia mendongak. Kulihat matanya berkaca-kaca. Membendung air yang hendak tumpah.
"Makasih ya Mas. Sudah pernah hadir dalam hidupku. Semoga Mas Hasbi akan segera mendapat gadis yang lebih baik dariku. Dan pastinya ... gadis itu akan menjadi wanita yang paling beruntung telah mendapat seorang suami sholih, ganteng, pinter, dan dosen muda seperti Mas Hasbi." Air matanya mengalir, diikuti senyuman nanar begitu kalimat terakhir dari lisannya terucap.
Dengan cepat Nisa menghempaskan air matanya yang baru saja luruh, tampak bibirnya menyungging senyum yang jelas sekali dipaksakan.

Apa yg aku dengar barusan? Dia memujiku? Apa karena kita tak bisa bersatu jadi kamu memujiku sekarang Ziyyadah?
Pandangan mataku mulai kabur karena tertutup air yang juga mulai menggenangi kelopak mataku.

Kalau saja kita masih ditaqdir untuk bersatu, aku yakin kalimat pujian itu akan mengalir saat kita menikah nanti.

Ya Allah ..., kuhela napas dalam merasakan dadaku makin sesak.

"Aamiin ... makasih ya Ziyya. Yang pasti, Fadhil tak kalah beruntungnya akan memiliki kamu." Aku tertunduk. Air mataku menganak sungai dan langsung kutepis sebelum membasahi bagian bawah pipiku.

"Ya usdah yuk kita Sholat Dhuhur. Pasti kamu sudah ditunggu Nenek dan Fani." Aku menatapnya, dia menganggukkan kepala cepat dan langsung mendahului langkahku.

"Tersenyumlah buatku Ziyya." Dia berhenti melangkah dan berbalik, menatapku kembali. Aku berusaha tersenyum menatapnya diikutinya menarik bibirnya membentuk lekungan, senyum yang sangat manis.

Akankah ini terakhir kalinya aku melihat senyummu untukku Ziyya?. batinku.

Tak ada obat mujarab untuk menenangkan hati selain ingat kepada-Nya.

Tak ada obat sesak dada karena patah hati selain berusaha sabar dan ber-husnudzon menjalani taqdir-Nya.

Tak ada obat sakit hati selain berusaha mendekatkan diri kepadaNya.

Ya Allah....
Berilah hamba kekuatan, keikhlasan dan kesabaran dalam menghadapi segala ketentuan-Mu.

Aamiin

Kuusap wajah dengan kedua tangan setelah merapalkan doa selepas sholat. Tak ada lagi yang bisa saya andalkan saat ini untuk menghadapi ujian hati ini, selain berdoa meminta kekuatan hati hanya kepadaNya.

🐺🐺🐺🐺🐺🐺🐺🐺🐺🐺🐺🐺🐺🐺🐺

"Sabar melepas sesuatu yang kita inginkan adalah ujian dan sebuah pengorbanan yang tak mudah."

Muhammad Hasbi Zayyad

🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰

.


.
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.
Bersambung.
22 Sya'ban 1440H

Assalamu'alaikum sahabat.
Maaf ya partnya masih mellow

Yang baca ikutan sedih nggak sih???

Semoga kita bisa memetik ilmu dalam cerita ini dan bisa bermanfaat. Aamiin.

Jangan lupa vote dan komentarnya ya sahabat. 😉

Syukron

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top