20. Permintaan Sahabat
📱📱📱📱📱📱📱📱📱📱📱📱📱
"Assalamu'alaikum. Ibu dan semuanya apa kabar?" Dengan antusias dan rasa bahagia yang membuncah kuterima telpon dari Ibu malam ini.
"Alhamdulillah kami semua sehat Nak di sini. Nisa sama nenek juga sehat kan?"
"Iya Bu. Alhamdulillah Nisa sama Nenek di sini juga sehat. Kapan Ibu ke sini? Nisa kangeeen," rengekku.
"In syaa Allah minggu depan, Nak. Itu pun kalau memang benar-benar beres kerjaan di sini baru Ibu sama Ayah bisa ke sana. Kalau memang nanti ada yang belum selesai. Biar Ayah saja yang ke sana lebih dulu ya."
"Yah ... kok Ayah aja sih Bu. Nisa tuh udah kangen sama Bapak dan Ibu juga."
"Iya, Sayang. Ibu juga kangen banget sama Nisa. Nanti deh, Kami akan usahain akan diselesaikan secepatnya kok Nis. Ibu sama Ayah kan penasaran, pingin ketemu sama calon mantu."
Mendengar kata 'calon mantu', membuatku teringat padanya. Laki-laki yang sukses mengenalkan hatiku dengan yang namanya cinta.
"Gimana tadi acara khitbahnya Nak? Maaf ya Ibu dan Bapak nggak bisa datang."
"Iya nggak apa-apa Bu. Lagian ini kan masih khitbah Bu. Alhamdulillah acaranya berjalan dengan lancar Bu.
Oia ... nanti kalau Nisa nikah pokoknya fardhu 'ain lo Ibu, Ayah dan adik-adik ke sini."
"Cieee ...." Terdengar suara dua anak laki-laki memekik telingaku.
"yang udah punya calon suami. Sekarang ngomonginnya udah mau nikah ya Mbak." Celetukan Ahsan yang berlanjut. Karena yang bisa ngomong panjang lebar kayak gini hanya Ahsan. Sedangkan Faris, tipe anak yang irit bicara, lebih pendiam.
Wah ini berarti telponnya di loudspeaker sama Ibu, batinku.
"Iiihhh ... apaan sih Dik." Aku jadi grogi gini kalau digodain, meski hanya mereka, adik-adik kecilku yang godain.
"Mbak Nis ... calon suami Mbak ganteng nggak? Paling juga gantengan Ahsan ya?."
"Ish ... PD banget kamu Dik. Ya gantengan calon suami Kakak dong," jawabku tak mau kalah dengan mereka.
"Wah ... Mbak Nisa tega nih. Mentang-mentang udah punya calon suami. Adeknya di anggap nggak ganteng lagi."
"Biarin."
"Ih ... Ibu, Ayah ... mbak Nisa jahat Nih." Terdengar rengekan Ahsan mulai ngadu nih, membuatku terkekeh.
"Hehehe iya ya deh. Kalian sama-sama ganteng kok."
"Kirimin Fotonya dong Mbak. Ahsan jadi penasaran."
"Namanya siapa Mbak?" Celetukan Faris mulai terdengar.
"Iya-iya in syaa Allah nanti Mbak kirimin Fotonya. Namanya Mas Hasbi Dik."
"Yeee ...."
Hening sesaat setelah terdengar sorak senang dari kedua adikku itu membuat bibirku langsung tertarik melekung senyum.
"Nisa ...."
"Iya ... Ayah." Suara Ayah sangat tak asing di telingaku. Makanya mudah bagiku mengenalinya.
"Ayah senang, Nak. Akhirnya kamu mau buka hati buat laki-laki yang sholeh dan udah mapan seperti Hasbi. Meski Ayah belum tau sosoknya, hati Ayah sudah mantap dan merasa lega jika kamu bersamanya Nak.
Selain Ayah tau dari cerita Nenek mengenai sosok Hasbi. Ayah juga sudah melakukan sholat Istikhoroh berkali-kali untuk pilihanmu ini. Dan Alhamdulillah ... hati Ayah makin mantap Nak. Semoga kalian berjodoh ya. Jaga hatimu dan dirimu baik-baik di sana ya Nis. Maaf sekali Ayah tadi nggak bisa datang ke sana menemui calon mantu Ayah secara Langsung. Tapi Ayah akan usahakan secepatnya akan ke sana begitu urusan di sini selesai." Tak terasa tiba-tiba air mata yang menggenang di kelopak mataku sejak mendengar suara Ayah akhirnya luruh juga memuara di ke dua pipi, bersamaan usainya ucapan Ayah.
"Iya Ayah Nisa bisa ngerti keadaan keluarga di sana. Nisa akan jaga diri dan hati Nisa di sini."
"Alhamdulillah.
Oia jangan lupa belajar kuliahnya sungguh-sungguh. Jangan mentang-mentang mau nikah kuliahnya nggak diperhatiin."
"Hehe tenang saja yah. Kan dosennya calon suami Nisa. Nanti kalau ada yang nggak paham bisa langsung nanya."
Suara Kekehan terdengar.
"Kamu ini pinter banget ya jawabnya."
Aku begitu rindu kepada keluargaku. Aku ingin segera bertemu dengan mereka dan memeluk meluapkan rindu ini.
Setelah obrolan Ayah, telepon pun terputus setelah semuanya pamit. Tak terasa obrolan kami tadi menyita waktu satu jam lebih.
Kutengok jam dinding di kamarku telah menunjukkan pukul 9 lewat 10 menit.
Aku pun segera ke kamar mandi untuk bersuci menghilangkan hadats kecil lalu berdoa dan berdzikir sampai terlelap.
🌱🌱🌱🌸🌱🌱🌱
Tiga hari Berlalu. Aku berdiri di balkon kamar sore ini, menghembuskan napas lega begitu deringan tersambung dari ponsel yang kini menempel di telinga kananku.
Akhirnya ini anak mau mengaktifkan handphone nya setelah 3 hari membuatku frustasi mencari keberadaannya.
Semenjak kuketahui kabar ia juga akan meminang Ziyya. Pikiranku kembali bergelut tak enak plus gelisah sepulangnya diriku dari rumah Ziyya.
Aku memutuskan berkunjung ke rumahnya sore itu. Tapi kosong, tak ada siapa pun dirumahnya. Begitu pun 2 hari setelahnya, aku melakukan hal yang sama dengan hasil yang sama pula.
Aku semakin frustasi saat tak ada kabar sekali darinya. Ada apa dengannya? Apa yang terjadi sebenarnya pada dirinya? Apa dia kenapa-kenapa?
Kenapa ia cepat dan lama menghilang sampai beberapa hari ini, bak tertelan bumi.
Bikin aku semakin khawatir saja.
Tuut... tuuut...
Tak diangkat. Kucoba tekan kembali panggilan.
Tersambung.
Tapi belum juga diangkat.
Ya Allah ... kuusap wajah kasar sembari menyebut nama-Nya.
Ku coba lagi dan lagi.
.
.
.
.
.
Akhirnya panggilan ke 10 baru diangkat.
"Assalamu'alaikum Fadhil." Dengan cepat suara salamku menyapanya.
"Wa'alaikumsalam." Terdengar suara lirih dari sana, lesu seperti enggan berbicara.
"Fadh ... Ente baik-baik saja kan?"
"..." hening.
"Halo Fadh, Ente sekarang di mana? Ane akan menemui Ente sekarang."
"Untuk apa lagi Has? Bukankah Ente udah berhasil merebutnya dari Ane?."
Astaghfirullahal'adhzim..
Kalimat istighfar ini hanya kugumamkan dalam hati.
Aku tau dia pasti sakit hati dan tak terima dengan apa yang terjadi. Tapi kenapa dia malah menuduhku merebut Ziyya?
Bukankah Aku tak mengetahui dari awal kalau dia mencintai gadis yang sama dengan gadis yang telah kukhitbah dan kucintai juga?
"Ya Allah Fadhil ... maafin Ane Fadh. Ane sama sekali tak ada niatan seperti itu. Bisakah Ane ketemu Ente sekarang? Sekarang ente di mana?"
"Di Rumah Sakit Cempaka Putih."
"Astaghfirullahal'adhziim Ente sakit Fadh?"
Hening tak ada jawaban.
"Yaudah Ane kesana sekarang. Sms ane ruangan ente di mana. Assalamu'alaikum." Kutekan layar merah begitu kudengar salam lemahnya.
Kusambar kunci motor di atas nakas dan jaket yang menggantung di dekat pintu.
"Ummi ... Hasbi keluar dulu ya, ada urusan sama Fadhil. Assalamu'alaikum."
"Iya Nak hati-hati ya di jalan. Wa'alaikumsalam warohmatullah Wabarokatuh."
Kucium tangan Ummi kemudian segera berlalu, mengendarai motor dengan tetap berhati-hati.
Pikiranku sedikit lega saat ini. Seenggaknya aku sudah tau bagaimana kabar Fadhli dan tau keberadaannya sekarang.
20 menit berselang.
Motorku telah memasuki area Parkir Rumah Sakit. Segera kaki ini melangkah memasuki pintu kaca rumah sakit yang telah dibuka oleh satpam yang setia berdiri di sana.
Sembari mengayun langkah, kurogoh ponsel yang berada di saku kemejaku. Memastikan Fadhil ada di ruang apa.
Ku buka pesan dan membacanya
"Temui Ane di taman belakang Rumah sakit."
Dahiku mengkerut, heran. Ni anak sakit tapi kok ngajak ketemuannya di taman?
Tanpa pikir panjang lagi, langkahku mengikuti arahan darinya. Menuju taman belakang Rumah Sakit yang lumayan belasan meter dari tempat berdiriku saat ini.
Beberapa menit kemudian, barulah kaki ini menginjak tanah berumput yang terhampar luas di taman Rumah Sakit ini.
Sore ini ... tampak lumayan ramai para pengunjung dan pasien yang berkumpul di hampir setiap sudut dan di bangku-bangku taman yang di kelilingi bunga yang sudah tak banyak mekar lagi.
Kulihat kanan kiri, kutengok hampir di setiap penjuru taman ini. Tak ada tanda-tanda laki-laki itu di sekitar sini.
Akhirnya aku memutuskan untuk kembali mengirimi ia pesan.
"Ane sudah di Taman. Ente di mana?"
Send Fadhil
Tak lama aku berdiri setelah mengirim pesan. Terdengar suara Deheman dari arah sampingku.
"Ehm."
Otomatis kepalaku menoleh ke arahnya.
Kulihat penampilannya kali ini berantakan, tak tampak seperti biasanya. Kemejanya terlihat kusut dan rambutnya pun tampak tak terurus.
Fadhil yang selalu menjaga kerapiannya dalam berpenampilan, bersih dan rapi kapanpun dan di mana pun. Tapi Sangat berbeda untuk hari ini.
"Fadhil ... Assalamu'alaikum." Kuulurkan tangan ke arahnya. Aku berusaha mencairkan suasana yang sempat menegang diantara kami.
Tapi bagaimana reaksinya?
Dia menatap arah depan dengan pandangan kosong.
Hanya dengan suara lirih ia menjawab salamku dan kedua tangannya masih setia dimasukkan ke dalam kedua saku celana.
Ya Allah ... Fadhil masih marah. Batinku.
Dia tak mau menjabat tanganku yang telah terulur ke arahnya.
"Fadhil ... maafkan Ane. Ane benar-benar nggak tau dan nggak nyangka kalau Ziyya adalah wanita yang Ente cintai selama ini. Jadi Ane sama sekali nggak ada niatan ngerebut dia dari Ente."
"Lantas?"
Dia menghembuskan napas kasar kemudian lanjut berucap.
"Maaf saja itu tak bisa menyembuhkan sakit hati Ane Has."
Kutengok wajahnya yang sampai kini tak menoleh sedikit pun ke arahku.
"Ya Allah Fadhil ... kenapa Ente ngomong begitu. Terus apa yang harus Ane lakuin supaya Ente bisa menerima kenyataan ini dan mau maafin Ane?"
Kutatap wajahnya dari samping yang masih datar mengarahkan pandangan lurus ke depan.
Dia diam, beberapa detik berlalu belum juga ada jawaban.
Aku sendiri bingung harus ngomong apa lagi. Ya Allah... kuusap wajah kasar, ikut frustasi dengan keadaan ini.
Masalahnya ... ini pertama kalinya aku bermasalah dengan sahabat hanya karena cinta. Dan kali ini aku bingung harus bujuk Fadhil dengan cara bagaimana.
Bukankah ini semua terjadi secara tak sengaja. Aku mencintai perempuan yang aku tak tau kalau dia mengenal sahabatku dan ternyata sahabatku ini mencintainya.
"Tinggalin Nisa buat Ane Has."
Satu kalimat tegas itu terdengar seperti kilat yang menyambar, memekik telingaku dan membuat sesak di dada.
Apakah aku tak salah dengar?
Tatapan kami sama-sama ke depan, masih hening sampai beberapa menit berlalu. Aku masih sibuk mencerna setiap kata yang keluar dari lisan Fadhil.
"Tinggalkan Nisa buat ane Has."
Kalimat ini terus terngiang di telingaku. Dadaku masih bergemuruh ingin rasanya memaki-maki laki-laki yang telah lama menjadi sahabatku.
Dengan entengnya dia berbicara seperti itu. Seperti orang yang hanya meminta makanan yang ia sukai yang sudah kubeli terlebih dahulu.
Ini masalah hati dan perasaan seseorang yang tak bisa dipermainkan. Bukankah ia sudah tau jika khitbah ini telah resmi diantara diriku dan Ziyyadah. Semudah itu ia berucap memintaku memutuskannya tanpa alasan?
Tanpa alasan satu pun yang terucap ia menegaskan kalimat permintaan yang membuat hatiku seakan jatuh dari ketinggian beratus-ratus kilometer. Terhujam dengan dahsyatnya, menyebabkan sakit yang sangat seakan patah. Jangan lupakan degupan jantungku begitu cepat dan menyesakkan dada.
"Ente masih menganggap Ane sahabat kan Has?" Kurasakan tepukan di bahu kananku. Dan tangannya kini bertengger di atasnya.
"Iyalah Fadh. Sampai kapan pun kita akan terus sahabatan." Kubalas tepukan di punggung tangannya pelan.
"Maafkan Ane Has. Ane meminta ini bukan tanpa alasan. Hal ini juga berat buat Ane putuskan. Tapi ...." Dia menundukkan kepalanya, menatap rumput hijau yang terhampar luas di depan kami.
Tampak kedua matanya berkaca-kaca. "Mama Ane Has. Beliau meminta Ane menikahi Nisa secepatnya. Katanya beliau ingin melihat Ane menikah sebelum ajal menjemputnya." Air mata Fadhil akhirnya luruh dan bermuara di kedua pipinya.
"Tolong jelasin ke Ane Fadh. Mama Wulan kenapa? Sakit apa?" aku khawatir akan keadaan Mama Wulan yang sudah kuanggap seperti Ummiku sendiri.
Dulu sewaktu liburan pesantren, Aku sering menginap di rumah Fadhil bersama Hasan dan Ferdi. Akibat keramahan dan kelembutan kasih sayang beliau terhadap kami, sehingga kami menganggap beliau seperti ibu kami sendiri.
"Komplikasi gagal ginjal akut, yang ginjalnya telah rusak permanen. Kata Dokter ... jika tidak segera dilakukan trasplantasi ginjal, akan membahayakan nyawanya." Fadhil mengusap wajahnya kasar kemudian meremas rambutnya secara geram. Tampak ia begitu frustasi, Akubenar-benar tak tega melihat keadaannya seperti ini.
Tapi di sisi lain, hatiku masih bertarung mencari jawaban. Dan jawaban ini aku harus pikirkan matang-matang karena ini menyangkut urusan dua hati.
Ya Allah ... apa yang harus hamba lakukan?
Bisakah hamba merelakannya untuk sahabat hamba ini?
Ya Allah ...
Hamba mencintainya dan tinggal selangkah lagi kita akan mencapai ikatan halal.
Mampukah hamba melepaskannya?
Bagaimana dengan hatiku?
Sesak, seakan terhimpit batu besar yang tak memberi rongga sedikit pun untukku bisa bernafas.
Ya Allah ... kusebut nama-Nya dalam hatiku seakan menjerit.
Karena tak mungkin juga kan aku menjerit di tempat ini dengan suara yang lantang.
"Hasbi ... Ane benar-benar bingung saat ini Has. Tolong bantu Ane, ini urusan nyawa seorang wanita yang telah melahirkan Ane. Ane takut hal buruk itu terjadi sebelum Ane mampu mewujudkan keinginan terakhirnya Has." Ia menghela napasnya kasar kemudian lanjut berucap.
"Sudah beberapa hari ini Ane usaha kesana kemari mencari pendonor yang cocok, tapi belum juga Ane dapatkan sampai hari ini.
Mama tau kalau Ane mencintai Nisa sejak dulu. Makanya mama ingin melihat Ane menikah dengannya sebelum ia meninggalkan dunia ini."
Kembali ia menghela napas menoleh ke arahku yang sedari menatapnya, menyimak setiap kata yang keluar dari lisannya.
"Dari kemarin Mama tak sadarkan diri dan kritis sampai saat ini Has.
Ya Allah ...." Dia kembali mengusap wajahnya kasar setelah menyebut Asma-Nya sedikit menjerit. Matanya semakin memerah, karena air matanya terus mengaliri pipinya.
"Ane akan pikirkan dulu Fadh. Berilah ane waktu ya.
Boleh ane tengok Mama Wulan?" Ia mengangguk kemudian menarik langkah yang otomatis aku mengikutinya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung..
Gimana jawaban Hasbi???
Penasaran nggak??
Tunggu di part selanjutnya ya
Im syaa Allah 😄😄😄
🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠
Jika Cinta penuh dengan ego dan ambisi ingin memiliki. Maka ia akan sulit menerima ketentuan Allah jika itu tak sesuai harapannya.
Akhwatul_Iffah
🐋🐋🐋🐋🐋🐋🐋🐋🐋🐋🐋🐋🐋🐋
3 Sya'ban 1440 H
Assalamu'alaikum sahabat???
Alhamdulillah bisa Up lagi hari ini ya.
Semoga bisa memetik manfaat baik dari part ini.
Jangan lupa vote dan komentarnya ya...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top