17. Bunga Mawar

💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗

Sebuah tepukan di bahuku tiba-tiba mengagetkanku.
"Assalamu'laikum Bro. Sudah lama?" Kepalaku menoleh ke asal suara kemudian menggeleng sembari tersenyum begitu usai menjawab salamnya.

Siang ini. Aku makan siang di sebuah cafe yang tak jauh dari kantorku.
Fadhil ngajak ketemuan, kangen katanya dan sekalian ada yang ingin ia ceritakan.

"Ane juga baru nyampek nih. Ente pesan apa?" Aku bertanya begitu saat pegawai cafe ini menghampiri kami yang menyodorkan buku menu di tangannya.

"Samain aja sama ente." Dia memposisikan duduknya mencari kata nyaman.

Aku mengambil ponsel yang berada di saku kemejaku setelah memesan. Menengok sebentar layar yang kunyalakan, mengingat tadi ada bunyi notif pesan masuk.

Kusunggingkan senyum begitu membaca pesan dari calon istri.
Sebelum ke sini tadi, aku memang mengirimi dia pesan. Menanyakan sesuatu yang kukirim untuknya sudah sampai apa belum.

"Ehm ... Chat dari siapa? Pakek senyum-senyum gitu? Roman-romannya seperti lagi jatuh cinta nih." Kudongakkan kepala menatap Fadhil yang kini menatapku dengan sunggingan senyumnya menggodaku.

"Hehe tau aja Ente." Aku tak mengelak.
Untuk apa kan? Toh dia sahabatku, pikirku

"Wah bener nih? Sahabat Ane yang satu ini akhirnya jatuh cinta?" Dia menatapku lekat dan tampak terkejut, langsung mendekatkan wajahnya ke arahku memastikan.

"Biasa aja kali Fadh. Gak usah heboh gitu." Kuraupkan tangan ke wajahnya yang langsung beringsut lalu terbahak.

"Nggak bisa dong hal kayak gini dianggap biasa. Bukannya dari dulu Ente yang paling anti sama namanya cewek?" Aku hanya tersenyum kemudian meletakkan kembali ponselku ke tempat semula.

"Jadi ... ente mau cerita soal apa?" Aku mulai membahas persoalan yang menjadi titik tujuan kami bertemu. Biar dia nggak makin jadi godain aku.

"Wah langsung aja nih? Ane kan belum selesai ngeledekin Ente." Dia terkekeh dan Aku hanya bisa memutar bola mata kesal.

"Udah ... bahas ane-nya entar aja, itu pun kalau memang ada waktu lebih. Sekarang Ente dulu aja yang cerita. Ane nggak punya waktu banyak nih." Aku berucap sembari menengok jam tangan di lengan kananku. Waktu istirahat tinggal setengah jam lagi.

"Yaelah ... Ente perhitungan banget sih sama sahabat sendiri."

"Afwan Fadh. Bukannya perhitungan waktu, cuman ... kali ini memang Ane lagi sibuk banget dengan pekerjaan. Ini aja Ane sempet-sempetin ketemu Ente. Jadi mohon mengertilah." Tampak ia mengangguk-anggukkan kepala kemudian mulai keseriusan tampak di wajahnya.

"Ane mau-."

"Permisi."
Ucapan Fadhil terpotong oleh pramusaji yang mulai meletakkan minuman dan makanan di meja kami.
Setelah kami mengucapkan terima kasih dia pun berlalu.

"Ente mau ngomong apa tadi Fadh?" tanyaku setelah menyesap creamy latte didepanku.

"Ane mau khitbah seseorang pekan ini Has."

"Oia? Alhamdulillah ... berarti Ente udah bisa move on dari Clara?" Aku menatapnya penuh kebahagiaan. Dia hanya tersenyum kemudian mengangguk setelah menyesap coklat panas di tangannya.

"Sebenarnya, udah hampir 6 tahun kami sering bersama. Tapi baru bekisar 3 tahun yang lalu Ane menyadari sebuah perasaan sayang yang Ane rasakan itu ... sepertinya melebihi sayangnya Ane terhadap seorang adik." Aku mengangguk-anggukan kepala menanggapinya seraya mengunyah kentang goreng yang telah kubalut saos pedas sebelumnya.

"Apa Ente udah menyatakan perasaan Ente kepadanya?" Setelah kunyahanku tertelan, barulah aku bertanya kepadanya. Tampak ia mengangguk, tapi kini wajahnya terlihat sendu di tengah kunyahannya yang menyantap menu makanan sama denganku.

"Tapi ... sampai saat ini dia belum menjawab Has. Ane sempat frustasi hampir 3 tahun ini, Dia menghilang ke kampung halamannya saat pertemuan terakhir kami, bertepatan setelah Ane nyatakan perasaan ke dia.
Tapi ... Ane sangat bahagia sekarang, dia telah kembali ke kota ini. Langsung saja kemarin Ana tanyakan lagi.
Tapi ... dia tetap saja terdiam dan seperti enggan menjawab, jadi Ane putuskan, ingin kasih dia kejutan saja dengan langsung khitbah dia hari Ahad besok." Dia melanjutkan penjelasannya membuatku sedikit kurang setuju dengan apa yang dia ungkapkan di akhir kalimatnya.

"Bentar-bentar ... kalau dia belum jawab pernyataan mengenai perasaan Ente. Kok Ente tiba-tiba khitbah? Apa Ente udah siap dengan resiko terpahitnya?"

Dalam dunia khitbah hanya mempunyai 2 resiko.
Satu, resiko yang membuat hati berbahagia saat diterima. Dan dua, resiko patah hati saat ditolak.

"Iya Has. Ane udah pikirin ini mateng-mateng. Ane udah nggak sabar ingin segera ngehalalin dia, suapaya Ane nggak dosa mulu mikirin dia. Dan juga ... biar hati ini langsung mendapat kejelasan antara Ane harus menyimpan cinta ini atau Ane harus menghapusnya. Ane udah siap kalau dia nolak Ane nantinya. Tapi, doain dong ... Dia nerima Ane ya."

"Iya- iya Ane paham dan Ane do'akan, semoga Ente mendapat yang terbaik dari Allah Subhanahu Wata'ala." Dengan serempak kami mengucap kata "Aamiin".

"Sekarang, giliran ente yang cerita Has. Ayo ...."

Aku menyesap kembali cangkir yang berwarna coklat di depanku, setelah lenyap satu piring kentang goreng di hadapanku.

Aku mengusap bibirku dengan tisu sebelum berucap.
"Kalau Ane sudah ta'arufan sama Dia Fadh. Awal rencananya sih nanti malam Ane mau khitbah Dia. Tapi karena kerjaan yang mendesak Ane lembur. Akhirnya Ane tunda, in syaa Allah hari Ahad pagi Ane ke rumahnya."

"Wah ... berarti kita samaan dong." Dia tersenyum riang dan kubalas anggukan seraya tersenyum juga.

"Ngomong-ngomong siapa nih nama Akhwat yang sudah memikat hati Ante itu? Pasti orangnya cantik dan sholihah ya?" Dia mulai memilin janggutnya penasaran.

"In syaa Allah iya." Aku hanya santai menanggapinya mulai memundurkan sedikit tempat dudukku.

"Tapi Ane yakin, cewek Ane nggak akan kalah cantik kok." Dia dengan tangannya memukul pundakku tak mau kalah.

Aku hanya mengendikkan bahu dan tersenyum ke arahnya. Enggan berdebat dengannya, mengingat ini sudah waktunya aku harus segera kembali ke kantor.

"Afwan ya Fadh.
Ane harus balik ini." Kutengok jam yang bertengger dipergelanganku, memastikan waktu istirahat sebentar lagi lewat.

"Jawab dulu dong Has. Siapa nama calon istri Ente itu?"

Aku beranjak, kemudian menjawabnya singkat " Ziyyadah." Kujabat tangannya kemudian segera berlalu dari hadapannya setelah mengucapkan salam.

🌱🌱🌱🌱🌷🌱🌱🌱🌱

Siang ini aku sudah bersantai diri di rumah, karena hanya ada kuliah sampai jam 11 siang.

"Allahuakbar!" aku terkejut saat tubuh seseorang tiba-tiba duduk didekatku.

"Nenek ih ... ngagetin Nisa aja," gerutuku menatapnya.

"Kamu sih, dari tadi Nenek panggil diem aja. Nonton TV kok melamun." Malah gerutuan Nenek lebih panjang dan tampak kesal.

"Masak sih Nek. Kapan Nenek manggilnya coba." Aku masih bersikeras membela diri.

"Lagi mikirin si dosen ganteng ya? Karena nggak jadi datang nanti malem?" Netraku langsung menoleh ke arahnya. Kok bisa ya Nenek peka banget dan tau isi hatiku, batinku

Iya ... tadi pagi seusai sarapan aku langsung mengabari Nenek kalau rencana Pak Hasbi nanti malam ke sini ditunda hari Ahad.

Entahlah ... hatiku memang masih kecewa dan tak berhenti juga kupikirkan. Dia yang menentukan waktunya sendiri, tapi malah dia sendiri yang menunda. Masak iya sih menentukan waktu nggak mikir-mikir dulu. Pikirku begitu
Tapi, mau gimana lagi aku juga nggak pantes kan maksain dia untuk tak menunda. Nanti kesannya aku malah yang ngebet.

"Yang sabar Cucu Nenek yang paling cantik ... kalau jodoh itu nggak akan ke mana. Berusahalah mengerti kesibukan dia. Kamu kan sudah tau kalau dia mengemban amanat yang cukup besar, meneruskan pekerjaan Abinya dan menjadi tulang punggung keluarganya. Hal kayak gini juga anggaplah kamu sedang belajar menjadi calon istri yang pengertian kepada calon suami." Nenek tak berhenti mengelus lenganku kemudian berlanjut dengan nasihatnya.

"Jaga hati kamu, jangan sampai cinta kamu membutakan harapan hanya untuk dia. Tapi tetap sandarkan harapan cintamu hanya kepada Allah. Karena hanya cinta kepada Allah-lah yang takkan pernah membuat manusia kecewa. Cinta sebelum ikatan halal itu ujian Nisa." Aku menatap kelopak matanya yang tampak teduh dan menenangkan. Tak tahan rasanya, aku langsung berhambur ke pelukannya.

"Terimakasih ya Nek, nasihat Nenek selalu bisa menenangkan hati Nisa." Nenek mengusap punggungku kemudian tampak tersenyum dan mengangguk.

"Oh iya tolong masukkan benang ini ke jarum ya. Nenek mau jahit gamis nenek yang tadi sobek sedikit." Setelah kami mengurai pelukan, Nenek menyerahkan jarum dan benang berwarna hitam ke arahku.

"Sini Nek biar Nisa aja yang jahitin." Aku meraih gamis yang dibawa Nenek dilengannya kemudian Fokus memasukdan keluarkannya berulang-ulang.

"Ya udah makasih ya Sayang. Hati-hati jahitnya jangan sambil melamun. Nanti tangan yang ketusuk bukan kainnya kalau kamunya melamun. Nenek ngantuk nih." Nenek terkekeh lalu menutup mulut saat menguap. Ia pun beranjak dari hadapanku setelah kuanggukkan kepala.

📕📕📕

diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasullullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Menguap adalah dari setan, maka jika salah seorang di antara kalian menguap, hendaklah ia menahannya sedapat mungkin." (HR Muslim)

--**--

"Tok tok tok." Terdengar suara ketukan.
"

Permisi. Assalamu'alaikum." Aku menoleh ke arah pintu yang disusul kemudian suara salam terucap.

Aku pun meletakkan gamis Nenek di atas sofa kemudian beranjak.

"Ini Mbak, ada kiriman bunga." Aku tak langsung mengulurkan tanganku.

"Dari siapa ya Pak?. Maaf saya tidak memesan bunga."

"Atas nama calon suami Mbak ini."
Aku mengerutkan dahi heran. Masak iya sih Pak Hasbi kirim bunga. Tumben-tumbenan amat, kelakarku dalam hati.

"Ya sudah terima kasih ya, Pak." Aku meraihnya dengan tersenyum.

"Iya Mbak sama-sama" Bapak paruh baya ini kemudian mengangguk pamit diri.

Aku masih setia berdiri di ambang pintu, enggan langsung memasuki rumah. Menatap buket bunga mawar yang masih terlihat segar warnanya.

Kuhirup bau wanginya sembari memejamkan mata, menikmati harumnya yang menenangkan hati. Apalagi jika mengingat pengirimnya, membuatku tersenyum sendiri dan salah tingkah.

Langkahku terdorong untuk memasuki rumah, kemudian duduk di sofa empuk. Mengambil sepucuk kertas yang kutemukan di sela-sela tangkai bunganya.

Kubuka kertas yang hanya satu lipatan ini berbentuk kartu, karena kertasnya berwarna warni.

Assalamu'alaikum calon Istriku.

Waalaikumsalam warohmatullah wabarokatuh. Kujawab salamnya dengan sunggingan senyum akibat panggilannya itu.

Maafkan ...
Jika raga ini tak dapat memenuhi janji bertemu.
Maafkan ...
Jika telah membuat hatimu kecewa.
Sengaja aku kirimkan sepaket bunga mawar ini sebagai permintaan maafku untukmu.

Semoga kamu suka ya dan bisa menjadi obat penawar kekecewaanmu.

By: Calon Suamimu In syaa Allah ❤

Senyumanku merekah begitu selesai membaca setiap ukiran kata darinya. Membuat pipiku merona akibat ukiran nama pengirimnya. Jangan lupakan hatiku yang langsung berdebar-debar, seirama dengan jantungku yang berdegup dengan kencang seakan dia saat ini berada di hadapanku dan menatapku.

Bisa banget sih dia bikin kekecawaanku terobati. Rasa rinduku juga sedikit menguap menggenggam pemberiannya yang begitu indah. Aku sangat menyukainya, elain warna merah segarnya, aku juga suka bau semerbak wanginya.

Belum lama aku menelisik setiap inci bunga berwarna merah dan putih ini, terdengar bunyi notif dari Handphoneku yang sedari tadi tergeletak di atas meja.

Assalamu'alaikum calon istriku. Sudah sampaikah kirimanku ke tanganmu saat ini? From ICI-ku

Senyumku semakin merekah diiringi pipiku yang kini kembali seperti warna tomat.

Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh calon suamiku. Sudah ... syukron katsir ya.

Berulang kali tanganku men delete dan berpikir. Mengetik kata "calon suamiku." menghapusnya, kemudian mengetiknya lagi.

Sampai akhirnya aku bertekad tak menghapusnya lagi setelah mengetik ketiga kalinya dengan menahan senyum dan pipiku yang semakin memanas menyebabkanku salah tingkah sendiri.

Setelah menekan tombol Send. Aku memejamkan mata sembari menggigit bibir bawahku. Aku malu, dan menahan diri ini agar tak menjerit kesenangan penuh kebahagiaan.

Ya Allah ... seperti ini ya bahagianya mencintai orang yang juga mencintaiku.

Aku beranjak membawa bunga di tangan kiriku dan handphone di tangan kananku, menuju kamar untuk mengambil Vas kaca yang telah lama tak terpakai, mengambil air di dapur kemudian meletakkan 8 tangkai bunga itu ke dalamnya.

Aku menatapnya dengan rasa bahagia yang membuncah. Netra ini enggan beralih sampai beberapa menit, saat kusadari Aku belum selesai membereskan gamis Nenekku.
.
.
.

.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Cinta yang tak menuruti Hawa Nafsu akan menguatkannya untuk segera menghalalkannya.
Karena ia tak mau memupuk dosa karena cinta.

Akhwatul_Iffah

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

💌💌💌💌💌💌💌💌💌💌💌💌💌💌
.
.
.
.
.

Bersambung
22 Rojab 1440 H

*Assalamu'alaikum Sahabat Pembaca.
Alhamdulillah akhirnya bisa Publish nih.
Semoga memberikan Manfaat baik ya.

Jangan lupa Vote dan komentarnya.

Jum'at Mubarok.
Jangan lupa baca S. AL Kahfi dan perbanyak sholawat ya 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top