Perasaan Devan
Devan POV
Hari ini aku berencana berziarah ke makam adikku. Ini adalah kunjungan rutin yang sering aku lakukan disela kesibukanku. Sebenarnya aku ingin mengajak orang yang aku cintai menemaniku ke sana.
Tapi aku harus kecewa. Beberapa hari terakhir ini dia selalu menolak bertemu denganku. Aku begitu marah karena ia tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.
Malam itu saat kerinduanku padanya begitu besar aku datang ke rumah sakit. Aku berpikir meski dia tak mau menemuiku setidaknya aku dapat melihatnya lewat jendela kaca yang ada di ruangannya.
Saat aku melihat seorang lelaki begitu perhatian padanya, darahku seakan mendidih. Sebenarnya lelaki itu tak asing bagiku karena aku pernah melihatnya.
Aku semakin marah saat dia begitu perhatian padanya bahkan rela menemaninya di rumah sakit yang seharusnya menjadi tugasku.
Tugas? Tak ada hubungan yang jelas diantara kita, meski aku tahu ia memiliki perasaan yang sama padaku. Tapi apa cinta perlu diungkapkan saat hati saling bertaut?
Banyak wanita yang hilir-mudik selalu menemaniku. Tapi saat menatap mata indahnya semua jadi berubah.
Tamparan dia saat pertama aku bertemu dengannya begitu melukai egoku, hingga membuatku ingin menghancurkannya meski aku tahu saat itu dia adalah orang yang dicintai adikku.
Saat di hotel pun aku memiliki kesempatan untuk menghancurkannya apalagi saat itu dia pingsan di pelukanku. Tapi aku tak tahu saat melihat wajahnya aku mengurungkan niatku.
Bahkan sebelum Giza sahabatnya datang aku cukup punya waktu untuk menghancurkannya.
Pagi itu aku sengaja ikut datang ke kantornya hanya untuk memastikan dirinya baik-baik saja.
Berdalih mengurus kontrak dan bersikap arogan, aku hanya ingin menatapnya lebih lama. Bahkan terang-terangan aku menggodanya untuk tahu reaksinya.
Devon benar, kalau dia adalah perempuan yang berbeda. Wajar jika ia begitu mencintainya. Tapi aku cukup merasa bersalah karena aku seolah mempermainkan perasaannya.
Aku memang pengecut. Bukan hanya itu, tapi aku juga brengsek mencintai wanita yang juga dicintai adikku.
Bahkan aku membiarkannya bersedih dengan harapan kalau kelak ia akan bertemu dengan Dev yang selama ini ia cari, padahal kenyataannya Dev alias Devon telah tiada.
Bukan aku tak ingin memberi tahunya, tapi aku mencari waktu yang tepat untuk menjelaskannya.
Tapi semua tak berjalan sesuai rencana, saat ini dia lagi-lagi menghindariku setelah semua kejujuranku.
Aku yakin ini semua ada sangkut pautnya dengan Giza. Pasti dia yang telah menghasutnya untuk menjauh dariku.
Jika benar semua karena Giza, aku akan pastikan dia akan mendapat balasan dariku.
Apa aku jahat? Aku tak kan melakukan ini jika Giza tak menyakiti 'wanitaku'. Entah sejak kapan aku mengklaim Rea Arnanta Wijaya sebagai 'wanitaku'.
Aku bisa saja memaksanya menjadi milikku. Tapi aku tahu kalau aku memaksanya ia akan semakin menjauh dariku, jadi aku hanya perlu memberinya waktu untuk datang ke pelukanku.
Kenapa aku bisa seyakin ini? Banyak wanita yang telah terjerat pesonaku, jadi aku tahu saat wanita itu telah jatuh kedalam pelukanku.
Rea tak pernah menolak setiap sentuhanku, bahkan diapun tak menolak ciumanku. Jika ia tak tertarik padaku tentu saja aku akan mendapat tamparan sebagai hadiah ciuman tersebut.
Apa aku ingin mempermainkannya seperti wanita lain? Awalnya memang demikian, tapi dia terlalu berharga untuk diperlakukan demikian.
Aku akan memperjuangkannya untuk berada di sampingku meski dia menganggap cinta ini adalah kesalahan.
"Van, jadi nggak kamu ke makam Devon?" tanya seseorang memecah lamunanku.
Orang itu adalah Stella, sahabatku. Aku telah lama mengenalnya. Aku sering menghabiskan waktu dengannya hingga banyak yang menganggapku ada hubungan spesial dengannya.
Stella adalah seorang model dan juga anak pengusaha furniture. Aku mengenalnya saat menghadiri acara pernikahan kolegaku. Sejak saat itu aku dan dia menjadi dekat.
Apa aku tak tertarik dengannya? Hanya lelaki bodoh yang tidak tertarik dengannya. Tapi ketertarikanku dengannya hanya sebatas kagum.
Selama ini dia banyak menolongku dalam segala hal. Maka dari itu aku begitu berhutang budi padanya.
Awalnya aku pikir Stella melakukan itu karena ia tertarik padaku. Tapi kali ini aku salah, ia melakukan itu semua karena ia berterima kasih padaku karena membuat ia bisa bersatu dengan suaminya.
Ya, Stella sudah menikah. Tak banyak yang tahu soal itu karena Stella menutupi semua dari awak media. Tentu saja jika kabar ini beredar, hal ini akan menjadi kehebohan mengingat ia adalah model.
Bukan kabar pernikahannya, tapi orang yang dinikahi Stella. Dia menikah dengan orang biasa dan sederhana.
Soal kabar aku yang akan melepas lajang, itu hanya kabar yang dihembuskan agar wanita-wanita yang mendekatiku perlahan menjauh.
"Malah melamun, jadi nggak?" tanya Stella lagi.
Aku menganggukkan kepala padanya. Tadinya aku akan berangkat sendiri saat tahu aku tak bisa membawa Rea bersamaku.
Tapi tadi Stella meneleponku untuk mengantarnya ke suatu tempat karena suaminya sedang sibuk. Aku bersedia mengantarnya setelah aku ziarah ke makam adikku.
Ia memang sudah berada di apartemenku diantar suaminya Alex, yang merupakan teman masa kecilku.
Aku memacu mobilku membelah jalanan yang macet menuju makam Devon. Setelah menempuh perjalanan yang cukup macet akhirnya aku sampai juga.
Saat turun dari mobil, mataku tanpa sengaja melihat wanita yang kurindukan tengah di peluk laki-laki. Aku begitu marah, kecewa.
Lagi-lagi lelaki itu yang mendampinginya. Apa salahku hingga aku harus melihat pemandangan ini?
Aku mengepalkan tanganku meredam amarah. Ingin aku menerjang lelaki itu karena dia berani menyentuh milikku di depanku.
Tapi aku tak mau merusak semuanya, saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertindak bodoh.
Aku melihatnya berjalan ke arahku dibantu dengan lelaki itu. Ingin rasanya aku menggendongnya agar dia tidak kesusahan berjalan.
Saat aku berpapasan dengannya aku hanya bisa diam tanpa menyapanya. Mulutku kelu, aku takut ia akan menghindariku lagi. Saat aku melihatnya yang hanya diam tanpa senyuman. Itu membuatku sadar ia tak suka bertemu denganku. Kulangkahkan kakiku menjauh darinya menuju makam Devon.
Baru beberapa langkah aku berhenti dan menoleh ke belakang berharap bisa melihat wajah cantiknya lagi. Tapi aku kecewa, ia tak melihatku dan terus berjalan ke arah mobilnya.
Aku hanya bisa menghembuskan napas dengan kasar. Kulirik Stella yang hanya menggelengkan kepala melihat tingkahku.
Di depan pusara Devon aku meminta ijin padanya untuk menggantikan menjaga Rea. Setelah itu tak lupa pula aku mengunjungi makam Adam.
Meski aku tak mengenalnya, entah mengapa ada dorongan dari hatiku untuk mengunjunginya. Sama seperti di makam Devon aku juga meminta ijin pada Adam untuk menjaga Rea.
Setelah selesai, kurasakan angin berhembus membelai wajahku seolah memberi pertanda. Aku berharap jika kelak aku akan menyanding Rea di sampingku.
Sepertinya hal ini tak kan mudah mengingat bukan hanya aku yang menginginkan Rea. Ada laki-laki lain yang juga berambisi mendapatkan cintanya.
Meski demikian aku tak kan pernah menyerah, karena Rea telah menjungkir balikkan duniaku.
Tbc...
Akhirnya jadi juga part ini...
Maaf jika part ini agak gmn gitu... semoga tidak aneh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top