Pulang

Devan menghampiriku yang masih terpaku di tempat. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Saat melihatnya dengan perempuan lain membuat hatiku terluka. Pipiku mulai basah dengan air mata.

"Siapa itu cewek? Sudah punya kekasih juga, masih clamitan, apa kamu nggak mikir perasaan Rea," ucap Stella yang berada di sampingku.

"Kamu nggak perlu ikut campur, ini urusanku dengan Rea," kata Devan dingin.

Aku tak pernah mendengar Devan berkata sedingin ini. Dan aku yakin dengan Stellapun ia tak pernah berkata dengan dingin.

Aku melihat Stella mengatupkan rahangnya. Sepertinya ia tersinggung dengan sikap Devan.

Aku menghapus air mataku dengan kasar.

"Bisa jelaskan apa yang aku lihat barusan?" tanyaku.

"Ya, seperti yang kamu lihat. Semua sudah jelas kan, apalagi yang harus aku jelaskan," ucap Devan santai.

Kenapa Devan bisa setega ini padaku. Apa dia tidak memikirkan perasaanku.

"Silahkan bersenang-senang, maaf sudah mengganggu," ucapku sambil berlalu meninggalkannya.

Terdengar jelas di telingaku Stella mengumpat pada Devan. Lagi-lagi air mataku jatuh tak tertahankan. Aku tak pernah menyangka jika Devan menyakitiku dengan cara seperti ini.

Apa salahku? Apakah masih ada dendam di hatinya untukku?  Tapi bukannya semuanya sudah berakhir.

Aku tak peduli dengan Stella yang terus memanggilku. Aku hanya ingin menjauh. Hatiku makin perih saat Devan tak sedikitpun menahanku.

Aku berharap tadi adalah lelucon. Tapi hingga aku keluar dari pusat perbelanjaan tak ada tanda-tanda ia mengejarku.

Aku mulai lelah berharap. Aku putuskan untuk pulang ke rumah dengan taxi. Aku tak mungkin pulang ke apartemen Devan jika ia sudah tak menginginkanku lagi.

Meski tak pernah terucap dari mulut Devan, tapi kejadian tadi membuktikan kalau ia sudah bosan denganku.

Di dalam taxi aku menatap cincin yang tersemat di jari manisku. Cincin pemberian Devan saat ia memintaku jadi kekasihnya.

Dering ponselku berbunyi membuatku tersentak dari lamunan. Di layar tertera nama Stella. Aku membiarkannya dan kembali memasukkan ponselku ke dalam tas.

Aku langsung menuju kamarku ketika sampai di rumah. Meski aku tak menempati rumah ini, namun aku membayar orang untuk selalu membersihkannya tiap hari. Aku tak ingin rumah peninggalan orang tuaku tak terurus hanya karena aku tinggal di apartemen Devan.

Aku merebahkan diriku di ranjang yang nyaman. Kutatap langit-langit kamarku. Aku masih memikirkan alasan Devan yang berubah begitu cepat.

Kemarin aku masih bercanda dengannya. Masih saling memberi perhatian satu sama lain. Tapi kini, Devan merusak semua kenangan itu.

Aku menghela napas lelah. Tiba-tiba aku teringat dengan David. Aku lupa jika David pernah ingin berbicara mengenai Devan. Mungkin ia tahu alasan dibalik perubahan Devan.

Aku mengambil ponselku dari dalam tas dan mulai menghubungi David. Untunglah ia langsung mengangkatnya.

Namun aku harus bersabar hingga esok untuk mendengar sesuatu yang ingin dibicarakan David mengenai Devan. Selain karena sudah larut malam,juga karena David enggan menjelaskannya di telepon.

Aku termenung sambil bersandar di jendela, menatap bintang yang berkelap-kelip di langit. Malam ini begitu cerah,tapi tak secerah hatiku yang tengah mendung.

Malam kian merangkak naik, namun aku masih betah untuk menikmati udara malam yang masuk melalui jendela kamarku yang terbuka.

Aku tak peduli jika aku akan sakit karena udara malam yang menerpa tubuhku. Rasanya itu lebih baik dari pada hatiku yang terluka.

****
Aku menatap jam di dinding ruang kerjaku. Rasanya waktu berjalan dengan sangat lambat. Semalam Devan tak meneleponku hanya untuk berbasa-basi menanyakan keberadaanku.

Apa aku kecewa? Tentu saja. Mungkin malam tadi ia sibuk dengan wanita itu. Memikirkannya malah membuat hatiku sakit.

David memundurkan janji temunya denganku menjad sore hari karena siang tadi ia ada meeting dengan client-nya.

Aku sudah duduk dengan gelisah menunggu kedatangan David. Saat ini aku berada di restoran yang menyuguhkan makanan nusantara. Aku pernah beberapa kali makan di sini bersama David.

Akhirnya Davidpun datang. Ada penampilan yang berbeda saat aku melihatnya. Ia tampak lebih tampan dengan rambut model barunya.

"Sudah lama, Re?" tanya David padaku.

Aku tersenyum."Rambut baru Vid?" godaku.

David tersenyum kikuk.

"Sudah pesan makan Re?" tanya David lagi.

"Belum Vid, sekalian nungguin kamu," jawabku.

Kamipun memesan makanan untuk menemani kami berbincang-bincang.

"Apa yang waktu itu ingin kamu bicarakan mengenai Devan?" tanyaku langsung pada David.

"Apa kamu begitu mencintainya Re?  Atau kamu mau menjadi pacarnya karena berharap menemukan sosok Devon dalam dirinya?" tanya David balik.

"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" tanyaku bingung.

Tentu saja aku mencintai Devan. Aku tahu di dalam hatiku masih ada tempat untuk Devon yang telah tiada, tapi hanya sebatas untuk aku kenang.

"Jawab saja, Re!"

"Untuk apa aku menjawab pertanyaan yang kamu sendiri sudah tahu jawabannya," jawabku kesal.

Saat mendengar jawabanku David tertawa terbahak-bahak. Ia menertawakanku yang kesal karena pertanyaannya. Aku baru sadar jika David sedang mengerjaiku.

Aku mencubit tangannya yang berada di atas meja. Ia mengaduh kesakitan karena cubitanku. Aku benar-benar kesal dengannya.

Makanan sudah tersaji di depan kami. Tapi David juga tak kunjung bercerita mengenai Devan. Sepertinya ia ingin mengulur-ulur waktu. Tapi untuk apa?

"Jelaskan padaku Vid, apa yang kamu tahu tentang Devan," tanyaku di sela-sela menyantap makananku.

David menghentikan makannya saat aku mengajukan pertanyaan itu lagi. Ia menghela napas berat.

"Maafkan aku Re, sebenarnya aku ingin memberitahumu lebih awal, tapi aku tak ingin mengecewakanmu," ucap David.

"Ayolah Vid jangan berputar-putar. Aku hanya ingin tahu soal Devan, itu saja tak lebih," ucapku memelas.

"Aku pernah beberapa kali melihat Devan jalan dengan seorang perempuan yang sama. Tapi aku tak tahu ada hubungan apa diantara mereka. Aku pikir aku tak perlu ikut campur,tapi aku tak bisa membiarkan kamu disakiti," ucap David.

Seperti palu godam yang menghantam hatiku saat aku tahu jika selama ini Devan mengkhianatiku.

Aku makin sakit saat David menunjukan foto Devan dengan perempuan yang kulihat semalam melalui ponselnya.

Hebat sekali peran dia selama ini di depanku. Ia menunjukkan seakan-akan ia adalah kekasih yang sempurna tapi nyatanya dia benar-benar brengsek.

Aku mencoba menegarkan hati. Aku tak mau terlihat  rapuh di depan David. Rasanya hatiku kian hancur dengan semua ini.

Rasanya tak sanggup lagi aku berada di sini lebih lama. Aku putuskan untuk pamit pada David dan meninggalkannya seorang diri.

Cukup sudah aku medengar kenyataan ini. Aku menyusuri jalanan yang mulai basah karena hujan. Aku tak menghiraukan jika hujan akan membuatku basah kuyub.

Barangkali hujan mampu mengikis luka yang makin menggerogotiku. Sayup-sayup aku mendengar suara orang memanggilku.

Aku menolehkan kepalaku untuk melihat siapa gerangan yang meneriakan namaku. Aku mengumpat dalam hati saat tahu siapa yang memanggilku.

Kenapa saat aku ingin sendiri, aku harus bertemu dengannya Tuhan?

Tbc...




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top