Tersayat Sembilu

Aku tahu saat ini batin dan ragaku begitu lemah. Entah mengapa aku merasa tidak ada yang benar-benar peduli padaku, apalagi saat melihat Giza dan Devan bertengkar.

Dua orang yang begitu berarti bagiku dalam artian yang berbeda, saling menyalahkan satu sama lain. Aku memang belum tahu apa yang mereka sembunyikan dariku.

Bukan aku tak ingin tahu tentang itu semua, tapi untuk saat ini aku benar-benar ingin sendiri. Fisikku yang lemah membuatku harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari.

Kata dokter aku mengalami sinkop vasovagal, maka sebab itu aku sering pingsan. Semua itu dipicu karena emosiku yang tak terkontrol dan juga fisikku yang lemah.

Itu sedikit penjelasan dari dokter soal kondisiku yang bisa aku pahami. Sebenarnya dokter menjelaskannya dengan panjang lebar, tapi hanya itu yang bisa aku tangkap dari penjelasannya.

Aku menatap langit-langit rumah sakit. Aku terbayang tentang kebersamaanku berasama Giza. Aku tersenyum kecut saat mengingat semua itu. Entah mengapa aku merasa sesuatu yang disembunyikan Giza adalah sesuatu yang sangat besar.

Tapi kali ini aku tak ingin mengambil kesimpulan sendiri sebelum aku benar-benar mendengar penjelasan dari mulut Giza sendiri.

Soal Devan, aku sedang tak ingin memikirkannya. Memang saat aku berada di rumah sakit ia selalu berusaha ingin menemuiku, tapi aku menolaknya.

Aku belum siap berbicara dengannya. Bukan aku tak ingin menyelesaikan masalahku dengan cepat, tapi aku benar-benar belum siap jika aku harus bertatap muka dengannya semenjak aku tahu dia bukan 'Dev' yang aku cari selama ini.

Ceklek...

Aku mendengar seseorang membuka pintu ruang rawatku. Aku menolehkan kepalaku untuk mengetahui siapa yang tengah mengunjungiku. Aku melihat orang itu tersenyum kepadaku. Aku pun membalasnya meski hanya samar.

David duduk di dekat ranjangku, setelah ia meletakkan bungkusan di meja. Biasanya ia memang mengunjungiku bersama Giza ataupun Fian, tapi saat ini aku tak melihat mereka.

"Giza ada di luar bersama Fian," ucap David seolah tahu apa yang ada di pikiranku.

"Kenapa mereka tak masuk?" tanyaku.

"Giza hanya tak ingin menambah buruk suasana hatimu, ia merasa kamu sakit karena dirinya. Sebenarnya ia tak pernah pergi dari rumah sakit ini. Ia selalu memantaumu meski ia tak menampakkan diri di depanmu," terang David.

Penjelasan David membuat hatiku tercabik-cabik, aku merasa jadi sahabat yang paling tak tahu diri. Bagaimana tidak, ia selalu ada saat aku senang bahkan saat terpuruk sekalipun.

Aku menitikkan air mataku, rasa bersalah telah menggelayutiku. Aku meminta David untuk memanggilkan mereka masuk. Meski ada rahasia yang disembunyikan Giza dariku bukan berarti ia telah menyakitiku. Aku yakin pasti ada alasan dibalik semua ini.

Aku menggenggam tangan Giza sambil menggumamkan kata maaf saat ia telah berada di dekatku. Aku masih mengingat dengan jelas perlakuan kasarku padanya saat aku baru tersadar dari pingsanku.

Aku mengusirnya, berkata kasar padanya bahkan aku sempat mendorongnya hingga hampir terjatuh. Saat itu aku sendiri pun terkejut dengan tindakanku, padahal selama ini aku tak pernah kasar padanya.

Saat itu amarah sedang menguasaiku, hingga aku mengeraskan hati untuk tak mempedulikan keadaan Giza karena ulahku.

"Sudahlah, Re, aku tahu kamu melakukan itu semua karena kamu banyak pikiran. Dan salahku juga yang belum bisa jujur soal rahasiaku. Tapi aku cuma bisa bilang padamu bahwa semua yang kulakukan semua demi kebaikanmu, karena aku menyayangimu," ucap Giza sambil menghapus air mata yang terus membasahi pipiku.

Sementara itu aku hanya bisa menganggukkan kepalaku dengan pelan. Aku melihat Fian menatapku dengan sedikit berbeda.

Terlihat jelas kemarahan di sorot matanya. Tentu saja, suami mana yang tidak akan marah jika istrinya diperlakukan dengan kasar. Aku cukup tahu diri, meski aku juga telah meminta maaf padanya tapi aku tahu ia belum benar-benar memaafkanku.

Maka itu aku tak ingin memaksanya. Aku  bersyukur masih ada teman-teman seperti mereka yang selalu ada untukku.

Aku juga yakin suatu saat Fian akan memaafkanku. Aku cukup tahu sifatnya karena aku juga telah lama mengenalnya.

Ia teman kuliahku meski tak sefakultas. Bukan, lebih tepatnya ia adalah teman Arka lelaki yang telah menyakitiku.

Berbicara mengenai Arka, kemarin saat aku  termenung seorang diri aku seperti melihat sosoknya memperhatikanku lewat jendela.

"Aku harap ini terakhir kali kamu bersikap kasar pada Giza, harusnya kamu tahu diri, cuma Giza yang begitu peduli padamu, jadi jangan bersikap seolah-olah kamu bisa bersikap seenaknya padanya," ucap Fian tiba-tiba yang sukses membuat hatiku sakit.

Ada ribuan jarum tak kasat mata yang menari- nari di dalam hatiku. Tapi aku paham ini semua memang salahku dan aku menerimanya. Giza tampak marah dengan ucapan Fian padaku. Tapi dengan isyarat aku memintanya untuk diam.

Aku berharap dengan Fian berkata kasar padaku ia mau memaafkanku.

"Aku tunggu di luar Giz, setelah selesai kita pulang, aku tak mau kamu juga ikutan sakit seperti sahabatmu itu," kata Fian pada Giza tanpa melihatku.

Aku menggenggam kepalan tangan David. Aku tahu ia sedikit terpancing emosi dengan sikap Fian. Meski aku tak pernah membalas perasaannya tapi aku tahu cinta David untukku belum padam.

Bukan aku terlalu percaya diri, tanpa diucapkan pun aku bisa merasakannya.

"Pulanglah Giz, aku tak apa-apa. Aku maklum dengan sikap Fian, ini semua memang salahku, aku yang terlalu egois," kataku pada Giza yang terlihat begitu bersalah padaku.

"Tapi ucapannya begitu keterlaluan Re, aku tak tahu kenapa dia bisa berkata demikian padamu," jawabnya.

"Wajar saja Giz ia berkata demikian karena begitu mencintaimu. Ia tak kan pernah rela jika istrinya disakiti, pulanglah aku tidak apa-apa, janganlah kamu merasa bersalah," ucapku menenangkannya.

Cukup lama ia terdiam sampai akhirnya ia mengangguk dan menuruti keinginanku. Ia memelukku sebelum pulang.

"Kamu tak ikut pulang Vid?" tanyaku memecah keheningan.

"Aku akan menemanimu di sini, aku tak tega meninggalkanmu sendirian apalagi aku senang bisa menjagamu," ucapnya sambil menaik- naikkan alisnya.

Aku sedikit tersenyum dengan tingkahnya. David memang selalu bisa membuatku tersenyum dengan sisi humornya. Setidaknya itu bisa mengurangi kesedihanku.

Aku mulai memejamkan mata setelah aku meminum obat. Tiba- tiba bayangan Adam dan Devon menghampiriku. Aku gelisah. Aku mencoba membuka mata tapi begitu sulit.

"Berhentilah jadi rapuh seperti ini, Reaku perempuan yang kuat, maka itu aku mencintaimu, jangan terus seperti ini kamu berhak bahagia dengan cintamu," ucap Adam.

"Bukan, Reaku itu adalah wanita periang ia tak kan mudah menjatuhkan air matanya. Jangan seperti ini Re, kamu adalah wanita yang kuat," kata Devon.

"Aku tak sekuat itu, Adam, Devon aku butuh kalian. Jangan tinggalkan aku seorang diri," ucapku sambil berurai air mata.

Adam dan Devon hanya diam tersenyum padaku. Tiba-tiba cahaya putih menenggelamkan mereka hingga tak tampak lagi.

Arrrghhhh......

Tbc...

Hai akhirnya aku up... Sudah lama juga gak up. Smoga gak mengecewakan. Maklumlah aku yang amatiran ini...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top