Bab 3
"Tidak ada seorang pria pun yang murni bersahabat dengan seorang wanita tanpa embel-embel cinta atau perasaan sejenisnya."
Seringaian tiba-tiba muncul di bibir merah nan seksi milik Leon.
"Bisa stop membahas hal di luar pekerjaan saat jam kantor, Pak Leon?"
Pria itu hanya mendengkus sedikit kasar lalu meninggalkan aku sendirian yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaan. Meski jadwal masih banyak yang belum kususun tapi tiba-tiba saja mood kerjaku hancur.
All I ask is if this is my last night with you, hold me like I'm more than just a friend give me a memory I can use take me by the while we do what lovers do
It matters how this ends cause what if I never love again?
Telingaku menajam mendengar sayup suara Adelle bernyanyi, aku tahu siapa di baliknya.
Kuraih ponsel dari laci kerja dan membiarkannya tetap berdering tanpa berniat menjawab telepon itu. Dalam helaan napas lelah mataku tak lepas dari foto yang terpampang di layar. Pria yang seharusnya tak boleh terlalu dekat denganku meski hanya sebatas sahabat karena dia sudah memiliki seorang istri.
Aku masih menikmati alunan lagu dari telepon yang kuabaikan saat sebuah cangkir diletakkan tepat di samping ponsel pintar itu.
"Nih, ngopi dulu! Saya tau kamu lagi kurang semangat nyusun jadwal rapat dan pertemuan."
Aku yang terkejut sontak menatap ke arahnya dan mata kami bertemu sebelum sama-sama beralih pandang ke arah lagu yang berasal dari meja. Aku menangkap pandangan datar dari mata tajam itu.
"Angkatlah, sahabatmu telepon! Siapa tau ada yang penting dan mendesak," kata Leon seraya menjauh dan kembali meninggalkanku. Namun tak sedikit pun aku berniat menjawab panggilan.
***
Aku baru saja selesai mandi saat mama memasuki kamar membawa susu hangat dan sepiring kentang goreng.
"Vienza mau tanya sama mama. Apa hubungan persahabatan Vienza sama Jo itu salah?" tanyaku hati-hati pada mama yang kini duduk di ranjangku.
Aku melihat mama menghela napas.
"Mama belum dan sepertinya tidak akan lupa betapa anak mama sangat mencintai Jo si anak band itu. Tapi kenyataannya sekarang lain, Jo bukan pria lajang lagi."
"Kami hanya bersahabat."
"Dan kamu bahagia atas itu? Apa kamu bisa membayangkan perasaan istrinya?" tanya mama sedikit terlihat menahan emosi.
"Tapi kami tidak melakukan apa-apa. Kami hanya bertukar pikiran, saling menguatkan. Jo meminta pendapatku sebagai perempuan."
"Mama hanya berharap kedewasaan kamu, tidak lebih."
"Ma!" panggilku cepat.
Mama menoleh, lalu berkata, "Jangan temui dia lagi! Atau kamu akan semakin menyakiti perasaan perempuan lain."
Setelah berkata seperti itu mama meninggalkan kamarku. Tiba-tiba
ponsel di meja rias menyala dan bergetar. Aku menuju meja rias untuk melihat siapa yang ada di ujung telepon. Leon.
Entah mengapa aku enggan mengangkat telepon darinya. Setelah pembicaraan di kantor tadi sepertinya aku malas membicarakan sesuatu lagi dengannya. Dia bukan teman bicara yang asyik, berbeda dengan Jo.
Ah, baru saja berniat melupakan tanpa diduga ingatanku kembali teringat lelaki melankolis itu. Lagu 'All I Ask' kembali melantun dan terpampang wajah Jo.
Panggilan itu kuabaikan, entah mengapa. Rasanya aku lelah dan sedang tak ingin bicara.
Panggilan berulang-ulang dari dua orang kakak beradik. Semua tak kujawab. Aku hanya ingin segera tidur nyenyak. Syukur kalau bisa mimpi indah bersama Jo, ah, kacau!
Belum sempat kakiku melangkah saat sebuah pesan masuk. Perlahan kubuka pesan sekadar menghilangkan rasa penasaran. Ternyata pesan dari Jo.
[Aku tunggu di tempat biasa, aku lagi suntuk. Butuh teman bicara.]
Tak lama sebuah pesan lain masuk, kali ini dari Leon.
[Kamu lagi sama Jo? Kalau iya, tolong angkat telepon saya! Saya mau bicara sama dia.]
Untuk sesaat aku mencoba memejamkan mata sekadar berusaha menjernihkan pikiran. Namun suara Adelle kembali nyaring terdengar. Akhirnya aku menjawab telepon dari Jo dengan enggan.
"Aku butuh teman bicara sekarang. Menurut kamu lebih baik aku menunggu seseorang yang mau mendengar keluh kesahku, atau menumpahkan semua resah hati ke tempat hiburan--"
"Aku segera datang, tolong jangan pergi! Aku mohon!" sahutku cepat.
Aku bergegas menyambar jaket bulu di balik pintu kamar, lalu melangkah cepat menuju garasi.
"Mau nemuin Jo lagi?" tegur sebuah suara dari arah belakang.
Aku melihat mama sedang berdiri di ambang pintu samping mengenakan piyama satin berwarna ungu. Wajahnya penuh masker dan rambutnya sedikit kusut.
"Sebentar, kok, Ma. Dia sepertinya sedang perlu teman bicara."
Tanpa menunggu jawaban aku segera memanasi mesin. Ponsel kembali berdering dengan menampakkan wajah tampan bos baruku.
"Pak, saya baru akan menemui Jo. Jadi tolong jangan hubungi saya dulu! Biar saya bicara dengannya," cerocosku sambil membuka pagar.
Pagar terbuka dan aku terkejut mendapati seseorang di sana.
Sambungan telepon terputus dan pandangan kami bertemu. Sedikit gugup, tapi akhirnya aku mempersilahkan ia masuk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top