Bab 4
Seperti mimpi, aku kedatangan Mily yang tak lain adalah istri Jo. Gadis yang cantik, tapi wajahnya bagitu murung. Meski balutan make up berusaha sempurna menyamarkan gurat kesedihan di wajah manis itu. Gaun malam yang anggun masih ia kenakan, seperti ingin menghadiri sebuah acara spesial.
"Ehm, maaf ada perlu apa kamu kemari, Mil?" tanyaku setelah mempersilahlan Mily duduk.
"Aku mau minta tolong sama kamu," jawabnya lirih.
Mily menceritakan maksud kedatangannya ke sini. Dia mengatakan bahwa mereka--Mily dan Jo--baru saja bertengkar. Orang tua Mily hanya menginginkan seorang cucu dari mereka.
"Maaf, tapi mungkin lebih baik aku ngomong sama kamu. Aku mohon dengan sangat, jauhi Jo!"
Aku memandangi perempuan itu dengan seksama. Memperhatikan caranya berbicara, menggerakkan tangan lalu meremasnya membuatku menghargai keberaniannya datang padaku malam ini.
"Mil, jujur saja kami memang dekat tapi tidak lebih dari sekedar sahabat."
"Jo mencintai kamu, aku bisa melihatnya dan itu membuatku frustasi. Posisikan kamu jadi aku, sekali saja!"
"Aku-"
Ponselku kembali menampilkan wajah Jo. Mily menatapku penuh harap.
"Tolong pikirkan, dan aku permisi. Terima kasih atas waktunya."
Mily meninggalkan ruang tamu dengan langkah cepat.
"Halo, iya aku ke sana...."
***
"Vie, aku kira kamu nggak akan datang," kata Jo saat aku duduk di hadapannya. Mata lelaki itu memandangku dengan tatapan yang aku sendiri tak berani menyimpulkan.
"Aku pasti datang, Jo. Kita sahabat."
Untuk sesaat aku hanya melihat sebuah keraguan di mata hitamnya.
"Setelah sekian lama kita bersama, aku sangat nyaman sama kamu," ujarnya pelan, "tapi sekarang aku sadar kalau kita bukan sahabat."
Aku menyipit tak percaya.
"Apa maksud kamu bukan sahabat?"
"Hatiku yang mengatakan seperti itu, aku sayang sama kamu lebih dari sahabat. Aku ingin kita-"
"Tolong berhenti bicara omong kosong seperti itu! Oke, sekarang coba katakan sama aku ada masalah apa sebernarnya kamu dan Mily!" kataku tajam sekadar membunuh benih asa di hati.
"Vie, aku dan Mily tidak saling cinta."
"Tapi kalian memutuskan untuk menikah, maaf Jo sepertinya kita nggak usah ketemu lagi. Mily itu istri kamu," lanjutku.
"Kami bahkan tidak benar-benar sebagai suami istri."
Aku memajukan wajah demi mencari penjelasan lebih.
"Kami tak seperti pasangan yang sesungguhnya," ujarnya pelan seraya ikut memajukan wajah, "kami belum pernah melakukannya. Aku-"
"Stop! I-itu bukan urusanku."
Wajahku memanas mendengar pengakuan Jo. Getaran ponsel dari dalam tas membuatku sedikit kaget.
"Ya, halo," jawabku sambil menarik napas dalam.
Leon berbicara di ujung sambungan memintaku untuk memberikan ponselku pada Jo. Aku menyerahkan benda itu lalu menyesap kopi susu yang disiapkan Jo untukku.
Jo meninggalkanku untuk menjawab telepon Leon. Aku membuang pandangan ke arah danau yang menghitam tanpa cahaya. Danau ini begitu berarti bagi kami. Tempat di mana kami sering menghabiskan waktu selain di taman.
Dinginnya malam ini sedikit menusuk, atau jaketku yang terlalu tipis, entahlah. Terlihat Jo seperti mengepalkan tangan kirinya mungkin menahan emosi. Dari kejauhan aku masih menangkap gerak-geriknya yang cenderung gelisah.
Sesaat kemudian ia berjalan cepat ke arahku. Memulangkan ponsel lalu mengajakku pergi.
Entah mengapa aku menolak dan menahannya untuk kembali duduk di tempatnya semula. Kupandangi wajahnya, murung, sedikit kusut.
"Jo, aku mau ngomong sesuatu tapi aku mohon kamu jangan marah, ya," ujarku kemudian.
Dia masih diam, tapi membalas tatapanku kemudian mengangguk samar. Sebenarnya aku tak ingin menyakiti lelaki ini. Apalagi jika kuingat betapa menyenangkannya hari-hari yang sudah kita lalui bersama.
"Aku mau ini pertemuan terakhir kita. Jadi apapun yang ingin kamu ceritakan, aku akan dengar. Apapun."
Jo tersenyum kecut sebelum mengalihkan pandangan ke arah danau. Kedua tangan Jo bersedekap dan punggungnya menyandar di sandaran kursi. Lama aku menunggu jawabannya tapi tak kunjung tiba. Kuputuskan untuk bersiap pergi. Baru saja aku ingin berdiri dari tempat duduk, tangannya menahanku. Matanya menatapku sendu.
"Boleh aku minta satu permintaan? Hanya satu sebelum kita benar-benar tidak bertemu lagi."
"Apa?" Aku berusaha menghindari tatapannya.
"Tolong berjanjilah untuk bahagia, itu saja."
Aku membeku. Bagaimana mungkin aku bahagia dengan keadaan seperti ini? Bertahun kami bersama dalam tangis dan tawa sebelum kemudian ia meninggalkanku tanpa alasan.
"A-aku janji."
Suaraku bergetar menahan sesak di dada. Sebutir airmata menetes yang kemudian kuhapus cepat. Bukannya tenang, butiran-butiran lain meluncur tak tertahan. Ya Tuhan, jangan buat aku selemah ini!
Tanpa sadar Jo sudah mendekap erat tubuhku. Aku menangis tersedu tak peduli kaus yang ia kenakan basah. Biarlah untuk terakhir kalinya kurasakan dekapan yang selama ini kuimpikan. Menghirup dan menyimpan aroma lelaki ini dalam ingatan.
Isakanku sedikit mereda. Jo merenggangkan tangannya dari tubuhku, ia menunduk menatapku dalam diam. Bibirnya mendekat, aroma mint yang sangat kusukai menguar tajam membuatku melayang.
"Maaf kalau aku hanya bikin kamu sedih."
Jo sambil masih menatapku, membuat detak jantung serasa berhenti. Mendadak aku menjadi perempuan egois yang berharap waktu berhenti berputar.
"Tolong jangan sesali keputusan yang kamu buat sendiri."
Seegois-egoisnya aku mana mungkin tega menyakiti wanita lain lebih jauh. Sudah cukup.
"Aku memang bukan anak kesayangan, tapi aku menyayangi mereka. Kulakukan apa saja yang bisa membuat orang tuaku bahagia."
Kali ini Jo benar-benar sudah benar-benar melepaskan dekapannya. Kami berdiri bersisian. Tanganku mengeratkan jaket yang memang seperti tak berfungsi menghalau hawa dingin.
"Aku menikah dengan Mily untuk keluarga. Bukan untukku."
Aku terkejut mendengar pengakuannya. Kembali kutatap lelaki itu dalam kebekuan. Menyelami kenyataan yang baru kuketahui. Jo memang sosok penyayang, aku tahu.
"Masih ada yang mau kamu ceritain lagi?"
"Ya, papa memanggil kakakku pulang untuk menikah sama kamu. Papaku dan almarhum papamu bersahabat, lalu menjodohkan kalian dari kecil."
Sejenak aku terperangah. Kejutan apalagi ini? Sedramatis inikah kisahku?
"Ini serius?"
Jo mengangguk, mengeluarkan rokok dan menyulut benda itu. Mengisapnya dalam. Kepulan asap membuatku mual dan terbatuk. Spontan Jo melemparkan rokok yang masih menyala ke bawah dan menginjak baranya menggunakan ujung sepatu.
"Berjanjilah untuk menjalani semua dengan bahagia, atau kita ciptakan kebahagian itu bersama. Kita mulai dari awal."
"Apa maksud kamu?"
Jo tak menjawab, malah berbalik menatapku. Menunduk dan mendekatkan wajahnya sekali lagi padaku.
"Aku akan mengatakan saat kamu memilih salah satu, menciumku atau menamparku."
Pilihan macam apa ini? Terang saja siapa yang mau mencium pria beraroma asap dan sudah beristri? Mungkin saja tadi aku terlalu hanyut dan terbawa suasana saat dengan mudah dipeluk olehnya, tapi sekarang tentu saja tidak.
Plak!
Jo terlihat kaget mendapat tamparanku yang tak terlalu kuat. Namun anehnya pria itu tersenyum, sangat manis.
"Tadinya kupikir kita akan kawin lari. Tapi ternyata logikamu masih jalan, jadi, selamat menikmati kebahagian kita masing-masing."
Tanganku digenggamnya erat, lalu sekali lagi pria itu mendekatkan wajah yang kemudian membuatku sedikit mundur. Jujur saja aku tak ingin menjilat ludah sendiri jika saat ini kami berciuman.
"Aku sayang sama kamu. Jangan takut, aku nggak akan cium kamu," ujarnya lirih dengan napas sedikit berat, "kecuali kamu yang minta."
~~~~~
Hai apa kabar kalian? Ini part khusus buat seorang teman yang menanyakan update. Thanks banget, aku nggak nyangka ada yang mau nanyain kelanjutan kisah gaje ini.
Sorry kalau ada typo atau kalimat yang kurang bagus. Namanya masih amatir.
#sambilnontonbola
Salam hangat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top