19. Salting (salah tingkah)


📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚

Aali-Imran 3:14

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ

(Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada syahwat) yakni segala yang disenangi serta diingini nafsu sebagai cobaan dari Allah atau tipu daya dari setan (yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak) yang berlimpah dan telah berkumpul (berupa emas, perak, kuda-kuda yang tampan) atau baik (binatang ternak) yakni sapi dan kambing (dan sawah ladang) atau tanam-tanaman. (Demikian itu) yakni yang telah disebutkan tadi (merupakan kesenangan hidup dunia) di dunia manusia hidup bersenang-senang dengan hartanya, tetapi kemudian lenyap atau pergi (dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik) yakni surga, sehingga itulah yang seharusnya menjadi idaman dan bukan lainnya.

📕📕📕

Setelah khitbah diterima. Aku langsung merogoh saku celana, guna mengambil kotak cincin yang telah kusiapkan.

Jangan lupakan lekungan bibirku yang tak kunjung pudar sedari tadi. Pertanda hatiku kini merasakan kebahagiaan yang sangat.

Bagaimana tak bahagia. Jika di saat kita serius mencintai seseorang , kita berhasil membuktikannya dengan cara mengajaknya serta untuk memenuhi sunnah Rosul, agar cinta ini akan selalu terjaga fitrahnya dengan harapan Allah kan Meridhoi cinta ini.

Dia, Ziyyadah Khiroun Nisa' menerimaku dengan tangan terbuka dan itu berarti cintaku tak bertepuk sebelah tangan kan?

Maa syaa Allah ...
Alhamdulillahil ladzii bini'matihii tatimmush shoolihaat.

"Ini Ziyya. Saya sudah siapkan cincin pertunangan kita. Kamu nggak keberatan kan memakainya?" Ia menutup mulutnya dengan ekspresi terkejut. Nggak nyangka kali ya. Kalau aku sudah menyiapkan ini. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya, ngegemesin.

"Gimana?" Kembali pertanyaan meluncur dari lisanku, karena ia tak kunjung menjawab.

"I-iya Pak saya mau." Dengan malu-malu ia memberikan jawaban. Kami saling menatap seraya saling membalas senyum merekah.
Hati kami sungguh berbunga-bunga, bahagia yang sangat.

Ummi pun meraih satu cincin emas putih yang bermata berlian di tengahnya itu, lalu memasukkan ke jari manis kanannya, dengan mengucapkan Basmalah terlebih dahulu.

Kemudian mengambil satu cincin peraknya untuk dipasangkan di bagian jemari yang sama pada jariku, tak lupa juga dengan membaca Basmalah.

Alhamdulillahirobbil'alamiin.
"Semoga kalian berjodoh di dunia sampai di akhirat ya, Nak." Tangan kami berdua di raih Ummi seraya beliau merapalkan do'a tersebut. Tanganku di genggam pada tangan kirinya dan di tangan kanannya ia menggenggam tangan Ziyya.

"Aamiin yaa Robbal'aalamiin." Kami serempak mengamini do'a Ummi.

"Assalamu'alaikum." Tiba-tiba terdengar dari ambang pintu suara seorang laki-laki yang membuat kami semua menoleh dan menjawab salamnya.

"Kak Fadhil."

"Nak Fadhil."

Ziyya dan Nenek berucap bersamaan.

Nenek langsung berdiri mendekat ke arahnya.

"Fadhil?" ucapku lirih penuh tanda tanya.
Ngapain nih anak ke sini?
Otakku sepertinya mulai lambat loading untuk berpikir karena keterkejutanku, di susul kemudian rasa penasaran yang tiba-tiba memuncak.

Nenek beranjak menyambutnya.

"Silahkan duduk, Nak. Lama sekali kamu nggak ke sini? Apa kabar?" Terlihat dia sudah akrab sekali dengan Nenek.

Nenek pun mempersilahkan masuk dengan ramah dan senang.

"Fadhil." Kusebut namanya begitu ia duduk di sofa yang hanya cukup untuk satu orang. Dia berada diantara Ummi dan Nenek sekarang.

Sedangkan aku bersebrangan tepat dengan Ziyya yang sedari tadi hanya diam tak berkomentar apa pun atas kedatangan Fadhil.

"Maa syaa Allah ... Ente ada di sini Has? Ada apa nih?" Semua mata kini terarah kepadanya yang menyambut sapaanku.

"Nak Fadhil kenal sama Nak Hasbi?" tanya Nenek yang membuat fokus Fadhil kembali ke arah Nenek.  Aku memikirkan satu hal yang masih belum bisa kupecahkan.
Kok bisa Fadhil begitu dekat dengan keluarga ini?

"Iya Nek. Hasbi ini sahabat Fadhil dari zaman Fadhil masih di pesantren." Tampak Nenek ber oh ria sembari mengangguk-anggukkan kepala mendengar jawaban Fadhil, aku hanya menyimak.

Dia kemudian mengulurkan tangannya, membuatku memajukan dudukku untuk meraih uluran tangannya.

"Ngapain ente di sini?" Dia mulai melontarkan pertanyaan dan Aku hanya melirik ke arah Ziyya yang sedari tadi masih diam sebagai kode jawaban.

Jabatan tangan kami tak terlepas, sampai dia akhirnya menyadari dan mulai paham kode lirikanku barusan.

"Jangan bilang kalau Ziyyadah yang mau Rnte khitbah itu Nisa?" Dia menebak, dan itu tepat sekali. Dia langsung melepas tangannya.

"Iya, memang gadis di depan Ane inilah yang sukses Ane lamar. Terus Ente katanya mau lamar gadis juga? Kok jadi kita ketemu di sini.?" Seketika raut wajah Fadhil berubah drastis, yang sedari tadi tampak senyum sumringahnya terus mengekspos. Tapi kini senyuman itu redup, hilang seketika. Diganti dengan muka yang memerah seperti menahan sesuatu dan matanya seakan mulai berkaca-kaca.

"Selamat Has.  Ane Pamit kalau gitu."

"Maaf Nek dan semuanya. Fadhil pamit, Assalamu'alaikum." Kami semua heran dengan sikapnya yang tiba-tiba pamit tanpa ada tujuan kemari. Apa dia kemari hanya berniat bersilaturahmi sebentar saja?
Tapi apa mau dikata, Kami pun menjawab salamnya serempak bersamaan dengan langkah yang menyebabkan punggungnya tertelan ambang pintu.

Tapi aku segera beranjak, hendak mengejarnya. Karena pikiranku menaruh curiga dengan kondisi seperti ini.
"Maaf ... Hasbi permisi keluar dulu ya."

Dengan langkah cepat aku mengejarnya. Begitu kaki ini melewati pintu, masih bisa kulihat punggungnya hendak melewati pagar.

"Fadh ...."

"Fadhil." Aku mengejarnya dan berhasil kupegang pundaknya, agar langkahnya terhenti.

Benar saja. Ia menghentikkan langkah, tapi ia enggan membalikkan tubuhnya. Jadi aku memilih melanjutkan langkah, dan langsung berdiri tepat di hadapannya.

Tampak ia menunduk.

"Fadhil." Satu kali lagi aku menyebut nama panggilannya.

Dia mendongak, tampak matanya memerah dan bekas air mata telah berantakan di wajahnya.

"Fadhil ... Ente kenapa?" Aku masih belum ngeh dengan keadaan ini.
Tadi aku mengejarnya hanya merasa curiga dan penasaran akan perubahan mimik wajah Fadhil yang sempat berubah drastis.

"Ente masih nanya Ene kenapa?" Dia bukannya menjawab malah balik nanya. Kesel sih, tapi aku kasihan melihat Fadhil kayak gini. Apa akunya aja yang kurang peka ya?.

Pikiranku mulai menelisik, mengingat-mengingat sesuatu soal cerita Fadhil tempo hari.

Beberapa detik kemudian, kerja otakku cepat dan mulai mengingat sesuatu.

Ya Allah ...
Aku baru menyadari satu hal, nggak ... nggak ... jangan sampai pikiranku ini benar, batinku berkecamuk.

Terdengar bunyi langkah menyadarkanku. Itu langkah Fadhil mulai berlalu dari hadapanku.

"Fadh ...."

"Fadhil ...."

"Fadh ... jangan bilang kalau Ente juga mau ngelamar Ziyyadah?" Aku sedikit berteriak melontarkan pertanyaan ini karena Fadhil tak lagi menoleh ke arahku.

Dia terus melangkah ke arah kanan mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempatku berdiri.

Dia menghetikan langkah tepat di samping pintu mobilnya begitu perkataanku selesai. Hendak membuka pintu, tapi urung. Dia menatapku lekat. "Sayangnya ... memang itu benar Has!" ucapnya agak berteriak juga.

Langsung Ia masuk ke dalam mobil, begitu ia menyelesaikan satu kalimat singkat yang membuatku melongo dan terpaku, sibuk mencerna kenyataan yang ada.

Aku tak salah dengar kan?

Deru mesin mobilnya semakin menjauh, tapi tubuhku tak bergerak sedikitpun.

Sampai beberapa menit aku masih setia berdiri dalam keterpakuan dan pikiranku yang berkecamuk.

"Pak Hasbi."
Suara lembut dari belakangku terdengar, membuatku sadar dari lamunan.

Kubalikkan tubuh menghadapnya. Tampak gadis cantik yang kini berdiri di hadapanku dengan jarak satu meter lebih sedikit.

"Ziyyadah." Kusebut namanya, tampak ia tersenyum.
Senyumnya begitu melembutkan hatiku yang sempat bersitegang beberapa menit yang lalu.

"Ada apa, Pak?" Aku hanya menggelengkan kepala. Aku belum siap bercerita kepada siapa pun soal ini. Biarlah dulu ... aku akan mencari jalan keluar terbaiknya nanti.

"Kamu sudah lama kenal dekat dengan Fadhil?" Dia tampak mengangguk, kemudian ikut berjalan beriringan denganku. Tapi tetap jaga jarak aman kok.

"Kak Fadhil sudah Nisa anggap kayak kakak sendiri." Jawabannya membuatku sedikit lega, zarena sepertinya di hati Ziyya tak ada rasa cinta kepada Fadhil.

Itu berarti ... Cinta Fadhil kembali bertepuk sebelah tangan? Ya Allah ... hatiku ikut terenyuh kesedihan mengingat hal ini. Karena aku tau bagaimana frustasinya Fadhil saat patah hati dari Clara dulu. Hatiku pun mulai terliputi rasa bersalah kalau keadaannya seperti ini.

Tapi ... aku nggak mau wanita di sampingku ini lepas dariku. Kulirik dia yang masih setia menunduk berjalan di sampingku, seiring dan seirama dengan langkahku.

Detik kemudian dia menoleh ke arahku. Netra kami bertemu sejenak, hanya beberapa detik. Karena setelahnya kami menunduk, sama-sama salah tingkah.

Jangan lupakan jantungku yang kembali berdegup kencang.

🌱🌱🌱🌺🌱🌱🌱

Entah mengapa, saat Kak Fadhil datang dan tiba-tiba pamit diri. Aku merasakan suatu firasat yang tak enak.
Apa yang sebenarnya terjadi?

Kenapa Pak Hasbi lama sekali di luar?
Sesekali kepalaku mendongak ke arah jendela yang tembus pandang lewat kaca. Terlihat Pak Hasbi berdiri seorang diri, kak Fadhil sudah tak terlihat lagi.

"Udah kangen sama calon suami??" Nenek menyenggol lenganku, menggodaku. Membuat pipiku langsung bersemu merah, gugup plus malu ketahuan gelisah tengak tengok Pak Hasbi.

"Samperin gih." Ummi Hasanah menyambung godaan Nenek tampak tersenyum arahku. Membuatku semakin kutu dan tersenyum lalu menundukkan kepala.

"Sudah ... nggak usah malu-malu gitu. Belajar berani dikit-dikit dari sekarang. Kan Ziyya sudah menjadi calon istrinya anak Ummi." Tiba-tiba calon mertua duduk di sebelahku, mengusap punggung tanganku yang telah berada di pangkuannya.

Nenek ... entah beliau hilang ke mana. Kayaknya udah pamit ke dapur tadi.

Aku menatap mata teduhnya. Dia tersenyum dan membuat bibirku ikut tertarik membentuk lekungan.

"I-iya Ummi." Dengan sedikit gugup aku pun bèranjak hendak menemui Pak Hasbi yang tak kunjung kembali.

Langkah ini semakin mendekat, hatiku makin berdebar meronta-ronta. Kedua tanganku saling menggenggam, kurasakan dingin  akibat gugup yang semakin mendera.

Kuberanikan kepala ini mendongak. Saat ini aku telah berada tepat di belakangnya, Dia masih terdiam dan tak menyadari kedatanganku.

Ku hembuskan napas perlahan sebelum lisan ini mengeluarkan suara.
"Pak Hasbi."

Detik kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadap kearahku dan menyebut namaku.

"Ada apa Pak?" Aku bertanya penasaran tapi Dia hanya menggelengkan kepalanya.
Aku tak berani untuk tanya lebih lanjut, padahal aku sangat penasaran dengan apa yang terjadi antara Pak Hasbi dengan Kak Fadhil. Melihat raut wajah Pak Hasbi yang kini terlihat sedikit berbeda, tampak sedikit frustasi.

Tapi kenyataannya saat ini, kegugupan yang mendera mengalahkan rasa penasaranku. Jadilah aku hanya diam dan menunduk.

Dia mulai menarik langkahnya dan bertanya, "Kamu sudah lama kenal dengan Fadhil?" Aku menjawab pertanyaan itu hanya dengan anggukan, kemudian kuikuti langkahnya dengan sedikit obrolan dan sesekali terjadi insiden yang membuat kami sama-sama salah tingkah.

Begitu kaki kami berhasil melewati pintu. Suasana di ruang tamu sepi. Ummi dan Nenek tak tampak di sana.

Dia duduk di tempat yang sama dengan tadi. Akupun memilih hal yang sama. Duduk di depannya tapi berseberangan.

"Kamu nggak duduk di sini?" tanyanya saat aku masih berdiri di hadapan ia yang telah sempurna dalam posisi duduk.

Aku menoleh ke arah tangannya yang menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Lalu beralih menatap wajahnya yang kini terlihat senyum-senyum.
Godain aku nih ceritanya, batinku.

Aku menggelengkan kepala. "Belum di sahkan Pak." aku mendaratkan punggungku dan bersandar ke Sofa yang memang terasa empuk.

Terdengar ia terekekeh. "Maunya di sahkan kapan?" tanyanya kini duduknya agak maju mendekat ke arahku.

"Emm ...." Aku gugup dan dia sukses membuat pipiku merona dengan pertanyaannya. Aku juga bingung nggak tau harus jawab apa. Dia malah senyum-senyum terus menatapku.

"Kalau besok gimana?" Pertanyaannya kali ini membuatku melongo, kaget. Dia menaik turunkan alisnya.

Ya Allah ... nih orang ya bikin orang semakin salah tingkah saja. Aku memberenggut, nggak suka juga hal kayak gini dijadikan bahan candaan.

"Iiihh ... nggak lucu deh Pak becandanya."

"Hehe iya-iya maaf. Abisnya kamu dari tadi mukanya tegang gitu. Senyum dong, rileks. Kan kita sudah sah jadi calon suami istri."

Aku makin kesel. Dia belum berhenti juga menggodaku. Kulipat kedua tangan di dadaku dan menunduk.

"Hahaha ..." dia tertawa. Tapi nggak membahana kok, tertawa sekedarnya saja.

Menit berikutnya suasana hening, tak ada suara apa pun. Tawanya telah terhenti, tapi pandanganku lebih tertarik menatap karpet yang kupijaki.

"Ziyya ...." Aku masih diam, sengaja diam sih karena aku masih kesel.

"Ziyyadah ...."Aku masih bergeming.

"Ziyyadah Khoirun Nisa'. Dosa lo dipanggil calon imam kok nggak respon." Kali ketiga panggilan panjangnya bersamaan dengan ancaman.

Aku mendongakkan kepalaku menatapnya. Dia masih tampak tersenyum. Tapi senyumnya kali ini tak seperti tadi yang keliatan jailin aku.

"Ya, Pak."

"Mulai sekarang ... jangan panggil saya, Pak lagi ya." Dia menggeleng-gelengkan kepala.

Alisku mulai terangkat, heran dengan titahnya.

"Kamu boleh panggil Pak jika hanya di kampus. Saya merasa udah tua aja kalau di panggil 'Pak' sama calon istri saya sendiri." Sontak aku terkekeh mendengar gerutuannya.

"Ziyya." Aku menutup mulut, terhenti menertawainya karena tatapannya mulai serius, dia menatapku lekat. "Jangan bikin saya khilaf lebih lama ya, karena kekehanmu itu bikin kamu terlihat makin cantik."

Aku menunduk, menyembunyikan pipiku yang kembali merona.

"Terus Ziyya harus panggil apa?. Masak iya nama doang kan nggak sopan." Lisanku mulai protes untuk menyingkirkan kegugupan, tampak senyumnya merekah.

"Ternyata kamu nggak pendiem seperti yang aku bayangkan ya." Bukannya menjawab pertanyaanku. Ia malah usil lagi mengomentari yang memang baru kali ini lumayan panjang tutur kataku kepadanya.

Tampak Dia mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagunya.

Aku hanya diam dan mulai memberengut lagi. Kesel deh, dari tadi dia nggak berhenti bikin aku bete. Aku menunduk.

"Panggil aku Mas Hasbi. Gimana?" Aku mendongak. Tampak Ia menaik-naikkan alisnya meminta persetujuanku. Akhirnya mau tak mau kuanggukkan kepala. Nggak mau berdebat lebih panjang hanya soal panggilan.

"Lagi ngobrolin apa sih? Kayaknya seru amat. Ayo kita makan siang dulu." Suara Nenek tiba-tiba menengahi kami. Kami pun menoleh ke arahnya.

Kami mengangguk kemudian beranjak menuju meja makan yang telah tertata rapi beberapa menu makanan di atasnya.

---**---

"Terimakasih ya Nek. Atas jamuan dan penyambutannya. Hasbi senang sekali." Pak Hasbi berucap demikian sembari melangkah menuju keluar dari ruang tengah, hendak berpamit pulang setelah kami semua melaksanakan sholat dhuhur berjamaah tadi selepas makan siang.

"Ya Nak sama-sama dan itu sudah menjadi kewajiban kami menghormati tamu istimewa."

📕📕📕📕

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

"Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya." (HR. Bukhari)

📕📕📕

"Kapan-kapan saya ingin belajar masak sama Bu Zainab Boleh ya. Masakan Bu Zainab top Markotop dah. Belum pernah saya menemukan makanan seenak di sini." Ummi yang sekarang mengambil alih posisi Pak Hasbi, berjalan beriringan dengan Nenek mulai mengobrol kembali.

Aku dan Pak Hasbi mengekor di belakangnya.

"Ah, kamu ini bisa aja Nak. Iya kapan pun kamu boleh ke sini. Nanti ibuk ajarin." Nenek mengusap punggung Ummi dan senyum Ummi merekah atas jawaban Nenek yang sama sekali tak menolak niatannya.

Alhamdulillah....
Puji syukurku atas-Mu ya Allah. Atas kemudahan dua keluarga ini yang bersatu dalam kebahagiaan.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung.

"Libatkan Allah saat bahagiamu dengan cara memuji-Nya.
Karena bahagiamu adalah bagian dari Nikmat-Nya."
Akhwatul_Iffah

Hasbi dan Nisa sedang berbahagia nih.
Kalian gimana?

🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒

28 Rojab 1440H.

*Assalamualaikum reader's
Alhamdulillah bisa Up lagi.

Semoga bisa memetik manfaatnya.
Ambil dan tirulah yang baik dan jauhilah yang jelek dari cerita ini.

Jangan lupa Vote dan komentarnya ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top