Sikap Devan

Aku hanya terdiam memandangi Tia yang terlihat menahan amarah. Tiba-tiba ia menumpahkan minuman di kepalaku. Aku terpekik karena terkejut dengan aksi Tia.

Tanpa pikir panjang lagi aku berdiri dan menamparnya. Sudah cukup dia berlaku seenaknya padaku. Selama ini aku diam bukan karena aku takut padanya, tapi aku malas berurusan dengan orang semacam dia.

Saat Tia ingin membalas tamparanku Arka dengan sigap menahannya. Aksi Arka tersebut justru membuat Tia makin meradang.

"Dasar perempuan jalang tak tahu diri, pengganggu suami orang," maki Tia padaku.

Aku terkejut setelah Tia berucap demikian Arka menamparnya. Keributan ini menjadi perhatian pengunjung restoran. Aku yang tak terbiasa dengan situasi ini sangat malu sekali.

Akhirnya aku putuskan untuk meninggalkan Arka dan Tia yang masih bertengkar. Mata pengunjung restoran menatapku tajam, seolah-olah akulah wanita tak tahu diri yang telah merusak rumah tangga orang.

Akh... Masa bodoh dengan pemikiran itu. Yang aku pikirkan saat ini adalah pergi dari tempat ini. Aku berpapasan dengan orang suruhan Devan. Ia terlihat ingin memberi pelajaran pada Tia. Aku memberikan isyarat padanya untuk tak melakukan apa-apa.

Aku tak mau jika aku membiarkan suruhan Devan bertindak, masalah ini akan semakin runyam. Aku bergegas meninggalkan restoran tersebut bersama pak Diman.

Aku memintanya mengantarku ke apartemen untuk membersihkan diri karena ulah Tia, sebelum aku kembali ke kantor.

Saat aku memasaki apartemen aku terkejut karena di sana sudah ada Devan. Ia sepertinya tengah menungguku. Aku yakin kalau Joe, orang suruhannya yang memberitahu.

"Bersihkan dirimu, setelah itu kita bicara," ucap Devan padaku.

Aku hanya mengangguk pelan untuk menjawab ucapan Devan. Dengan cepat aku membersihkan diri. Aku duduk di depan meja rias. Aku ingin mengeringkan rambutku yang basah.

Saat aku sedang mengeringkan rambut, aku melihat dari cermin Devan mendekat padaku. Aku hanya mampu terdiam saat melihat tatapannya. Aku tahu ia sedang menahan amarah, tapi aku tak tahu apa sebabnya.

Ia mengambil alih hairdryer yang kupegang dan mulai mengeringkan rambutku. Dengan sangat pelan dan telaten ia melakukannya.

Aku tersenyum simpul melihat aksi kekasihku melalui cermin. Bagaimana tidak, seorang Devan yang suka seenaknya mau mengeringkan rambutku.

Setelah benar-benar kering Devan mencium puncak kepalaku dan setelah itu memelukku.

Aku bingung dengan sikapnya. Aku pikir ia akan memarahiku karena kejadian di restoran. Tapi ia malah memelukku dan seolah memberiku kekuatan

Ya, dulu aku pasti bersedih jika aku mengalami masalah sepele seperti ini. Meski selalu ada Giza yang akan menguatkanku.

Akh... Lagi-lagi aku teringat akan Giza. Sekuat tenaga aku melupakannya aku tak kan pernah bisa. Kenanganku bersamanya terlalu banyak jika dilupakan.

"Maafkan aku," ucap Devan padaku tanpa melepas pelukannya.

"Untuk apa?" tanyaku bingung.

"Maaf, aku tak berada di sampingmu saat wanita gila itu menyakitimu," ucap Devan dengan nada bersalah.

Aku membalikkan badan. Kutangkup wajahnya dengan kedua tanganku. Aku tersenyum sambil menatapnya.

"Aku baik-baik saja, kamu tak perlu khawatir," ucapku meyakinkan.

Ia tersenyum dan mengecup bibirku sekilas. Ia kembali memelukku. Aku membalas pelukannya dengan erat.

"Tadi kamu mau bicara apa?" tanyaku sambil duduk di ranjang.

"Aku cuma mau bilang sama kamu untuk lebih hati-hati dengan wanita tadi," ucap Devan serius.

"Maksud kamu Tia? Memang ada apa dengan dia?" tanyaku penasaran.

"Aku sudah mencari tahu soal orang yang selalu mengintaimu dan informanku mengatakan kalau orang itu adalah suruhan perempuan tadi," jawab Devan.

"Bagaimana kamu tahu kalau itu adalah dia?  Apa kamu pernah bertemu dengan Tia sebelumnya?" tanyaku.

Mataku memicing. Aku melihat ia menundukkan kepala. Aku yakin sekali kalau tadi ia pasti berada di restoran tersebut.

"Kamu mengikuti aku?" tanyaku meyakinkan dugaanku.

"Aku hanya khawatir padamu, aku takut mantanmu itu akan berbuat jahat kepadamu," ucapnya.

"Kan ada Joe, kenapa mesti khawatir?"

"Sudahlah, kamu belum makan kan tadi, lebih baik kamu makan dan setelah ini aku antar kamu kembali ke kantor. Tadi aku udah beli makan untukmu," ucapnya sambil menarik tanganku.

Aku hanya mampu menggeleng pelan. Devan pasti cemburu karena aku bertemu dengan Arka. Dan mungkin dia berpikir aku akan terlena dan jatuh ke pelukan Arka lagi.

Saat aku akan menata makanan di meja, Devan menghentikanku. Ia memintaku untuk duduk. Aku hanya bisa memandanginya sambil tersenyum.

"Kamu kenapa sih sayang kok hari ini beda banget," ucapku menggodanya.

Ya, aku belum pernah memanggilnya dengan kata 'sayang' semenjak ia menjadi kekasihku. Bukan aku tak mau, tapi aku belum siap memanggilnya demikian.

Aku melihat Devan menghentikan aktivitasnya. Ia menatapku dengan wajah yang sangat lucu. Mungkin dia tak percaya aku memanggilnya demikian.

"Kok bengong, aku sudah lapar sayaaangg," kataku gemas karena Devan hanya diam saja.

Ia tersenyum lebar saat mendengarku berkata demikian. Dengan cepat ia menyajikan makanan itu di depanku.

"Aku bahagia melihatmu seperti ini, dan aku berharap akulah alasan kamu tersenyum," ucap Devan sambil menatapku penuh cinta.

Aku baru tersadar kalau aku sudah lama tak bersikap seperti ini. Ya, sejak meninggalnya Adam aku jarang tersenyum. Devan benar-benar telah memberi warna di hariku.

Selesai makan, Devan mengantarku ke kantor. Aku masih ada kontrak kerja dengan hotel milik Devan.

Devan pernah memintaku untuk bekerja di tempatnya, tapi aku menolak. Meski usahaku cuma kecil tapi aku cukup bangga setidaknya aku bisa memberi pekerjaan bagi orang lain.

"Kok pakai mobil Joe?" tanyaku heran.

Devan hanya diam dan membukakan pintu untukku. Devanpun ikut duduk di sebelahku. Kami duduk di kursi belakang sementara Joe duduk di depan sebagai sopir.

"Jalan Joe!" perintah Devan.

"Sebenarnya tugas Joe apaan sih?" tanyaku penasaran.

Bukan menjawab tapi Devan malah menyenderkan kepalaku di bahunya. Ia mencium puncak kepalaku. Aku hanya bisa pasrah dengan tingkahnya.

Hari ini aku benar-benar tak menyangka akan mendapatkan perlakuan manis darinya.

"Nanti kita makan di luar ya? Aku sudah pesan tempat untuk kita, sekalian aku mau kenalin kamu sama Stella dan Alex," ucap Devan sambil mengelus kepalaku.

"Kok baru bilang sekarang, aku kan mesti siap-siap. Lagian aku belum menyiapkan baju yang pas untuk itu," ucapku sedikit panik.

"Aku udah menyiapkan di hotel, nanti setelah pulang kerja aku akan menjemputmu, semua yang kamu butuhkan telah aku siapkan, jangan khawatir," ucap Devan menenangkanku.

"Hotel?" tanyaku sambil mengerutkan dahi.

"Di hotelku sayang. Kenapa? Kamu ingin mengulang kejadian kamu pingsan di hotel waktu itu?" tanyanya sambil tersenyum.

Aku memukul dadanya pelan karena ucapannya. Aku lupa jika kekasihku ini adalah pemilik beberapa hotel di kotaku. Mengingatnya membuat hatiku resah. Akankah kebahagiaan ini akan selalu ada untukku?

Tbc...




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top