23. Laa Tahzan


☁☁☁☁☁☁🌞🌞🌞☁☁☁☁☁☁

Awan putih bersemburat di bawah birunya langit yang nampak begitu indah pagi ini.
Sinar mentari begitu cerah, menghangatkan penghuni bumi yang dengan semangatnya telah memulai aktifitas hari ini.

Tapi ... lain halnya dengan gadis cantik yang saat ini nampak tak semangat sama sekali.
Sudah hampir satu jam, Dia hanya duduk terdiam di Gazebo belakang rumahnya dengan tatapan kosong lurus ke depan.

Mengapa dirinya tampak tak seceria burung-burung yang berkicau saling bersautan di atasnya?

Mengapa dirinya tampak tak sesegar rerumputan yang masih nampak d isetiap pucuknya titik-titik embun yang belum juga mengering?

Mengapa dirinya tampak tak selincah ikan-ikan di kolam sana yang dengan gesitnya menari-nari tampak begitu ceria?

Jawabannya adalah karena hatinya sedah patah saat ini.

Entahlah ... dari semalam, aku malas melakukan apa pun. Hanya menangis dalam setiap sholat dan doa setelahnya yang terus kulakukan hampir semalaman.

Aku pun tak tau, baru jam berapa semalam aku bisa terlelap. Air mata tak hentinya mengalir, membasahkan wajahku terbawa sampai aku tertidur.

Jadilah, disaat mata ini terbuka sebelum masuk waktu sholat subuh tadi pagi. Terlihat kelopak mataku membengkak.

Salahkanlah diriku atas keadaan ini. Aku yang tak mampu mengendalikan hatiku sendiri atas harapan yang sudah terlanjur menggebu.

Harapan hidup bersamanya, memunculkan khayalan kebahagiaan bisa menjalin kasih bersamanya. Menjulurkan angan bisa beribadah bersama, aku menjadi makmum dan ia menjadi imamku. Impian yang Sweet kan?

Aku teringat betapa bahagianya hatiku, saat dia mengajukan ta'aruf dan tak menunggu lama untuk mengkhitbahku. Bukankah itu berarti rasaku kepadanya tak bertepuk sebelah tangan?

Apa lagi kiranya yang lebih membuat hati yang dilanda cinta ini berbahagia, selain mendapatkan cinta yang sama dari orang yang dicinta?

Itulah ...
Itulah kesalahanku.
Itulah kelalaianku.

Mengelu-elu kebahagiaan cinta di antara kami sampai melupakan cinta yang seharusnya lebih besar kepada Sang Pemilik Cinta, bukan hanya dari seorang pengungkap cinta.

"Nisa ... ayo sarapan sayang. Udah jam 8 ini." Aku hanya menggelengkan kepala saat mendengar ajakan seseorang yang datang menghampiriku.
Mendapatiku bergeming, Nenek ikut duduk di sebelahku.

"Cucu Nenek kok gini sih? Dari kemarin kamu kan belum makan Sayang. Nggak baik ah ... mendholimi diri sendiri kayak gini," ucap Nenek seraya mengelus pucuk kepalaku.

Sedari kemarin aku memang tak makan apa pun. Entahlah ... rasa lapar sama sekali tak mendekatiku. Pikiranku sibuk dengan kekecewaan, kegelisahan dan juga penyesalan.

Beruntungnya mata kuliah pagi ini diliburkan. Jadi aku tak perlu bersusah payah memaksakan hatiku damai dengan keadaan yang mengharuskanku keluar rumah.

"Nisa nggak lapar kok Nek." Aku menatap nenek yang menatapku sendu.

"Tetap saja Nisa. Tubuh kamu perlu diasupi makanan.
Nenek udah masakin rolade tahu isi sosis kesukaan kamu. Yuk makan, Nenek nggak mau lihat kamu sakit gara-gara terlalu memikirkan patah hati kamu Nis." Aku tetap diam dan kembali menggeleng.

"Nisa ... Nenek sayang banget sama kamu. Apa kamu nggak sayang sama Nenek? Nenek sedih loh liat kamu kayak gini." Aku menoleh, mengarahkan pandanganku ke arah wajah Nenek, tampak gurat kesedihan dan kekhawatiran saat menatapku lekat.
Mataku mulai berkaca-kaca lagi kemudian berhambur kepelukannya.

"Maafin Nisa ya, Nek. Udah bikin Nenek sedih. Nisa masih belum rela dan nggak kuat dengan kenyataan yang pahit ini Nek. Nisa belum bisa bersabar." Kurasakan anggukan kepalanya di bahuku, tangan kanan Nenek mengusap-usap punggungku perlahan.

"Mintalah kekuatan dan ketenangan hatimu kepada Allah dengan sabar dan sholat Nisa," ucap Nenek tetap dengan sabarnya kembali menasihatiku.

📖📖📖📖

Al-Baqarah 2:153

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman! Mintalah pertolongan dengan jalan bersabar dan mengerjakan salat. sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.

Dapatkan Aplikasi Quran:https://goo.gl/w6rESk
📖📖📖📖

Setelah pelukan kami terurai, aku pun menghapus air mata yang sudah membasahi pipiku. Mencoba menarik bibirku, mengukir senyum.

"La Tahzan Sayang ... Innallaha ma'ana (jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita)." Nenek mengusap pipiku yang membuatku kembali berusaha mengukir senyum, kemudian menganggukkan kepala.

Aku pun menuruti titah Nenek. Setelah sarapan berdua bersamanya. Aku kembali ke kamar untuk melaksanakan sholat dhuha.

Aku sadar bahwa ini semua ujian dari-Nya. Bisa jadi ini adalah sebuah teguran dari-Nya karena cintaku yang lebih besar kepada selain-Nya.

Aku jadi teringat kalam dari Imam Mujtahid termasyhur yang banyak di ambil pendapatnya oleh Ummat Islam di Indosia ini, yaitu Imam Syafi'i Rodhiyallahu 'anhu pernah berkata :

Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan. Supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain DIA. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-NYA.
(Imam Syafi'i)
📖📖📖📖

"Assalamu'alaikum Ziyyadah." Sontak kepalaku mendongak begitu mendengar suara berat yang ada di depanku.

Setelah selesai sholat dan tadarrus Al Qur'an. Aku kembali ke taman belakang, duduk menatap ikan-ikan di kolam sedang berebut makanan yang tadi sempat kulempar.


Aku beranjak dari dudukku

"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh Mas Hasbi." Aku menunduk, kemudian berjalan menuju gazebo dan duduk di sana.

Tampak ia mengikuti langkahku, kemudian ikut duduk di sampingku dengan jarak yang tak terlalu jauh.

"Ziyyadah ..." Aku diam tak menyahuti.
"

Maafkan saya yang telah mengecewakanmu. Maafkan saya yang telah menyakiti hatimu." Netraku menoleh ke arahnya. Tampak ia menatapku lekat, membuat sorotan mataku kembali menunduk karena malu dan tak ingin lama-lama berseteru pandang.

Aku menganggukkan kepala, kemudian berusaha menarik bibirku membentuk lekungan.

"Mungkin ini memang sudah jalan yang terbaik buat kita Mas. Nisa nggak bisa apa-apa selain pasrah dengan taqdir ini."

"Tapi Ziy-"

"Nenek sudah jelaskan semuanya Mas. In syaa Allah ... Nisa akan berusaha terima ini dengan hati lapang. Meski ini tak mudah. Sakit... hati Nisa Sakit Mas." Tak terasa tiba-tiba bendungan air di kelopak mataku tumpah, sama sekali tak tertahan.

🌱🌱🌱🌺🌱🌱🌱


Inilah pemandangan yang paling ingin aku hindari. Ziyyadah kembali menguraikan air matanya, tampak sesenggukan beriringan dengan kata sakit yang ia utarakan.

Padahal tadi saat kedatanganku di hadapannya. Hatiku sedikit merasa lega. Saat mendapatinya tegar meski jelas terlihat wajahnya yang sendu, tak seceria biasanya.

Tapi tetap saja pagi ini dia tampak cantik dengan balutan kerudung pasmina warna coksu. Tampak memaksakan senyum saat mendapati keberadaanku di sini. Mukanya juga nampak sedikit pucat.

Please Ziyya ... udah ya nangisnya. Kalau kamu terus begini. Aku tak bisa menahan diri ini untuk merengkuhmu, ingin menenangkanmu.

"Ziyya ... maafkan saya ya. Saya pun juga merasakan hal yang sama denganmu. Saya pun sebenarnya tak ingin melepasmu." Tanganku terangkat hendak meraih wajahnya yang telah basah. Dia menatapku sekarang, aku pun sama. Tatapan kami bertemu.

"Mas ..."
Panggilannya menyadarkanku, tangan ini buru-buru turun.

"Aku cintanya sama kamu Mas. Bukan sama Kak Fadhil." Dengan nada cepat, secepat air matanya yang mengalir dia mengungkapkan rasa dalam hatinya.

Hatiku tercenung. Terpaku memori otakku menangkap kata-katanya. Mataku menatap tatapannya.

"Sama Ziyya. Aku pun sangat mencintaì kamu Ziyyadah Khoirun Nisa'." Suaraku mulai serak mengatakan ini, tercekat karena sesak di dada.

"Sampai kapan pun, aku nggak mau melepas cincin ini." Tegasnya memegangi jari manisnya kemudian memutus kontak tatapan kami.

Tak terasa bibirku membentuk lekungan. Hatiku bahagia mendapatkan kenyataan ini. Tapi detik berikutnya air mataku akhirnya mengalir. Menyadari keadaan yang sesungguhnya memaksaku untuk melepasnya.

Ya Allah ... kuusap wajah kasar. Ingin rasanya aku berteriak. Kemarahan yang menggebu-gebu menyerang hatiku sendiri, mendapati kenyataan yang harus memisahkan kami. Ingin rasanya aku mengedepankan egoku dan ingin meraih wanita yang kucintai itu kembali.

Tapi ...

Hiks hiks hiks.

Suara sesenggukan terdengar jelas di sampingku. Menyadarkanku dari gemelut hatiku sendiri.
Tampa ragu lagi aku mendekat ke arahnya.

Merengkuh bahunya perlahan, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahuku. Akalku masih waras untuk tak memeluknya saat ini.

Setidaknya posisi saat ini kami tak bersentuhan langsung. Bisikan syetan sepertinya mulai mempengaruhi diriku.

Entahlah ... dalam pikiranku hanya hal ini yang bisa kulakukan agar ia berhenti menangis di hadapanku.

"Mas ...." Suara seraknya memanggilku lirih.

"Menangislah sepuasmu Ziyya. Biarlah posisinya seperti ini, karena akalku masih sehat untuk tak memelukmu saat ini. Menangislah sekarang semaumu, tapi kuharap ini akan menjadi air mata kesedihan yang terakhir di antara kita," ucapku tegas dan datar dengan tatapan ke depan, Aku tau sebenarnya ini tak boleh dilakukan.

Meskipun kulit kami tak bertemu. Tapi tetap saja, posisi seperti ini membuat desiran halus dalam hati kurasakan. Tubuhku menegang, baru kali ini aku sedekat ini dengan wanita selain Ummi dan saudari-saudariku.

Ia menurut, tampak ia tersenyum. Bibirku membalas dengan uluman senyum tipis. Tak ada suara sesenggukan lagi darinya. Caraku seperti ini ternyata ampuh. Entah karena dia sudah lega atau karena malu menangis di dekatku seperti ini. Aku tak tahu.

Belum satu menit kami dalam posisi seperti ini, kepalanya terangkat menatapku.

"Terima kasih Mas. Mas Hasbi sudah menghormatiku dengan tak menyentuhku. Maafkan Nisa yang tak bisa mengontrol hati, sehingga Nisa terus menangis. Dan maaf juga atas ungkapan Nisa yang tadi."

"Nggak apa-apa Ziyyadah ... seenggaknya sekarang kamu sudah merasa sedikit lega kan? Aku pun begitu. Tapi maaf atas kekhilafan saya barusan ya." Aku memaksakan senyum menatapnya. Tampak ia membalas dengan hal yang sama. Tersenyum begitu manis kemudian menganggukkan kepalanya.

"Iya Nisa juga minta maaf. In syaa Allah, setelah ini Nisa akan berusaha menerima kenyataan pahit ini."

"Ehm ...." Terdengar deheman dari arah samping kami. Sontak aku menggeser dudukku yang terlalu dekat dengan Ziyya, sudah melebihi batas aman nih.

Astaghfirullahal'adzhim ... tak hentinya hatiku merapalkan lafadz Istighfar dengan apa yang kulakukan tadi. Aku benar-benar khilaf, terbawa suasana dan tak tega melihat dia menangis seperti tadi.

"Nenek." Kompak kami menyapa orang yang kini berada di samping kami.

" Sudah?" tanya Nenek tampak bersedekap. Kami tertunduk malu, tertangkap basah tak bisa menjaga jarak.

Apa tadi Nenek juga lihat ya?
Semoga saja tidak, batinku.

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Saling mencintai tapi tak bisa bersatu itu sangatlah menyakitkan.
Tapi... begitulah resiko dan ujian cinta sebelum adanya ikatan halal.

Akhwatul_Iffah

🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁

.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung.

18 Sya'ban 1440H

*Assalamu'alaikum Sahabat Pembacaku.

Alhamdulillah bisa lanjut Publish ya.
Khilafnya Pak Hasbi jangan ditiru ya kawan.

Sebagai manusia memang terkadang cinta membutakan hati untuk menuruti hawa nafsu. Tapi jangan terlarut didalamnya..
Segeralah sadar dan perbanyaklah istighfar atas kesalahan yg dilakukan.

😊😊😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top