21. Pilihan (1)
🐙🐙🐙🐙🐙🐙🐙🐙🐙🐙🐙🐙🐙🐙🐙
🍑🍑🍑🍑🍑🍑🍑🍑🍑🍑🍑🍑🍑🍑
Ar-Ra'd 13:28
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
(Yaitu orang-orang yang beriman dan yang merasa tenang) tenteram (hati mereka dengan mengingat Allah) mengingat janji-Nya. (Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram) yakni hati orang-orang yang beriman.
Dapatkan Aplikasi Quran:https://goo.gl/w6rESk
🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد
Jari-jemariku terus memutar tasbih seraya lisan melafalkan sholawat atas baginda Nabi. Hati terus berusaha untuk khusyu', tapi pikiranku terus melayang. Jangan lupakan air mata yang sesekali memuara di kedua pipiku, padahal mata ini terus terpejam sejak tadi.
Di sinilah diriku, duduk bersila di dalam masjid, menghadap Kiblat setelah mengikuti sholat berjama'ah di Masjid.
Dari Rumah Sakit tadi, aku berhenti di Masjid Jami' yang tinggal setengah perjalanan lagi baru sampai rumah.
Hatiku kalut, resah, gelisah dan bingung harus bagaimana menetapkan pilihan yang terbaik buat semuanya.
Aku tak boleh egois. Aku harus memikirkan ini semua dengan sebijak-bijaknya, agar tak ada penyesalan pada akhirnya.
Haruskah aku mengorbankan kebahagiaanku untuk kebahagiaan sahabatku?
Haruskah aku rela bersedih hati bahkan melepaskan orang yang kucintai?
Haruskah aku tega menyakiti dia dan membuatnya kecewa?
Ya Allah ...
Hamba benar-benar bingung dengan keadaan seperti ini.
Aku pun tak bisa menjadi seorang sahabat yang dengan teganya berbahagia diatas kesengsaraan sahabatku sendiri.
Aku pun tak bisa membiarkan keluargaku dan keluarganya tersakiti karena keputusanku.
Aku pun tak tega melihat Ibu Wulan tak terpenuhi keinginannya yang memang dari dulu ingin diwujudkan.
Pikiran-pikiran ini terus berkecamuk di memori otakku. Berputar-putar terus tanpa ada titik terangnya.
Sampai tak terasa waktu terus bergulir, adzan Isya' pun berkumandang. Aku pun mendongak, menatap seseorang yang berdiri di depan sana, mengumandangkan Adzan dengan suara merdunya.
Tak lupa aku menyimaknya kemudian menjawab setiap lafadz adzan yang terdengar.
---***---
Selepas sholat berjama'ah, kakiku mulai melangkah dengan terseok-seok. Lelah rasanya ragaku karena pikiranku stres. Pikiranku berkecamuk, tatapan kosong ke depan.
Bugh...
Tak sadar aku telah menubruk tubuh seseorang.
Astaghfirullahal'adhzim.
"Maaf-maaf,'' ucapku lirih.
"Pak Hasbi," ucap seseorang yang kini berada di depanku. Aku mendongak menatap laki-laki yang berada did epanku.
"Pak Mukhlis ...
Ya Allah... maaf Pak saya benar-benar tak sengaja tadi."
"Iya Pak, saya juga tak sengaja tadi sedikit terburu-buru."
"Iya Pak sama-sama." Aku menunduk.
"Pak Hasbi kenapa? Sepertinya lagi banyak pikiran ya?" Dia mengiringi langkahku sembari sibuk menatap ke arah lengannya yang tangan kirinya sedang membenahi kancing pergelangan tangannya.
Aku hanya menggeleng. Aku tak mau menambah pikiran orang lain. Meskipun aku sudah bisa terbilang dekat dengannya di kampus. Aku masih segan untuk bercerita dengannya.
"Terkadang, kita butuh seseorang untuk mencurahkan masalah yang menerpa diri kita, karena masalah yang kita hadapi terkadang membuat pikiran kita buntu untuk memecahkannya seorang diri."
"Iya Sih Pak. Anda benar sekali, Saya sekarang rasanya pusing dan pikiran serasa buntu untuk menetapkan pilihan yang menurut saya sendiri sangat sulit untuk memilih di antara dua pilihan."
"Dilema nih? Mau berbagi dengan Saya?" Pertanyaannya memaksakan bibir ini mengulas senyum tanda mengiyakan.
"Bukannya tadi Bapak bilang sedang buru-buru?"
"Nggak apa-apa, bisa di handle kok. Sudah makan malam?" Aku menggelengkan kepala.
"Kalau begitu ayo kita makan dulu di Resto depan sana." Dia menunjuk Resto yang berada di samping kiri masjid ini.
Aku pun mengangguk dan mengikuti langkahnya.
----***----
Jodoh itu telah Allah tentukan disaat ruh telah tertiup dalam jasad manusia saat ia masih dalam kandungan. Jadi kalau sudah jodoh, apa pun jalannya pasti di persatukan.
Tapi, jika bukan jodoh. Sedekat apa pun dia dengan kita, meski sudah saling mencintai hatta sudah tunangan dan akad Nikah akan segera terucap. Kalau bukan jodoh maka akan terpisah.
Malahan ... bukankah banyak terjadi perpisahan disaat telah menikah? Padahal mereka sejak awal sudah saling mencintai. Tapi Allah lah sang pembolak balik hati manusia. Kalau bukan jodoh ada saja penyebab mereka berpisah.
Begitu pun sebaliknya Pak Hasbi. Kalau sudah memang tercatat sebagai jodoh, bagaimana pun upaya manusia untuk menjauh, menghindar, atau bahkan memisahkannya, maka suatu saat pasti Allah akan mempersatukan mereka diwaktu yang tepat menurut Allah.
Jadi ... tak usah risau dengan jodoh, Pak. Ikuti apa kata hati kecil Bapak. Pikirkan dengan bijak antara Mudhorot dan Maslahahnya menurut pandangan yang sesuai dengan syari'at agama kita dalam menentukan pilihan.
Begitulah sekelumit nasihat yang aku terima dari Pak Mukhlis. Beliau memang bisa diandalkan dalam soal menasihati. Pemikirannya bijak, tetap mengedepankan Allah dalam segala hal.
Tak heran sih. Ilmu agamanya mumpuni, lulusan Kairo pula. Jadi kualitas ilmu agamanya tak diragukan lagi.
Beliau juga sempat bercerita tentang pengalamannya, bagaimana bisa bersatu dengan Fathimah, sosok gadis yang ia cintai semenjak Madrasah Aliyah dan bisa bersatu pada akhirnya. Padahal Fathimah sempat bertunangan dengan orang lain.
Dengan begini aku bisa menyimpulkan, apakah kisah cintaku akan seperti kisah istrinya yang gagal tunangan dan menikah dengan orang dicintai? ataukah sebaliknya?
Wallahu a'lam ( hanya Allah ya tau )
🌱🌱🌱🌷🌷🌱🌱🌱
Keesokan harinya.
🕯🕯🕯🕯🕯
Habib Ali Al Habsyi berkata:
" Jika sedang bercermin jangan hanya melihat ketampanan/kecantikan saja. Tapi fikirkan berapa banyak dosa yang diperbuat dan berapa banyak ibadah yang kita lakukan"
🕯🕯🕯🕯🕯
Tulisan di atas sengaja kutempel di cermin kamar sebagai pengingat diri.
اللهم كما حسنت خلقى فحسن خلقي
Allahumma Hassanta Kholqi fahassin Khuluqi.
Kubaca doa ketika bercermin, saat aku masih duduk setia di depan cermin. Melihat pantulan wajahku yang kini telah rapi dengan gamis warna maron dan kerudung lebar warna senada.
Entah dari dulu, aku tak begitu suka kalau disuruh dandan. Jadilah aku hanya memakai pelembab sedikit lalu kutaburi bedak tipis, itu saja. Karena bibirku sudah berwarna pink alami tanpa dipoles lipstik atau semacamnya.
Minyak wangi?
Nggak.
Aku tak pernah memakai minyak wangi kalau keluar rumah.
Aku hanya pakai pewangi di bajuku saat mencucinya. Kurasa itu sudah cukup.
Karena aku ingat nasehat guruku dulu waktu masih SMA. Parfumnya seorang wanita jika menyerbak hingga indra pencium anak adam maka sama halnya ia pelacur.
Wal 'iyadzubillah.
📕📕📕
"Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur."
(HR. An-Nasa'i, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad)
📕📕📕
Aku beranjak setelah memakai jam di pergelangan tanganku, aku meraih tas selempang, kemudian berangkat menuntut ilmu di kampus tercinta.
Bukan kampusnya aja sih yang tercinta, dosennya juga. Aku menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum mengingat pikiranku ini.
----***----
Ba'da sholat ashar di Masjid Kampus. Aku berjalan beriringan dengan Dira dan Fina.
"Aku ke kamar mandi dulu ya ..." Aku dan Dira kompak menganggukkan kepala mendengar ucapan Fina yang langsung memisahkan diri.
"Dir ... kamu mau langsung pulang?" Aku langsung bertanya kepada Dira yang duduk di sampingku. Ia tampak lesu.
"Nggak Nis. Aku langsung ke rumah sakit."
"Oia Dir. Maaf ya aku masih belum sempat jenguk Mama Wulan. Besok deh in syaa Allah aku ke sananya, mumpung besok kuliahnya setengah hari."
"Aku ikut ya, Nis." Fina tiba-tiba menengahi percakapan kami. Ia baru bergabung duduk memasang sepatu bersama kami.
"Oke." Aku pun mengangguk. Tampak ia tersenyum di balik cadarnya, terlihat matanya menyipit.
"Astaghfirullahal'adhzim." Aku menepuk jidatku sendiri.
"Kenapa Nis?" Dira dan Fina dengan kompaknya bertanya.
"Hp ku ketinggalan di kelas." Mereka memutar bola matanya jengah. Nggak heran sih mereka dengan kecerobohanku yang satu ini.
"Yaudah kamu ambil dulu aja. Aku tunggu di bangku depan ya." Fina menunjuk bangku dekat parkir yang sudah nampak di depan kami.
"Aku pulang dulu ya Fin, Nis." Aku mengangguk "Hati-hati ya Dir." Ia mengangguk, mengulas senyum lalu mengucap salam.
Setelah menjawab salam. Aku menyusuri koridor kampus seorang diri.
Suasana sekitaran tampak lengang. Sebagian besar Mahasiswa di sini sudah pada pulang. Terkecuali beberapa kelas yang masih lanjut mata kuliah tambahan biasanya sampai jam 5 sore.
"Assalamu'alaikum Ziyyadah." Langkahku terhenti tepat di pertigaan jalan koridor ini. Terdengar tapak kaki dari arah kananku semakin mendekat. Aku pun menoleh ke arahnya. Dan aku hafal sekali siapa dia, dia satu-satunya laki-laki yang memanggilku Ziyyadah.
"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh. Pak Hasbi." Tampak ia tersenyum. Aku pun membalasnya dengan hal yang sama.
Kenapa dia? Raut wajahnya kenapa terlihat letih dan lesu? Senyumnya tampak beda dari biasanya. Mungkin lelah ngajar seharian ini kali ya, batinku menerka-nerka.
"Udah mau pulang?"
"Iya Pak. Tapi ini mau ambil handphone dulu ketinggalan di kelas." Ucapku menunduk.
"Hmmm pantesan dari tadi saya telpon nggak ada jawaban." Kukerutkan kening, heran dan penasaran tumben banget nih calon suami telepon.
Biasanya hanya nge-chat, itu pun hanya seperlunya saja.
"Ya udah ayo saya antar ambil handphone nya." Dia melangkah terlebih dahulu, membuatku mau tak mau mengekorinya dengan debaran hati yang begitu kencang.
"Setelah ini kamu ada acara nggak?"
"Nggak ada Pak," ucapku gugup.
Bagaimana tak gugup. Jika Pak Hasbi tiba-tiba berhenti menghadap ke arahku dan aku hampir saja menabraknya. Untung saja aku langsung sadar kalau dia berhenti dan kakiku berhenti tepat pada waktunya.
Kalau nggak? Gak mungkin kan aku nabrak dan jatuh ke dada bidangnya itu. Ya Allah jangan sampai lah.
Untung saja koridor yang kami lewati sepi, tak ada satu mahasiswa pun yang nongkrong di depan kelasnya. Jadi hanya dia yang tahu kalau saat ini aku salah tingkah akibat ulahnya.
"Ya udah. Aku anterin kamu pulang ya."
Aku terdiam. Mau langsung bilang iya malu. Bilang 'nggak' tapi aku mau
"Kamu bawa motor?"
"Eng- enggak Pak."
"Ya udah aku antar. Sekalian juga Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan kamu dan Nenek." Aku pun mengangguk, kemudian mengikuti langkahnya kembali.
Setibanya di Parkiran.
"Assalamu'alaikum Pak Hasbi." Fina terdengar menyapanya dan dia menjawab salam Fina.
Saat langkahku terhenti di sampingnya. Dia menaikkan kedua alisnya sebagai kode. "Kok bisa barengan gitu kali ya."
Aku hanya tersenyum dan meneruskan langkah sembari menggandeng lengannya agar ikut serta.
"Kita pulang barengan Pak Hasbi nggak apa-apa kan?"
"Cie cieee yang mau dianterin calon suami, pipinya memerah nih," godanya menoel pipiku yang sedari menghangat dan menahan malu.
Iya ... hanya Dira dan Fina yang tau kalau aku sudah bertunangan dengan Pak Hasbi. Itu pun baru ketahuan kemarin dan aku diteror habis-habisan oleh keduanya karena aku memakai cincin tunangan.
Mau nggak mau akhirnya aku menceritakannya, tapi dengan syarat jangan sampai berita ini menjadi heboh di seluruh kampus.
Tau sendiri kan? Gimana sosok calon suamiku itu di kampus. Bisa-bisa aku di hadang para fans fanatiknya karena merebut idolanya.
"Udah ayok. Kamu wajib ikut pokoknya ya."
"Iya-iya." Fina menyeret langkahnya pasrah.
"Nisa ajak Fina nggak apa-apa kan Pak?"
"Iya nggak apa-apa," ucapnya kemudian membukakan pintu bagian belakang.
"Terima kasih," ucapku lirih. Setelah Fina masuk duluan dan Aku mengikutinya tampak ia mengangguk kemudian tersenyum ke arahku.
Entah mengapa, saat aku menatapnya pandangannya sayu dan seperti memaksakan senyuman itu.
Ada apa sebenarnya? Kenapa ia mendadak berkunjung kerumah?
Nggak mungkin juga kan ia kangen sama Nenek? batinku terus bertanya-tanya selama perjalanan.
Hening ... tak ada yang memulai pembicaraan.
"Kenapa hari ini nggak bawa motor?" tanya Pak Hasbi kepadaku. Tampak ia memandangku sekilas lewat spion di depanku.
"Tadi Pagi mesinnya nggak mau nyala, akhirnya saya bawa ke bengkel dekat rumah Pak." Tampak ia mengangguk-anggukkan kepala.
"Fina rumahnya dimana?"
"Jalan Permai No. 12 Pak."
"Berarti searah dengan rumah Ziyya ya?"
"Iya."
Setelah itu. Hening, kembali tak ada obrolan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
🐼🐼🐼🐼🐼🐼🐼🐼🐼🐼🐼🐼🐼🐼🐼
Jangan jadikan saling cinta sebagai tolak ukur bahwa dia harus menjadi jodohku.
Akhwatul_Iffah
🐻🐻🐻🐻🐻🐻🐻🐻🐻🐻🐻🐻🐻🐻🐻
7 Sya'ban 1440 H
Masih penasaran bagaimana keputusan Hasbi???
In syaa Allah akan terjawab di Part selanjutnya ya 😊
Assalamu'alaikum sahabat.
Alhamdulillah part ini lumayan panjang ya.😊😊
Semoga bisa memetik manfaat baik dalam cerita ini.
Jangan sungkan untuk mengingatkan jika ada kesalahan dalam tulisan ini ya.
Jangan lupa Vote dan Komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top