Perasaan Giza

Giza POV

Sudah beberapa hari aku tak bertemu dan berkomunikasi dengan Rea. Ini adalah waktu terlama dalam sejarah persahabatanku dengannya. Aku benar-benar merindukan sahabatku yang rapuh itu.

Sejak pertengkaranku dengan Devan di rumah Rea membuatku gelisah. Aku takut Devan mengungkapkan rahasiaku pada Rea. Maka itu aku selalu berusaha membuat Rea menjauh dari Devan agar rahasiaku aman.

Aku benar-benar orang yang jahat, karena dengan tega menikam sahabatnya dari belakang. Aku benar-benar tak bermaksud menyakitinya. Bahkan aku tulus menyayanginya.

Selama ini aku menutupi kesalahanku dengan selalu berada di sampingnya. Itu kulakukan semata-mata untuk mengurangi rasa bersalahku padanya.

Bahkan saat ia berbuat kasar padaku saat di rumah sakit pun aku menerimanya. Aku berpikir aku layak mendapatkan perlakuan yang lebih kasar lagi dari pada itu.

Kupikir rahasiaku ini aman, tapi ternyata Devan mengetahuinya dan mengancam membongkarnya pada Rea jika aku tak mau jujur.

Bukan aku tak mau mengatakan rahasiaku pada Rea, tapi aku belum siap dengan reaksinya. Aku takut ia membenciku bahkan menjauh dariku.

Saat aku sedang dirundung gelisah tiba-tiba ada yang mengetuk rumahku. Aku memang beberapa hari ini mengambil cuti kerja untuk menenangkan pikiranku.

Entah mengapa aku merasa rahasiaku ini akan semakin membuat Rea terluka jika aku semakin lama menyimpannya.

Aku beranjak menuju pintu dan mencoba menepis kegelisahan. Aku terhenyak saat aku membuka pintu. Di sana berdiri teman kuliahku yang dulu pernah membuat Rea terluka.

"Untuk apa kamu ke sini?" tanyaku pada orang itu.

Dia adalah Tia istri dari mantan pacar sahabatku Rea. Aku membencinya karena dia telah membuat Rea terluka.

"Tentunya aku ada perlu denganmu, tidak mungkin aku jauh-jauh hanya ingin beramah tamah denganmu," jawab Tia dengan sombongnya.

Ya, dari dulu Tia memang terkenal jutek, sombong dan suka seenaknya. Tak ada yang mau berurusan dengannya. Bukan karena takut, tapi mereka cenderung malas dengan sikap Tia.

Dan entah bagaimana seorang Arka yang begitu baik bisa terjerat pesonanya hingga tega menyakiti Rea sahabatku.

"Apa maumu?" tanyaku pada Tia tanpa mau repot-repot menyuruhnya masuk.

Tanpa sopan santun Tia masuk begitu saja ke dalam rumahku. Hal itu membuatku sedikit emosi. Tapi jika aku terpancing dia akan senang, maka aku hanya mampu menghela napas kasar.

"Aku mau kamu bilang sama Rea untuk menjauh dari suamiku," ucapnya padaku sambil duduk di kursi ruang tamuku.

"Kenapa harus dia yang menjauh dari suamimu, toh bukan dia yang mengganggu Arka, suamimu," jawabku sambil duduk di hadapannya.

"Aku maunya dia yang menjauh dari suamiku, aku ingin kamu menolongku," mohonnya angkuh.

"Aku tidak bisa, Rea itu sahabatku dan kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga, jadi jangan bermimpi aku mau menuruti kemauan konyolmu," jawabku sinis.

"Aku bisa membuatmu melakukannya untukku Giz, kamu tidak ingin kan sahabat tersayangmu itu hidupnya makin berantakan?" tanya Tia padaku.

"Kamu mengancamku? Aku tidak takut dengan ancamanmu, aku tahu kamu hanya menggertakku," ucapku meremehkan Tia.

Aku pikir ia akan menyerah tapi aku salah. Tiba-tiba ia menelepon seseorang. Dia dengan sengaja membuatku mendengar percakapannya di telepon.

Dalam percakapan itu Tia meminta seseorang di seberang sana untuk mencelakai Rea. Aku membulatkan mataku tak percaya dengan apa yang kudengar.

Aku tak menyangka jika Tia akan bertindak senekad itu. Aku benar-benar takut hal buruk terjadi pada Rea. Bagaimanapun aku harus menjaganya sesuai amanat kedua orang tuanya.

Meski aku tanpa sengaja juga menyakitinya, tapi aku tidak akan rela bila ia dicelakai.

"Jangan macam-macam sama Rea, sudah cukup kamu menyakitinya," ucapku pada Tia mencoba mengurungkan niatnya.

"Kamu kenal aku Giz, jadi kamu tahu aku. Semua yang kumau harus selalu aku dapatkan bagaimanapun caranya. Lakukan mauku atau Rea celaka," ancam Tia padaku yang membuatku bungkam.

Setelah terdiam cukup lama. Akhirnya aku memutuskan menuruti kemauan Tia meski itu begitu berat untukku.

Aku menelepon Rea dengan alasan mengajak makan siang. Saat meneleponnya ada kegelisahan dalam hatiku. Aku takut menambah luka di hati sahabatku.

Detik demi detik waktu yang kulewati seperti siksaan yang mendera di setiap detak jantungku. Aku dan Tia bergegas menuju ke restoran tempat janjianku bersama Rea.

Aku mengabari Fian jika aku ada janjian makan siang dengan Rea. Sebenarnya setelah kejadian di rumah sakit tempo hari aku dan Fian terlibat pertengkaran hebat.

Entah mengapa saat ia membelaku di depan Rea soal sikapnya, aku begitu marah padanya. Mungkin itu semua karena rasa bersalahku pada Rea.

Namun karena sikapku itulah membuat Fian curiga kalau aku menyembunyikan sesuatu darinya. Dan pada akhirnya aku jujur padanya. Ia sempat marah padaku bahkan mendiamkanku.

Mungkin karena cintanya yang besar padaku ia mau memaafkanku dan melupakan kesalahanku di masa lalu dengam syarat aku juga harus jujur pada Rea.

Tapi sampai hari ini aku juga belum melakukannya. Aku dan Tia sudah sampai ke restoran sebelum Rea datang. Tia yang memesan makanan untuk Rea sebelum ia datang.

Aku sendiri bahkan tak berselera sama sekali. Perasaanku di selimuti kegelisahan. Jantungku berdetak cepat sekali. Aku menarik napas untuk menenangkan diri.

Aku harus melakukannya kalau tak ingin Rea celaka. Aku rela melakukan apapun meski setelah ini Rea akan membenciku.

Debar jantungku makin berdetak tak beraturan saat kulihat kedatangan Rea. Aku hanya menundukkan kepalaku tak berani menatap mata sahabatku.

Saat pertama Tia membuka suaranya pikiranku entah menghilang kemana. Aku tak fokus dengan pembicaraan mereka karena aku terlalu takut dengan apa yang akan terjadi.

Aku tersentak saa Rea bertanya padaku.

"Sepertinya ucapan Tia ada benarnya."

Kata-kata jahanam itu keluar dari mulutku. Aku tahu dia kecewa dengan ucapanku, tapi aku harus bisa meyakinkannya. Dia begitu emosi dan bersikukuh tidak ingin menjauh dari Arka. Bahkan ia meminta kami juga pergi menjauh dari kehidupannya.

Aku melihatnya beranjak dari duduknya. Aku harus memastikan ia pergi dari kota ini. Aku tidak mau dia celaka.

Aku menarik lengannya agar ia tidak jadi pergi. Tapi ternyata dia terlalu emosi hingga akupun terpancing. Bahkan aku tanpa sengaja mengucap nama Devan dalam pertengkaran itu.

Aku berpikir seandainya Rea menjauh, aku sedikit punya waktu untuk mencari waktu yang tepat untuk jujur padanya, sebelum Devan yang mengatakannya.

Akhirnya kata-kata kasar keluar dari mulutku. Aku berkata seolah aku telah muak dengannya. Dalam hati kecilku aku sangat merindukan senyumnya yang selama ini hilang.

Hatiku remuk saat melihat tetes air mata di wajahnya. Aku benar-benar benci dengan diriku sendiri. Kulihat Rea pergi dengan menangis.

Aku mengeraskan hati untuk tak mengejarnya. Mungkin ini jalan yang terbaik.Aku terduduk lemas di kursiku. Kulihat Tia tersenyum simpul sambil bertepuk tangan.

Rasanya aku ingin mencakar wajahnya itu. Tanpa rasa berdosa ia dengan santainya menikmati makan siang yang sedari tadi tersedia di meja.

Aku menunggunya menyelesaikan semuanya. Dan memastikan kalau ia tidak akan bertindak nekad pada Rea.

Aku menghubungi Fian untuk menjemputku karena aku tidak mau pulang dengan wanita gila seperti Tia. Setelah Tia menghubungi orang suruhannya untuk tidak mencelakai Rea aku beranjak dari tempatku.

Ternyata Tia mengikutiku dari belakang. Saat aku berada di luar restoran aku berpapasan dengan Rea yang kuperkirakan sedang menunggu taxi.

Aku memalingkan wajahku agar ia tidak tahu jika aku menahan air mataku.

"Cepat pergi jauh-jauh Re, kehadiranmu membuat kehidupan kami tak nyaman," celetuk Tia.

Ingin rasanya aku merobek mulut Tia saat ia berkata demikian. Tapi aku tak bisa melakukannya. Hatiku terlalu sakit melihat sahabatku bersedih, apalagi karena diriku.

Aku meluruh di jalan saat menatap kepergian Rea yang melaju dengan taxi. Tangisku pecah yang sedari tadi kutahan.

Aku mendongak saat kurasakan sentuhan di pundakku. Aku langsung berdiri dan memeluk orang itu. Di dalam dekapannya aku mencari kekuatan dan kenyamanan. Dialah suamiku tercinta Fian.

Tuhan aku mohon berilah kebahagiaan pada sahabatku, meski saat kebahagiaan menghampirinya aku tak bersamanya.

Tbc...

Part ini kayak sinetron banget yaa...

Menurut kalian Giza jahat nggak?? Setelah baca part ini

Kayaknya part ini gmn gitu... Semoga gak pada kecewa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top