Rahasia

Aku merebahkan diri di atas ranjang rumahku. Ya, kali ini aku memilih kembali pulang, diantar oleh Devan.

Meski begitu ada yang mengganjal di hatiku saat Devan tak mengatakan hubungannya dengan wanita itu. Bukan salahnya juga, toh kita tidak ada ikatan apa-apa, jadi tidak ada kewajiban baginya untuk menjelaskan.

Terlihat bodoh memang, aku mau di perlakukan seperti ini oleh Devan. Aku sudah seperti selingkuhan baginya. Entahlah, memikirkannya membuatku semakin frustasi.

Aku membaca pesan di ponsel yang dikirim Arka padaku. Ia masih ngotot ingin kembali padaku. Semakin banyak pikirin semakin aku mengingat Dev, dan pengirim mawar itu.

Aku harus meminta penjelasan dari Giza tentang semuanya. Aku yakin bahwa ia menyembunyikan sesuatu dariku.

Aku mendengar suara deru mobil yang memasuki pekarangan rumahku. Aku beranjak untuk melihatnya. Orang yang baru saja aku pikirkan datang menemuiku.

Ya, saat ini kulihat dari tirai jendela Giza tengah berjalan ke arah pintu rumahku. Tanpa menunggu ia mengetuk pintu aku langsung membukanya.

Ia tahu kalau saat ini aku pulang ke rumah karena tadi aku mengirim pesan padanya saat Devan mengantarku pulang.

Saat ini Giza tidak sendiri ia ditemani David. Sudah beberapa hari aku tak bertemu dengannya karena David begitu sibuk. Senyum terlukis di bibir mungilku.

Aku mempersilahkan mereka masuk. Ada aura kemarahan yang tergambar di wajah Giza. Aku tahu sebabnya. Tapi aku juga ada alasan untuk marah padanya.

Devan belum sempat menjelaskan semua padaku karena kedatangan wanita tadi yang entah siapa aku tak tahu. Tapi sebelum pulang dari sini ia bilang akan menjelaskan semua padaku suatu hari nanti.

"Bagaimana kakimu, Re?" tanya David memecah keheningan.

"Sudah mendingan, Vid, meski masih tertatih." Aku membenahi posisi dudukku. "Kalian kok bisa barengan ke sininya?" tanyaku.

"Kenapa kamu tidak bilang, Re, kalau kamu pergi menemui Devan?" tanya Giza spontan.

Aku heran dengan pertanyaannya. Untuk apa aku harus bilang jika aku ingin menemui Devan. Aku bukan anak kecil lagi yang harus meminta ijin setiap akan pergi dan bertemu siapapun. Lagipula Giza hanya sahabatku yang tak seharusnya bersikap demikian padaku.

Aku akui Giza adalah orang terdekatku saat ini. Satu-satunya orang yang aku punya di dunia ini setelah orang tuaku meninggal.

"Kenapa aku harus ijin sama kamu? Lagipula aku juga sudah bilang kalau aku mau pergi diantar pak Jono?" jawabku sambil melihat David yang ada di dapur membuat minum.

"Re, apa kamu lupa kalau dia yang telah membuatmu seperti ini?" Giza mendekat padaku. "Aku hanya tak ingin terjadi apa-apa sama kamu," ucapnya sambil menggenggam tanganku.

"Sebenarnya ada masalah apa antara kamu dan Devan? Dan apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku?" tanyaku.

Aku melihat raut wajah Giza yang berubah pucat. Sepertinya memang ada yang disembunyikan dariku. Aku tahu dari sikapnya yang berbeda. Aku telah lama mengenalnya, jadi aku paham dengan tingkahnya.

"Tidak mau jujur padaku, Giz? Apa perlu aku mencari tahu sendiri?" Aku bertanya tanpa ekspresi.

Kesal. Marah. Kecewa, bersatu padu dalam darahku. Selama bertahun-tahun kami selalu mencoba terbuka. Bukan aku egois tak ingin memberi privacy padanya, tapi ini sudah menjadi komitmen kami.

"Jelaskan padaku, Giz, atau kamu boleh keluar dari sini, dan kembalilah saat kamu memiliki penjelasan untukku," kataku sambil bersandar di sofa.

"Maafkan aku, tapi aku belum bisa jujur untuk saat ini. Tapi aku mohon jangan bersikap seperti ini padaku," mohon Giza padaku.

"Siapa yang sering mengirim mawar padaku? Dan siapa Dev? Jawablah pertanyaanku ini dan aku akan menunggu kejujuranmu soal masalahmu dengan Devaan."

Giza menghela napasnya dalam. Aku menunggunya untuk menjawab pertanyaanku. Aku melirik pada David yang sedang duduk di kursi ruang makan. Ia seolah memberi ruang bagi kami untuk menyelesaikan masalah ini.

Giza meneguk minuman yang tadi disiapkan oleh David. Mungkin itu bisa mengurangi kegundahan hatinya.

"Dev dan pengirim mawar itu adalah sahabat kamu waktu sekolah. Awalnya aku tak percaya jika dia yang selama ini kamu cari. Karena kamu tahu sendiri dia bagaimana. Aku telah mencoba memberi pengertian padanya untuk berhenti menyakitimu dengan harapan palsu ini karena kamu berhak bahagia," jelas Giza.

"Sahabat? Jangan bilang kalau dia adalah...," aku menjeda ucapanku.

"Benar dia orangnya, dia yang mencintaimu selama sepuluh tahun ini dia pula yang selalu menyapamu lewat mawar merah itu.

Saat kamu di rumah sakit dia juga mengirimu mawar, tapi aku tak menyerahkannya padamu. Bukan aku membencinya tapi dia tidak pernah memberikan secara langsung, dia benar-benar pengecut, Re," terang Giza.

Devon Argantara, satu nama itu mencuat di memoriku. Sejak 10 tahun lalu ia tak pernah lagi menemuiku. Dia sahabat yang selalu menemaniku sebelum aku bertemu dengan Giza.

Entah kenapa semenjak aku bercerita tentang seseorang yang kukenal lewat chat, ia seolah menghindar dariku. Dia memang tidak bersekolah di tempat yang sama denganku.

Meski demikian aku bisa sering bertemu dengannya karena memang rumahnya tak jauh dari rumahku. Aku baru ingat, saat janji pertemuanku dengan Dev, yang berbuah kekecewaan aku juga menemui fakta jika ia telah pindah rumah.

Aku tak tahu apa masalahnya, yang aku dengar dari tetangganya, ada diantara keluarga Devon yang yang sakit hingga harus pindah ke luar negeri untuk berobat.

Aku tak pernah tahu banyak tentang keluarganya karena di sini ia tinggal dengan neneknya. Ia cuma pernah bilang ia dua bersaudara.

Aku memijat pangkal hidungku untuk mengurangi pusing yang tiba-tiba menderaku. Satu pertanyaan mengerucut dalam benakku. Apa hubungan semua ini dengan Devan?

Aku memang pernah menceritakan soal Devon pada Giza diawal pertemanan kami. Bagaimanapun Devon adalah seseorang yang pernah berarti dalam hidupku.

"Kamu pernah memergokinya kan waktu ia mengirim mawar? Kenapa kamu tak memintanya untuk menemuiku dan menjelaskan semua padaku?" tanyaku pada Giza.

"Ya, aku pernah menangkap basah pengirim mawar itu, tapi itu suruhan Devon, dan kamu pasti akan terkejut jika tahu siapa orangnya, Re," jawab Giza.

Aku termenung, apalagi ini? Semua penjelasan Giza seolah membuat teka-teki yang sulit aku pecahkan. Saat aku ingin bertanya kembali, aku mendengar suara ketukan pintu.

Aku terkejut saat tahu siapa orang itu. Ada tatapan saling mengintimidasi dari Giza dan orang itu. David berdiri diantara kedua orang itu.

"Re, aku harus pulang, kasihan Fian kalau saat pulang nanti aku tak ada di rumah dan kalau kamu ingin ke rumah, telepon aku biar di jemput pak Jono," ucap Giza padaku sambil menarik tangan David meninggalkan rumahku.

Kenapa Giza pergi saat ia datang,ada apa diantara kalian?

Aku hanya bisa menatap kepergian sahabatku dengan banyak pertanyaan di hatiku.

TBC....

Jreng... Jreng...

Makin rumit aja ya kisah Rea, serumit pemikiran saya hehe...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top