11. Ragu dan Baper
Perasaan perempuan begitu rapuh dan sensitif jika telah terjangkit virus yang namanya cinta.
Rasa cemburu begitu mudahnya timbul meski hanya karena mendengar desas desus omongan orang tanpa adanya bukti nyata.
Emosi akibat api kecemburuan sontak meluap bak air mendidih yang meluap luap oleh api yang membakar dibawahnya.
Menimbulkan rasa sakit di dada seakan tertusuk belati tajam tanpa karat menggores luka yang tak berdarah.
Sepulang dari kampus, Dira mampir di sebuah supermarket untuk berbelanja.
Katanya disuruh mama tercinta.
Aku enggan ikut masuk ke dalam. Memilih duduk sendiri di kursi yang memang disediakan di teras toko ini.
Hatiku yang lagi terusik oleh cerita Dira tadi, membuatku tak semangat melakukan apa pun. Ikut mata kuliah pun tadi hanya hadir raga tanpa ada kehadiran jiwa, melamun saja jadinya.
Hari ini aku tak bawa motor karena tadi pagi Dira menjemputku dengan mobilnya dan berjanji mengantarku pulang ke rumah.
Aku terdiam, netra ini menatap kosong lurus ke depan. Mengamati lalu lalang kendaraan yang lengang. Cuaca mendung siang hari ini tak menghadirkan hawa panas sama sekali.
15 menit berselang. Dira belum juga menampakkan batang hidungnya. Angin sepoi menerpa wajahku membawa hawa sejuk. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Batinku.
Benar saja ... rintik-rintik hujan dari langit mulai menyapa tanah yang sedikit kering karena memang beberapa hari ini tak turun hujan.
Diriku pun mulai beranjak dan melangkah ke arah depan.
Kutengadahkan kedua tangan, menikmati tetesan air yang terasa lembut dan kini mulai membasahi kulit wajahku.
Bersamaan dengannya, kelopak mataku mulai mengeluarkan air bening yang mewakili sesak dadaku menerima kenyataan yang sempat mencekik hati.
Hati ini sesak mendengar berita itu, merasa diri ini tak pantas untuknya, merasa diri bersalah karena telah berharap lebih kepadanya.
Kenapa dengan hatiku begitu gampang baper kayak gini? Bukankah ini bisa saja hanya sekedar gosip? Tapi kenapa hatiku berbicara seolah tak pantas diriku berharap lebih kepadanya?
Ada seorang perempuan diluar sana yang lebih segalanya dari diriku. Lebih cantik, mapan dan kaya.
Beberapa menit aku terhanyut dalam pikiranku mengenai perempuan itu. Sampai akhirnya kudengar namaku disuarakan oleh seseorang. Sontak kepala ini menoleh ke sumber suara.
Netra ini terpaku dalam tatapan, saat menangkap sosoknya.
Sosok yang selama ini kurindukan dan sosok yang berhasil membuat hatiku sesak dari kemarin.
"Pak Hasbi." Bibir ini refleks menyebut nama laki-laki yang kini tepat berdiri di hadapanku.
Kutangkap senyumnya, raut riang terpancar dari wajahnya. Beberapa detik kami terlarut dalam tatapan kerinduan.
Tapi kepalaku menggeleng saat aku teringat pikiran yang membuat hatiku terusik oleh keraguan. Aku pun membalikkan tubuhku hendak masuk ke supermarket berniat menjauh darinya.
"Ziyyadah." Belum sempat kaki ini memasuki pintu kaca di depanku langkahnya berhasil mendahului dan menghalangi. Kini ia berdiri tepat didepanku, tak ada pilihan lain buatku selain aku menundukkan kepala sembari memilin ujung hijab karena gugup.
"Kenapa kamu menghindari saya?"
Aku bergeming.
"Ziyyadah," panggilnya kembali karena aku yang tak kunjung menjawab. Aku diam mematung menatap lantai supermarket ini yang berdebu.
"Pak Hasbi, Nisa." Tiba-tiba terdengar suara Dira di sampingku yang tampak baru keluar dari supermarket membawa beberapa kantong kresek di tangannya.
"Maaf, Pak. Saya permisi dulu," ungkapku mengambil kesempatan pamit dan langsung berbalik mendekati Dira, lalu meraih kantong plastik di tangan kirinya, hendak membantunya.
Tanpa menoleh lagi ke arahnya, aku bergegas berlalu dari hadapannya. Menatap Dira sebentar lalu kuanggukkan kepala kepadanya, pertanda pamit dari kami ingin segera pulang.
Kudengar Dira mengucapkan salam setelah mengatakan kata permisi. Tak kudengar lagi jawaban darinya karena kaki ini sudah berhasil menjauh darinya dan segera masuk ke dalam mobil.
Sebelum mobil Dira benar-benar meninggalkan tempat ini. Netra ini sempat mengintip sosoknya dari kaca spion. Tampak ia hanya diam terpaku menatap ke arahku.
"Maafkan saya, Pak. Untuk saat ini saya masih belum siap mengatakan apa pun kepada Pak Hasbi. Jujur, saya jadi ragu untuk melanjutkan proses ta'aruf kita." Aku hanya mampu berbicara dalam batinku.
Kuhembuskan napas panjang, mencoba merilekskan kembali denyut jantungku yang sedari tadi dengan begitu cepatnya berdegup.
"Kamu kenapa Nis? Tegang banget gitu tadi ketemu Pak Hasbi." Suara Dira menggema membuatku menoleh ke arahnya.
Bibirku menarik senyum, berusaha menutupi apa yang terjadi dengan hatiku. Aku nggak mau sampai orang lain mengetahui apa yang kurasa. Biarlah aku menyimpannya dan hanya mencurhatkan kepada-Nya nanti.
"Perasaan kamu aja kali, Dir. Masak sih aku tegang gitu tadi?"
"Beneran Nis. Muka kamu tadi kayak ketemu orang yang kamu takutin," jelas Dira sembari pandangannya tetap fokus ke jalanan.
"Nggak ah, Aku nggak ngerasa takut kok. Oh iya gimana besok? Jadi kamu ajak aku ke panti asuhan?" Aku berkilah mencoba santai dalam obrolan ini. Padahal hatiku ketar ketir, takutnya Dira menanyakan hal ini lebih jauh.
"Emmm iyalah Nis jadi. Tapi aku nggak bisa pagi-pagi banget ya ke rumah kamu. Kamu pasti tau dong alasannya. Hehe"
"Iyalah tau. Pasti mau malas-malasan bergulung dengan selimut kan?" Sontak tawanya makin menjadi.
"Hahahaha"
"Hush ... cewek kok ketawanya gitu Dir." Kupukul lengannya, agar ia segera menutup mulutnya yang lebar itu saat tertawa. Akhirnya dia yengir kuda menatap kearahku.
----***----
________________________________________
Kalam Salaf
Kemarin pukul 20:15
IBNU AL-QAYYIM BERKATA :
"Jika Allah memudahkanmu untuk bangun shalat malam, maka jangan pernah mencibir mereka yang terlelap tidur.
"Jika Allah memudahkanmu untuk selalu berpuasa, maka jangan pernah mencibir mereka yang tidak mengerjakan.
"Jika Allah memudahkanmu untuk terjun di media jihad, maka jangan pernah mencibir mereka yang tidak mengangkat senjata.
"Sesungguhnya betapa banyak orang yang tidur, tidak berpuasa, dan tidak mengangkat senjata, justru mereka lebih baik darimu.
"Sesungguhnya, sekali pun engkau tidur semalaman tapi saat bangun pagi engkau dihinggapi penyesalan, maka itu jauh lebih baik daripada engkau tahajud semalaman tapi saat bangun pagi engkau dihinggapi rasa ujub penuh kesombongan.
"Karena orang yang ujub, amal perbuatannya tidak akan pernah diterima Allah SWT.
[Madariius Salikin 1/177]
👍suka
______________________________________
Astaghfirullahal'adhzim...
Kulafalkan kalimat istighfar ini begitu jempolku menekan tombol like.
Semoga dijauhi dari sikap dan sifat ini. Doaku dalam hati.
Tiba-tiba ponselku berdering, sebuah panggilan masuk.
Tampak di layar yang menyala ini bertuliskan nama ICI-ku.
Aku panik plus terkejut. Aku bingung apa yang harus lakukan? Tekan tombol merah atau hijau ya? Pikiranku sibuk memilih antara hijau merah, hijau merah, sampai akhirnya panggilan ini terhenti dengan sendirinya.
Kuhembus napas kasar, sedikit lega panggilan terhenti, tapi ada rasa bersalah karena mengabaikannya. Sejak semalam dengan sengaja aku menonaktifkan handphone ku, sehingga tadi pagi banyak kutemukan notif panggilan tak terjawab dan beberapa pesan. Aku masih belum siap untuk berbicara banyak dengannya.
Ting ... Detik selanjutnya terdengar notif yang berarti sebuah pesan masuk.
Dengan ragu-ragu, aku menekan tombol pembuka kunci.
Tampak nama yang sama dengan tadi yang memanggil, ICI-ku. Taukah itu nama siapa?
Itu bukanlah sebuah nama, tapi sebuah singkatan. In syaa Allah Calon Imam-ku 😄😄😄
"Jika kamu ada masala, katakanlah. Jangan lari menghindariku terus, karena aku bukan paranormal yang bisa membaca pikiran seseorang. Masalah akan selesai jika dikomunikasikan"
Tak terasa bibir ini melengkungkan senyum. Aku harus akui bahwa sikapku kepadanya ini salah. Semuanya memang harus aku hadapi dan katakan kepadanya. Apa pun itu resikonya, harus aku terima nantinya .
📲📲📲
Degh ... hatiku mulai berdebar kencang lagi saat panggilan masuk lagi, tanpa berpikir panjang, kuusap layar ke arah tombol hijau.
"Assalamu'alaikum Ziyyadah"
"Waalaikumsalam warohmatullah wabarokatuh."
"Kamu lagi sibuk?" Aku beranjak dari posisi dudukku menuju jendela, menatap pemandangan pagi ini dari kamarku.
"Emm nggak, Pak." Ya Allah ... jantungku begitu cepatnya berdegup mendengar suaranya.
"Cv-nya gimana?"
Aku terdiam, kugigit bibir bawah karena tak mampu mengatakan bahwa aku ragu untuk melanjutkan ta'aruf ini.
"Ziyadah"
"I-iya Pak."
"Sepertinya kita perlu ketemu. Bisa kita bertemu hari ini?"
"Maaf, Pak saya sudah ada janji keluar hari ini." Aku memutar tubuhku kembali duduk di pinggiran kasur, Aku benar-benar gugup.
"Ya sudah besok saja kalau gitu di kampus. Akan saya kabari lagi kapan dan di mana tempatnya ya."
"I-iya Pak. In syaa Allah." Aku memejamkan mata dan Hatiku makin berdebar membayangkan besok akan bertemu dengannya. Apa yang harus aku katakan? 😣😣😣
Panggilan pun terputus saat aku usai menjawab salamnya.
"Nisa."
"Iya, Nek?" Aku beranjak melangkah menuju pintu kamarku yang diketuk.
Begitu kubuka daun pintu, kutangkap sosok wanita yang tak muda lagi tapi tetap cantik dimataku dan dia adalah wanita yang sangat kusayangi.
"Ada Dira di depan."
"Iya, Nek. Nisa bentar lagi nyusul. Nisa ambil tas dulu," jawabku seraya tersenyum lalu mengangguk. Barulah setelahnya, Aku masuk ke kamar sebentar dan kembali dengan tas kecil yang telah siap terselempang di bahu kananku.
Begitu kaki ini menapaki ruang tamu, terlihat Dira dengan wajah sumringahnya beranjak kemudian memghampiriku. " Kita langsung berangkat aja ya, Nis." Aku pun mengangguk kemudian berpamit kepada Nenek.
Kami berjalan beriringan, tapi kaki ini berhenti saat netraku menangkap sosok seorang laki-laki yang duduk di bagian depan mobil Dira yang terparkir tepat di depan pagar halaman rumah ini.
Dira pun turut menghentikan langkahnya. Dia menatapku. "Kenapa Nis?" Netranya mengikuti arah pandangku yang masih setia dalam keterpakuanku.
"Oh ... Kak Fadhil?" Dia bisa menebak pertanyaan yang ada dalam otakku. Aku hanya bisa menganggukkan kepala.
"Dia maksa mau nyupirin kita ke panti, Nis. Nggak masalah kan?"
Dengan berat hati, aku pun mengangguk perlahan. Tanganku kemudian diraihnya, menyeretku agar segera melangkah mengikutinya.
Pasrah, hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini. Aku nggak mau sampai Dira tanya macem-macem kalau sampai aku menolak pergi dengan kakak laki-lakinya itu.
Ditengah kegelisahanku saat ini, aku sebenarnya enggan bertemu dengan laki-laki ini. Aku khawatir, dari sekian lama waktu berlalu. Dia nantinya akan menagih sebuah jawaban yang sebenarnya aku tak enak untuk menolaknya.
Memang sih ... ini bukan pertama kalinya aku menolak ungkapan rasa cinta dari seorang laki-laki.
Tapi ... dia adalah laki-laki yang sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. Aku menyayanginya sebatas adik kakak. Dia banyak berjasa dalam membantuku dan nenek. Dan aku juga punya hutang nyawa kepadanya saat kejadian kecelakaan yang hampir menimpaku saat SMA dulu.
"Nisa apa kabar?" Suaranya memecahkan lamunanku dan kepalaku akhirnya mendongak. Mencoba tersenyum seperti biasa seakan tak pernah terjadi aksi tembakan cinta darinya.
"Alhamdulillah baik. Kakak sendiri?"
Syukurlah dia juga pandai membaca keadaan. Tak ada rasa canggung sama sekali darinya. Mungkinkah dia sudah melupakan kejadian itu?. Mudah-mudahan saja iya. Batinku.
"Syukurlah. Alhamdulillah baik juga. Yaudah yuk langsung berangkat. Biar nggak terlalu siang sampai di sana." Dia membukakan pintu belakang.
Aku pun masuk kemudian diikuti Dira di belakangku.
45 menit berselang. Mobil pun berbelok menuju pekarangan panti asuhan "Kasih Ibu" yang telah terbuka pintu gerbangnya.
"Assalamu'alaikum, Bu Citra" suara Dira membahana begitu memasuki ruangan seorang wanita paruh baya yang menjadi pengurus di panti ini.
Dengan wajah sumringah Bu Citra menyambut kedatangan kami. Setelah bersalaman, kami pun dipersilahkan duduk dan disuguhi minuman.
Setelah beberapa menit berbincang. Kami diajak ke halaman belakang panti ini. Tampak banyak anak-anak sedang asyik bermain. Ada yang berkelompok, ada yang berpasangan dan ada juga yang hanya melamun sendiri.
"Assalamu'alaikum cantik.... namanya siapa?" Sapaku pada anak kecil yang usianya bekisar 5 tahunan berdiam seorang diri dibangku yang berukuran tak terlalu panjang.
Bukannya menjawab dia malah beringsut mundur dan melengoskan wajahnya.
"Wah... sayang sekali ya adiknya nggak mau jawab pertanyan kakak. Padahal kakak bawain coklat lo buat adik kecil," ucapku pura-pura ngambek. Menggoyang-goyangkan tanganku yang memegang sebuah coklat.
Tampak ia menoleh menatap coklat ditanganku kemudian menatapku bergantian.
"Adik mau?" Ia mengangguk cepat sembari mengerjap-ngerjapkan matanya. Lucu bin imut deh pokoknya bikin gemesss.
"Nih ..." kusodorkan coklat ke hadapannya. Tampak ia tersenyum senang kemudian meraihnya, lantas langsung ia buka bungkus coklat dan memakannya.
"Eits... Baca Basmalah dulu sayang." Kutahan coklat ditangannya yang sudah siap akan masuk ke mulutnya ya telah menganga.
Diapun menunjukkan deretan gigi kecilnya yang putih, kemudian mengucapkan basmalah. Lantas ia melahapnya.
📕📕📕📕
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku: “wahai bocah, ucaplah bismillah dan makanlah dengan tangan kananmu, serta ambil makanan yang berada di dekatmu”.
(HR. Bukhari no.5376,
Muslim no.2022)
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/24266-hukum-makan-dan-minum-dengan-tangan-kiri.html
📕📕📕📕
"Nama kamu siapa?"
"Nisa" jawabnya setelah tandas coklat di tangannya.
"Wah ... nama kamu kok sama ya dengan nama kakak?. Kakak juga namanya Nisa."
"Iya?"
A
ku mengangguk dan tersenyum menatapnya.
"Tos dulu dong. Nama kita kan sama." Aku memposisikan 5 jariku ke atas mengajaknya tos. Senyuman di bibirku tak memudar sama sekali.
Tak menunggu lama, ia pun hendak membalas menepukkan tangannya ke tanganku.
"Yah ... nggak kena." Sengaja aku menggeser tanganku ke samping menghindar dari pukulannya. Dia mencoba lagi mengarahkan tangannya lagi ke tanganku dan berulang kali juga aku menghindarinya.
Sampai akhirnya dia memegang pergelangan tanganku. Sehingga tanganku tak bisa bergerak dan akhirnya dia berhasil menepukkan tangannya tepat ke tanganku.
"Yeeeeii...berhasiiill." dia menjerit kesenangan sontak berdiri kemudian berjingkrak-jingkrak saking senangnya.
"Yah ... kakak kalah nih," ucapku berpura-pura sedih mengerucutkan bibirku. Sontak ia tertawa lepas kemudian menutup mulutnya.
Sejak dulu memang aku sangat menyukai anak kecil. Aku tak suka jika melihat anak kecil bersedih. Jadi, di mana pun aku berada saat bertemu anak kecil yang sedih, Sebisa mungkin aku menghiburnya meski aku tak mengenalnya.
Karena itu, dalam tasku tak pernah luput isinya dari 2 buah makanan yang banyak disukai anak kecil, yaitu coklat dan permen.
Ditengah asyiknya mengecap permen kami mengobrol sebentar. Banyak hal yang ia ceritakan, makanan kesukaannya, mainan kesukaannya dan lainnya. Sampai pada akhirnya salah satu teman sebayanya mengajak ia bermain dan meninggalkanku seorang diri.
"Ehm ..." suara deheman tiba-tiba terdengar dari arah sampingku.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Siapa ya yang berdehem???
Bersambung ☺
22 J. Akhir 1440 H
*Assalamu'alaikum sahabat pembaca
Alhamdulillah baru bisa up hari ini 😊
Semoga suka dan bermanfaat ya.
Di tunggu vote dan komentarnya 😉😉😉
Syukron
Wassalam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top