16. Syafakillah
🍦🍦🍦🍦🍦🍦🍦🍦🍦🍦🍦🍦🍦🍦
Kami tiba di pelataran Rumah Sakit tepat saat adzan Ashar berkumandang.
"Kita sholat dulu ya sebelum ke ruangannya Dira." Aku dan Fina kompak menganggukkan kepala, tanda setuju dengan ucapan Kak Fadhil.
15 menit berlalu.
Langkah kami beriringan menuju ruang rawat inap yang sebelumnya telah di tunjukkan oleh kak Fadhil.
Kak Fadhil pamit dulu keluar sebentar, katanya masih ada urusan.
"Fin ... kamu kenapa sih? Kok dari tadi diem aja, gelagat kamu juga aneh." Kucolek dia malah kaget.
"Eh ... masak sih? Perasaan kamu aja kali." Dia malah berkelak dan meneruskan langkah, hanya menatapku sebentar.
"Hayo lah ngaku. Kamu nggak lagi terpesona sama Kak Fadhil kan?" bisikku tersenyum, menggodanya sembari meneruskan langkah menelusuri koridor.
Letak kamar Dira dirawat lumayan beberapa meter dari pintu masuk, jadi kami masih bisa berjalan santai sembari mengobrol.
Biar nggak kerasa capeknya, aku godain Fina ah. Ide konyolku mulai muncul.
Beginilah diriku, jika dengan sesama wanita begitu cepatnya bisa akrab dan kadang malah usil. Tapi kalau dengan ikhwan, ampun deh. Lama dan bisa dibilang sulit untuk akrab.
Memang begitu kan islam mengatur kita untuk membatasi pergaulan dengan lain jenis yang bukan mahram.
"Astaghfirullahal'adhziim ... apaan sih Nisa. Kamu ngarang deh," ucapnya malah memukul lenganku tapi kelihatan banget kalau dia saat ini salah tingkah. Aku terkekeh, suka sekali menggodanya.
"Ayo dong ngaku. Salting gitu ih." Fina malah kini menatapku dengan mata melotot, membuatku makin terkekeh.
"Ayo dong cerita Fin. Katanya kita sahabat, tapi kok kamu nggak jujur sih. Gini-gini aku merhatiin kamu lo dari tadi, waktu aku kenalin sama Kak Fadhil kamunya terkejut dan gugup gitu. Setelah itu kamu diem aja di mobil. Aku ajak ngobrol malah bengong." Aku mulai melipat kedua tanganku di dada pertanda kesal.
"Masak sih?" Tangannya kini menyeretku, tadi aku kesal dan memberhentikan langkah. Tampak tatapannya kini melunak dan sedikit menyipit akibat senyum bibirya.
"Iya bener." Aku masih meyakinkan dan membujuknya agar mau cerita.
"Iya deh iya. Aku tadi memang shok. Karena saat melihat kak Fadhil, aku seperti melihat sosok teman kecilku dulu. Tapi kamu jangan bilang sama siapa pun ya." Kami mulai menaiki tangga beriringan dan berhati-hati. Kami menaiki tangga sesuai arahan tulisan yang tertempel di dinding, kamar anggrek lantai 2.
Jalan sambil ngobrol tetep harus fokus pada sekitar ya. Jangan sampai kita menciptakan adegan jatuh gara-gara galfok alias gagal fokus sama jalan.
"Oia ? Kamu udah yakin kalau kak Fadhil itu teman kecilmu dulu?" Dia menggeleng dan tampak tersenyum karena keduanya kembali menyipit.
"Udah ah nggak usah dibahas. Aku takut salah orang." Sontak aku mengangguk-anggukkan kepala, sependapat dengannya.
Tak terasa langkah kami telah sampai di kamar anggrek nomer 112. Kuputar kenop pintu dan berucap salam begitu daun pintu sedikit terbuka.
Terdengar suara jawaban salam dari arah dalam. Kami berdua tersenyum ramah kepada wanita yang kini duduk di samping Dira.
"Nisa, Fina" Suara Dira terdengar memanggilku dan Fina. Kamipun kompak mengangguk dan berjalan ke arahnya dengan senyum yang terukir.
"Nak Nisa apa kabar? Lama ya kita nggak ketemu," ucap Bu Wulan setelah aku mencium tangannya.
"Alhamdulillah baik Tante. Hehe iya Tante maaf, Nisa belum sempat berkunjung ke rumah Tante semenjak kembali ke kota ini."
"Iya nggak apa-apa nak. Ini siapa?"
"Saya Fina Tante. Teman sekelasnya Dira juga." Tampak Tante Wulan mengangguk-anggukkan kepala seraya mengukir senyum ramah.
Aku memeluk Dira dan menanyakan kabarnya. "Kamu pucet Dir. Gimana keadaan kamu sekarang?" Kuseret tempat duduk, lalu duduk di dekat perbaringan Dira.
"Udah mendingan kok Nis. Alhamdulillah." Terlihat dia lunglai, nggak tega aku melihat Dira seperti ini. Dia yang biasanya ceria dan petakilan, kini terlihat lemah yang terhias pada wajah pucatnya.
"Emang kata Dokter Dira sakit apa?" Kali ini Fina yang menimpali.
"Aku positif mengidap DBD Fin. Kemarin trombosit dalam tubuhku ngedrop dan aku sempet pingsan. Akhirnya aku dibawa ke rumah sakit ini dan diharuskan opname."
Aku mengusap lengan kiri Dira yang terbebas dari selang infus. "Yang sabar ya, Dir. Karena Sakitmu akan menjadi penyebab terhapusnya dosa jika kamu bersabar." Dia tersenyum ke arahku dengan bibir pucatnya kemudian menganggukkan kepala pelan.
📕📕📕
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda:
إِذَا عَادَ الرَّجُلُ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ مَشَى فِيْ خِرَافَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسَ فَإِذَا جَلَسَ غَمَرَتْهُ الرَّحْمَةُ، فَإِنْ كَانَ غُدْوَةً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ كَانَ مَسَاءً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ.
“Apabila seseorang menjenguk saudaranya yang muslim (yang sedang sakit), maka (seakan-akan) dia berjalan sambil memetik buah-buahan Surga sehingga dia duduk, apabila sudah duduk maka diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila menjenguknya di pagi hari maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya di sore hari, maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba.”
(HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan sanad shahih).
Terakhir, hendaknya orang yang membesuk mendoakan orang yang sakit:
لاَ بَأْسَ طَهُورٌ اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ
“Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membersihkanmu dari dosa-dosa, Insya Alloh.” (HR. al-Bukhari).
📕📕📕📕
"Gimana kuliah dua hari ini ? Gak ada tugas bejibun kan?"
Fina tampak menggeleng. "Alhamdulillah kamu beruntung Dira. Dari 2 hari yang lalu tak ada satu dosen pun yang memberikan tugas." Aku tersenyum manis ke arahnya. Tampak ia menghela napas lega.
"Udah nggak usah mikirin kuliah dulu, yang penting kamu banyakin istirahat dan tenangin pikiran. Biar cepat sembuh ya." Fina menarik selimut di bagian kaki Dira yang sempat tersingkap.
"Iya Fin, makasih. Pokoknya kalau ada tugas, kalian harus bantuin aku ya." Kami serempak mengatakan "Siiiippp."
"Udah nggak usah dipikirin." Kutepuk lengan kirinya pelan.
"Oia ... kita bawa buah-buahan nih. Kamu mau buah apa nih? Biar aku kupasin" Aku beranjak menuju nakas lemari pendek yang berada di dekatku.
"Sini aku bantu kamu duduknya hati-hati." Kelakar Fina juga beranjak membantu menyandarkan bantal kemudian membantu Dira untuk sedikit duduk dengan posisi bersandar.
Lumayan lama kami bertiga mengobrol. Kak Fadhil pun langsung duduk menemani tante Wulan begitu tadi datang.
"Ya udah Dir, Kamu istirahat ya. Semoga lekas sembuh, biar kita bisa kumpul lagi. Gak seru tau kalau di kampus nggak ditemenin kamu juga." Dira tergelak mendengar ucapanku. Aku kembali duduk setelah selesai mengupasi buah yang telah tandas ia makan.
"Nggak ada yang ngerecokin kamu ya? Makanya kamu kangen?" Kami sama-sama terkekeh.
Ih ini anak ya. Masih sakit, sempat-sempatnya bercanda kayak gini.
" Yupzzt betul tuh." Aku mengacungkan jempol tanda setuju. Aku dan Fina tertawa pelan, sedangkan Dira pura-pura kesal kemudian ikut tertawa.
"Syafakillah ya Dir." Fina yang mendoakan dan di amini Dira. "Makasih ya Fin, Nis. Udah nyempetin ke sini, Aku jadi ngerepoti kalian nih," ujarnya berlagak sedih.
"Hei ... Persahabatan itu nggak ada ya istilah ngerepotin." Aku memukul lengannya pelan membuat dia tersenyum menatapku.
"Ya udah aku pulang dulu ya. Assalamualaikum." Dia mengangguk dan menjawab salam.
Langkah kami berdua kemudian menuju sofa, tempat Tante Wulan dan Kak Fadhil duduk. Tampak dia sedang memainkan ponselnya.
"Maaf Tante kami mau permisi dulu."
"Lo kok buru-buru, Nis." Beliau berdiri menyambutku, kemudian kami mencium tangannya bergantian.
"Fadhil yang antar kan?" tanya Tante Wulan melihat Kak Fadhil juga beranjak.
"Iya, Ma. Motor Nisa tadi ditinggal dekat kedai Buah, soalnya tadi mereka Fadhil ajak barengan. Nisa kan nggak tau kalau Dek Dira masuk Rumah Sakit."
"Oh ... untung aja ya berarti Fadhil ketemu kalian." Aku hanya mengangguk dengan ukiran senyum.
"Maaf Kak. Kalau kakak misal ada kesibukan nggak apa-apa kok kita naik taksi aja ya," celetukku merasa tak enak udah ngerepotin dia.
"Nggak Nisa. Kakak yang anter pokoknya." Nada tegasnya membuatku mengangguk pasrah.
Kami pun undur diri ,segera menuju tempat parkir.
"Kalau kita makan dulu gimana?" Aku menyenggol lengan Fina meminta persetujuan. Tampak ia menggeleng pelan.
"Maaf Kak. Langsung ke kedai aja ya ambil motor."
"Ayolah Nisa. Kakak belum sempat makan nih sedari siang." Dia menatapku dari kaca spion di depannya dan tampak memohon.
Kuhela napas, enggan sebenarnya berlama-lama dengan Kak Fadhil kayak gini. Tapi masak iya sih aku tega ngebiarin dia kelaparan. Kepalaku menoleh ke arah Fina, meminta jawaban.
Dia hanya mengangkat kedua bahunya. Ini berarti aku yang harus menentukan jawaban.
"Ya udah iya Kak." Tampak ia tersenyum senang di balik kemudi.
Arah pandanganku kini lebih tertarik pada pemandangan di luar mobil.
🌱🌱🌱🌱❤🌱🌱🌱🌱
Kantor sudah nampak sepi. Hanya beberapa ruangan yang masih nampak lampu menyala. Berarti masih ada yang belum pulang.
Kutengok jam yang bertengger di leganku menunjukkan pukul 9 lewat 15 menit. Aku beranjak menata beberapa berkas dan meletakkan kembali di samping meja.
Kuregangkan otot kedua tangan, melepas kaku yang sejak siang aku tak beranjak dari tempat ini, kecuali hanya ketika waktu sholat tiba.
Sudahkah makan malam? Jawabanku masih belum, seperti biasa kalau sudah fokus kerja. Aku lupa waktu makan, untung saja untuk waktu sholat aku tak pernah lupa.
Mau jadi apa diriku jika sampai melupakan sholat. Berani meninggalkan perintah Allah akan membuat Dia murka dan balasannya adalah neraka jahannam. na'udzubillah min syarri dzalik.
📓📓📓
Maryam 19:59
فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلشَّهَوَٰتِۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
(Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan salat) dengan cara meninggalkannya seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani (dan memperturutkan hawa nafsunya) gemar melakukan perbuatan-perbuatan maksiat (maka mereka kelak akan menemui kesesatan) ghayya adalah nama sebuah lembah di neraka Jahanam, mereka akan dijerumuskan ke dalamnya.
📓📓📓
"Vin ... udah ayo balik, udah malem nih. Lanjut besok saja." Kuajak Alvin yang masih berkutat dengan keyboard di bawah jari-jari yang terus menari.
"Iya Pak Bos, bentar lagi saya nyusul. Sedikit lagi kelar nih." Tampak ia tersenyum menoleh ke arahku.
"Ya udah saya duluan ya. Assalamu'alikum."
"Oke Pak. Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh."
Kulempar tas ke kursi sebelah kemudi dan mulai menyalakan mesin.
Jalanan nampak lengang, Kukendarai kendaraan beroda empat ini dengan kecepatan di atas rata-rata.
Hanya butuh waktu 20 menit akhirnya roda mobil berbelok ke kanan untuk memasuki pelataran rumah.
Rumah tampak sepi, tersisa lampu teras rumah yang masih menyala.
Kurogoh saku belakang celana untuk mengambil kunci cadangan.
Perlahan aku memasuki rumah. Baru beberapa langkah kaki ini bertapak, tiba-tiba lampu menyala. "Baru pulang, Nak?" Terdengar suara Ummi bertanya.
"Iya Ummi, Assalamu'alaikum." Aku mendekat kemudian mencium tangannya ta'dhzim. Terdengar beliau menjawab salam dengan suara lirih.
"Sudah makan?" Sontak aku menampakkan deretan gigi kepada Ummi, merasa tertangkap basah dengan kebiasaan burukku yang masih saja belum kuhilangkan.
"Ya Allah Hasbi. Kamu ini ya kebiasaannya nggak ilang-ilang. Udah mau nikah juga belum bisa jaga diri sendiri," ucap Ummi geram.
"Maaf Ummi." Hanya dua kata ini yang mampu aku ucapkan sekarang dengan nada memelas.
"Ya sudah sana bersihin dulu badan kamu. Terus makan, Ummi angetin makanan dulu."
"Siap Bos." Ummi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Secepat mungkin aku menaiki tangga. Bersih-bersih badan kemudian makan. Menuruti titah Ummi tercinta.
----***----
"Shodaqollahul'adhziim." Kucium mushaf di tanganku. Baru saja aku menyelesaikan satu juz tilawah, sekembaliku tadi sholat Subuh di Masjid.
Kulepas charge di handphonku kemudian menyalakannya.
"Assalamu'alaikum. Apa Ziyya sedang sibuk?" Send calon Istri.
Aku berjalan menuju balkon kamar yang sebelumnya telah kusibak kordennya. Kubuka juga pintu kaca yang menghalangi. Aku duduk di kursi kayu yang memang tersedia di sana.
Menikmati indahnya pemandangan pagi ini sembari menunggu balasan pesan darinya.
Beberapa menit berlalu, tak kunjung terdengar bunyi notif pesan masuk.
Aku beranjak, berdiri tepat dekat pagar pembatas dan memegang pagar besinya.
Kuhirup dalam-dalam udara yang terasa sejuk menelisik ke seluruh rongga pernapasanku.
Nikmat, merasa bersyukur kepada-Nya atas nikmat kesehatan yang diberikan oleh-Nya.
Cahaya mentari mulai beranjak memunculkan sinarnya untuk menghangatkan seluruh penghuni bumi.
"Cting..."
Aku menoleh, menatap layar handphoneku yang menyala.
Aku kembali duduk, menggeser layarnya dan tampak notif pesan darinya. Otomatis bibir ini mengukir senyum senang, akhirnya dia membalas pesanku.
"Wa'alaikumsalam Warohmah, maaf Pak ini baru selesai bantu-bantu di dapur. Ada apa ya?"
Langsung kutekan kata "panggil". Tak lama langsung tersambung.
"Baru selesai masak?"
"Alhamdulillah. Iya Pak"
"Sudah sarapan?"
"Belum. Bapak sendiri?"
"Belum juga." Hening tak ada suara lagi darinya.
"Oia Ziyya. Maaf."
"Ada apa Pak?"
"Apa kamu sudah memberitahu keluargamu atas niatanku yang kemarin?"
"Sudah Pak.
Maaf Orang tua saya tidak bisa datang nanti malam. Tapi ... Ayah Bunda sudah pasrahkan semuanya kepada Nenek."
Ku hela napas lega.
"Emm ya ya nggak apa-apa. Maaf Ziyya, sepertinya saya tunda dulu ke rumah kamu, nggak bisa nanti malam. Karena pekerjaan kantor untuk beberapa hari ini sedang kejar deadline yang otomatis menuntut saya harus lembur." Tak terdengar suara apa pun hingga beberapa detik kemudian.
"Iya." Nada gusar dan kecewa mulai terdengar darinya.
"Maaf Ziyya jika saya membuatmu kecewa."
"Mmm nggak Pak. Nggak apa-apa kok. In syaa Allah saya bisa ngerti kesibukan Bapak."
"Saya akan usahakan pekerjaan saya selesai pekan ini. Jadi Ahad pagi in syaa Allah saya ke rumah kamu. Gimana?"
"Iya Pak. Jangan terlalu memaksakan diri. Sebisanya Bapak saja ya, kapanpun itu."
"Kamu akan setia menunggu saya kan?" Tak terasa tiba-tiba bibir ini mengukir senyum setelah mengucapkan kata setia.
"In- In syaa Allah Pak." Kegugupan mulai terdengar darinya. Membuatku tersenyum lebih lebar lagi, membayangkan pasti saat ini mukanya merona.
"Terima kasih ya. Semoga Allah melancarkan jalan kita."
"Aamiin."
"Ya udah. Sarapan dulu yuk, semangat beraktifitas ya. Hati-hati berangkat kuliahnya."
"Iya. Bapak Juga."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam Warohmatullah wabarokatuh."
🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung.
16 Rojab 1440H
*Assalamu'alaikum reader's.
Alhamdulillah nambah Part ini.
Semoga bermanfaat ya.😄🙃
Maaf kalau part ini kurang gemesin 😀😀😀
Jangan lupa vote dan komentarnya. 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top