Tak Terduga

Aku menatap layar laptopku dengan serius. Bola mataku seakan ikut menari seirama dengan gerakan jari-jariku yang mengetikkan sesuatu pada alat itu. Aku menghentikkan aktivitas saat jam di tangan sudah menunjukkan jam kerja telah usai.

Aku bergegas mengambil tas dan meninggalkan ruang kerjaku. Tak butuh waktu lama untuk sampai di parkiran, karena memang kantorku bukanlah kantor besar. Kantorku cuma terdiri dari dua lantai, lantai satu untuk usahaku dan lantai dua untuk ruang kerjaku. Ya, aku punya usaha sendiri di bidang tour & travel yang kurintis sejak aku berada di bangku kuliah. Meski tak besar setidaknya itu cukup untuk biaya hidupku.

Aku memasuki mobilku dan mengendarainya membelah jalanan yang padat menuju rumahku.

Sesampainya di rumah kulihat mobil Giza sudah terparkir di halaman rumahku. Semenjak meninggalnya Adam, dia memang sering mengunjungiku hanya untuk memastikan keadaanku. Berlebihan memang, karena aku bukanlah anak kecil lagi yang harus selalu di khawatirkan.

"Re, tadi aku mampir di restoran langganan kita, dan aku belikan makanan kesukaanmu," ucap Giza sambil menata makanan itu di meja.

"Terima kasih ,Giz, tapi mulai besok kamu tidak usah sering datang ke rumahku hanya untuk memastikan keadaanku, aku bukan anak kecil lagi, aku bisa menjaga diriku sendiri," jawabku datar.

"Apa maksudmu berkata demikian, Re, aku melakukan semua ini karena aku peduli sama kamu, karena aku tak ingin terjadi apa-apa denganmu.
Tapi jika semua perhatianku padamu hanya mengganggumu, baiklah aku tak kan datang menemuimu lagi."

Giza hendak meninggalkan rumahku tapi aku dengan cepat memegang tangannya. Dia menatapku dengan diam. Aku langsung memeluknya, menangis dalam dekapannya.

Aku tahu, selama ini dialah sahabat terbaikku, selalu ada saat aku membutuhkannya.

"Sudahlah, Re, tak perlu ada yang kamu tangisi, aku sudah menyiapkan makanan, lebih baik kita makan." Giza menarikku ke meja makan.

Aku masih terdiam. Terlintas bayangan saat aku menyiapkan makanan untuk Adam ketika ia sering mampir ke rumahku. Ia selalu memintaku memasakkan makanan untuknya. Senyum ceria selalu ia tampilkan.

Aku tersadar dari lamunanku saat aku merasakan ada seseorang yang menyentuh pundakku. Aku tersenyum tipis ke arahnya. Aku mulai memasukkan makanan kemulutku, meski terasa hambar tapi aku mencoba menelannya.

Usai makan Giza mengajakku berbincang-bincang. Aku tahu ia hanya ingin menghiburku, agar aku tidak larut dalam kesedihan. Sebenernya aku ingin sendiri, menenggelamkan diriku dalam kesibukan.

Tapi aku juga tak mungkin mengusirnya. Aku tak ingin menyakitinya. Mungkin aku egois karena aku tak pernah peduli dengan semua usahanya, aku hanya tak ingin dia membuang waktu sia-sia hanya demi diriku.

"Giz, kamu tidak ada acara dengan Fian?" tanyaku.

"Tidak ada, aku sudah bilang padanya, kalau aku mau menemanimu," ucapnya sambil membaca majalah.

"Giz, aku berterima kasih padamu, karena mempedulikanku, tapi tolong, jangan hanya karena aku kamu menjaga jarak dengan Fian." Dia mulai fokus kepadaku. Dia menggelengkan kepalanya, pertanda dia tidak suka dengan apa yang aku ucapkan.

Tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk aku mengenalnya. Termasuk saat dia tidak setuju dengan pendapatku, dia akan menggelengkan kepala, tanpa sepatah kata.

Aku menghela napas. Kami hanya diam larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba dia berdiri dan meninggalkanku.

Sebelum dia pergi, dia sempat menoleh dan berkata,"Aku tahu, Re, kamu ingin sendiri, tapi aku mohon kembalilah seperti Reaku yang dulu."

Aku terduduk lemas, apa aku bisa jadi seperti dulu? ini terlalu berat kulewati. Selama enam bulan aku hanya berteman sepi.

Ya, sudah enam bulan calon suamiku pergi. Meski sudah terbiasa tanpa kehadirannya, tapi terkadang rindu selalu membuatku mengingatnya kembali.

******
Pagi ini aku ada jadwal dengan client. Aku buru-buru mengendarai mobil menuju kantor. Karena semalam tidak bisa tidur alhasil pagi ini aku bangun kesiangan.

Kupacu mobilku dengan kencang, sambil berdoa dalam hati berharap selamat sampai tujuan. Namun naas mobil yang kukendarai menyerempet mobil lain, hingga mobil itu hampir menabrak pembatas jalan.

Kuhentikan mobilku untuk memastikan keadaan penumpang mobil yang ku srempet. Aku lihat seorang pria turun dari mobil itu dengan muka memerah akan amarah.

"Kamu pikir ini jalan milik nenek moyangmu?" ucap pria itu penuh amarah.

"Maafkan saya Mas, tadi saya buru-buru jadi saya tidak sengaja menyenggol mobil Anda.

Saya akan mengganti kerusakan mobil Anda," pria itu tersenyum mengejek.

Dia mendekat padaku dan mencekal pergelangan tangan kiriku dengan erat.

"Kamu pikir kamu bisa menggantinya? harga dirimu bahkan tak kan cukup untuk itu."

Plaaak...

Aku menamparnya dengan tanganku yang bebas. Aku tersulut emosi dengan ucapannya. Aku memang bukan orang yang kaya, tapi aku tidak rela direndahkan seperti itu. Pria itu menatapku dengan tajam.

"Selain tidak punya harga diri, kamu juga tidak punya etika, dasar perempuan sialan.

Akan kupastikan hidupmu akan menderita setelah ini, karena kamu telah berani menamparku," ancam pria itu.

Pria itu pergi meninggalkanku. Aku memasuki mobilku dengan pikiran yang kacau. Ku kendarai mobil menuju kantorku.

Salah satu karyawanku datang menghampiriku. Dia memberitahukanku kalau Pak Arga, client yang akan ku temui membatalkan janjinya.
"Syukurlah,setidaknya aku bisa terhindar dari satu masalah, " batinku.

******
Malam ini Giza mengajakku untuk menemaninya ke pesta pernikahan temannya yang diadakan di hotel ternama di kotaku. Fian, tunangannya tidak bisa menemaninya karena ada pekerjaan.

Aku dan Giza sampai di acara pesta. Suasana yang ramai membuatku pusing. Pelaminan yang indah membuatku semakin bergetar. Kenangan akan hari pernikahanku yang gagal berkelebat dalam benakku.

Keringat dingin mulai membasahi wajah. Giza menyadari keadaanku. Dia menuntunku duduk di kursi yang ada di sudut ruangan.

"Re, aku ambilkan minum dulu, jangan ke mana-mana," ucap Giza sambil beranjak meninggalkanku.

Dalam kesendirianku kulihat ada seseorang yang mendekat ke arahku. Betapa terkejutnya saat kulihat siapa yang menghampiriku. Dia adalah pria yang kutampar tadi siang.

Dia menyeringai, dia memegang lenganku dan menyeretku ke tempat yang sepi.

"Lepas, lepaskan!" aku meronta, berusaha melepaskan diri dari cekalannya.

"Diam kamu perempuan sialan, kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu kepadaku," pria itu berkata sambil terus menyeretku.

Kepalaku semakin berdenyut nyeri. Pandanganku mulai kabur. Pria itu menyeretku ke dalam sebuah kamar. Dia langsung menghimpitku ke dinding.

Dia menelusuri wajahku dengan jari telunjuknya. Aku bergidik ngeri, disaat seperti ini kenapa tubuh ini sulit diajak berkompromi. Tubuhku semakin lemas, keringat dingin semakin membasahi tubuhku. Aku melihat pria itu mendekatkan wajahnya ke arahku. Tiba-tiba kurasakan kesadaranku mulai hilang.

*****

Typo bertebaran

Masih butuh krisan...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top