Tersakiti

Kurasakan sakit yang luar biasa pada kakiku. Telapak kakiku yang telanjang menginjak pecahan kaca. Entah dari mana ada pecahan kaca di sekitar kamarku.

Ataukah Devan tadi yang memecahkannya? Tapi kenapa aku tak mendengar suara pecahnya? Atau aku yang terlalu larut dengan diriku sendiri hingga tak mendengarnya.

Aku duduk sambil melihat telapak kakiku. Darah menetes dengan cepat. Dengan wajah khawatir Devan menghampiriku.

Tanpa peduli penolakanku ia menggendongku ala bridal style, membawaku duduk di sofa.

Dengan sigap ia mengambil kotak p3k yang ada di lemari. Aku hanya bisa mengaduh kesakitan saat kurasakan perih di kakiku.

"Awww...," rintihku saat Devan membersihkan lukaku.

Devan hanya diam saja dan tetap melanjutkan aksinya membersihkan lukaku. Kali ini ia melakukannya dengan sangat hati-hati dan pelan.

Ia mulai membalut lukaku dengan perban. Saat ia melakukan hal tersebut, aku memperhatikan raut wajahnya.

Ia terlihat khawatir tapi juga terlihat menahan amarah. Aku tak tahu apa yang membuatnya seperti ini. Setelah selesai Devan membawaku ke kamar dengan cara yang sama.

"Terima kasih," ucapku singkat.

Devan tersenyum samar. Ia mencium keningku lama. Ia seperti ingin menunjukkan betapa ia begitu menyayangiku.

Aku mencegahnya saat ia hendak pergi. Bukan untuk bertanya padanya tentang apa yang terjadi. Meski ingin, tapi aku mengurungkannya. Aku ingin ia menemaniku sampai aku tertidur.

Ia menempatkan dirinya di ranjang. Ia bersandar pada kepala ranjang, sedang aku bersandar di dadanya dan ia memelukku erat. Nyaman. Itu yang kurasakan.

Perasaan takut yang kurasakan tadi menguap bersama kenyamanan yang kurasakan. Mungkin besok aku akan mengajaknya bicara dari hati ke hati.

Aku tak ingin cuma aku yang selalu bercerita kesedihan dan masalahku. Meski terkadang ia mengetahuinya sendiri lewat informannya.

Aku ingin menjadi kekasih yang selalu ada untuknya. Aku ingin Devan tak pernah ragu untuk menceritakan masalahnya padaku.

Aku sadar selama ini aku tak peka terhadapnya. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri. Saat ini aku tak ingin memikirkan kesedihanku lagi karena Giza.

Biarlah sang waktu yang akan mengobati luka ini. Setelah berdiam diri cukup lama tadi di kamar, aku berpikir bahwa kematian Adam adalah sebuah takdir.

Aku tak bisa menyalahkan Giza atas kematiannya. Belum tentu jika pertengkaran itu tak terjadi Adam masih hidup.

Aku hanya tak bisa menerima kenapa Giza berbuat serendah itu. Mengorbankan hati sahabatnya untuk kebahagiaan dirinya sendiri.

Apa ia tak pernah berpikir akibatnya? Akh... Memikirkan Giza membuatku sakit kepala.

"Tidurlah sayang, jangan memikirkan yang berat-berat," ucap Devan yang melihatku belum bisa memejamkan mata.

"Tidak bisa tidur," jawabku singkat.

"Maafkan aku, karena kekacauan yang kutimbulkan membuatmu terluka," kata Devan.

Aku menegakkan badanku dan menatap Devan. Aku menangkup rahangnya yang tegas ke arahku. Aku mengecup bibirnya singkat.

Tapi Devan menahan tengkukku. Devan melumat bibirku dengan rakus. Menyelipkan lidahnya ke dalam mulutku. Akupun membalas ciumannya. Ciuman ini makin lama makin panas.

Tangan Devan yang bebas mengelus punggungku. Devan merebahkanku di ranjang dan mulai menindihku.

Ia mulai menciumku lagi setelah beberapa saat melepasnya untuk bernapas. Saat ia ingin membuka kancing bajuku, aku memegang tangannya.

Ini tak boleh terjadi. Devan menatapku sendu. Ia mencium keningku dan mengecup bibirku sekilas.

"Pintar sekali kau menghukumku sayang," ucapnya padaku.

Aku merona malu saat tahu apa yang dimaksudnya. Aku tahu Devan mulai bergairah, dan aku malah menghentikan aksinya. Mungkin ia butuh mandi air dingin untuk sekedar meredamnya.

Napasku naik turun. Aku masih merasakan manisnya ciuman yang kualami barusan. Aku tak percaya kenapa aku bisa seagresif ini. Memikirkannya membuatku malu.

****
Saat ini aku sedang menunggu Stella di restoran yang ada di sebuah pusat perbelanjaan. Tadi siang saat aku bekerja Stella menghubungiku untuk menemaninya berbelanja.

Awalnya aku menolak karena aku sedang malas untuk ke mana-mana.Tapi Stella membujukku dengan gigih hingga aku menyerah.

Saat kupikir lagi,toh tak ada salahnya aku sesekali menghibur diri sendiri setelah berbagai masalah yang menimpaku.

"Sudah lama Re? Sorry banget ya, ternyata pemotretannya sedikit molor," ucap Stella.

"Tak apa-apa Stell, aku belum lama kok, ya udah mau sekarang apa nanti?" tanyaku padanya.

"Sekarang saja yuk, habis belanja kita makan, belum pesan makanan juga kan?" tanya Stella.

Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaanya. Stella adalah pribadi yang menyenangkan, selain blak-blakan ia juga wanita cerdas.

Aku merasa nyambung jika mengobrol dengannya. Jarang sekali aku bisa cepat dekat dengan seseorang. Mungkin dulu aku terpaku hanya dengan Giza, karena hanya dia yang selalu ada di sampingku.

Akh... Kenapa aku harus selalu memikirkannya. Dia sudah membohongiku. Ia tak pantas untuk dipikirkan.

Aku memandang sebuah gaun pengantin yang sangat indah. Saat melihatnya aku kembali teringat kejadian yang pernah menimpaku.

Aku tak jadi memakai gaun pengantin yang telah aku siapkan di hari spesialku. Ya, itu karena calon suamiku meninggal.

Tapi kesedihan ini tak sesakit dulu. Saat ini ada seseorang yang lambat laun mengikis rasa sakit di hatiku.

"Indah ya, Re? Kayaknya cocok buat pernikahan kamu," ucap Stella yang sontak membuatku menoleh ke arahnya.

"Iya indah," ucapku singkat.

Aku tak menanggapi lebih lanjut ucapan Stella. Aku masih takut membayangkannya. Aku belum siap.

Sepertinya Stella memahami apa yang kurasakan. Iapun mengubah topik pembicaraan. Setelah lelah berbelanja kamipun mencari makan.

"Bentar ya Re, aku telepon lakiku dulu."

Aku memperhatikan Stella yang sedang menelepon suaminya. Aku membayangkan seandainya aku dan Devan menikah, memiliki anak-anak  lucu yang akan mengisi hari-hari kami. Membayangkannya saja membuat hatiku menghangat.

"Oh iya Re,Devan sudah cerita masalahnya padamu?" tanya Stella setelah selesai menelepon.

Aku menggelengkan kepala. Devan memang belum menceritakan,tapi ia sudah berjanji akan menceritakannya padaku. Itu sebabnya aku tak pernah mendesaknya.

"Sebagai teman Devan, aku cuma mau bilang sama kamu untuk tetap berada di sampingnya, apapun yang terjadi. Aku tahu hanya kamu yang bisa membuatnya kuat menghadapi masalahnya. Percayalah ini semua ia lakukan untuk dirimu.Ia sangat mencintaimu," terang Stella.

Kenapa tiba-tiba Stella berkata demikian? Apa sebenarnya masalah Devan?

Saat aku sibuk dengan pikiranku sendiri, tanpa sengaja netraku melihat orang yang aku cintai merangkul mesra seorang wanita.

Ia sedang bercanda ria di luar restoran. Aku bisa melihatnya karena dinding restoran terbuat dari kaca.

Aku berjalan keluar restoran untuk memastikan penglihatanku. Hatiku kembali terluka saat dengan jelas aku melihat wanita itu mencium pipi kekasihku.

"Devan," ucapku pelan.

Devanpun langsung melepas tangannya yang merangkul wanita tersebut saat ia melihatku. Air mataku menetes membasahi pipi saat menyaksikan kenyataan ini.

Tuhan tak adakah bahagia untukku? Aku mohon biarkan aku bahagia walau hanya sekejap saja.

Tbc...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top