Mimpi
Aku terbangun dari tidurku. Keringat menetes dari dahiku. David melihatku dengan tatapan khawatir. Napasku naik turun.
"Kamu baik-baik saja Re? Ada apa kamu sampai berteriak seperti itu?" tanya David.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. Mimpi itu begitu nyata. Tapi yang membuatku bingung kenapa aku bisa memimpikan Adam dan Devon secara bersamaan.
Aku menyandarkan tubuhku di kepala ranjang dibantu oleh David. Ia menyodorkan air putih padaku yang langsung ku teguk hingga tandas.
"Tidurlah lagi Re, kamu butuh istirahat banyak agar kamu cepat sembuh," ucap David.
Aku hanya bisa diam. Aku masih memikirkan soal mimpiku. Kerinduanku pada mereka menyeruak di hatiku.
Adam dan Devon. Tak pernah sekalipun aku terpikir untuk menyandingkan dua nama itu di hatiku. Meski keduanya telah pergi meninggalkanku tapi nyatanya perasaanku pada mereka masih ada meski dengan porsi yang berbeda.
****
Aku tengah duduk di beranda rumahku menghirup udara pagi yang menyejukkan. Kemarin aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter karena kondisiku yang makin membaik.
Selama empat hari aku dirawat, selama itu pula tidurku tak nyenyak. Mimpi yang selalu datang menyapaku membuatku selalu gelisah. Sebelumnya aku tak pernah memimpikan hal ini.
Aku berharap tidak ada hal buruk yang akan menimpaku. Rencananya hari ini aku akan berziarah ke makam Adam dan Devon.
Sejak aku mengetahui Devon adalah 'Dev', aku mulai berhenti memimpikan masa depan cintaku.
Biarlah sang takdir menuntunku untuk menggapai kebahagianku sendiri. Meski sulit tapi aku harus tetap meneruskan hidupku.
Aku tertatih memasuki kamar untuk mempersiapkan diri mengunjungi makam. Kakiku masih belum pulih, hingga saat ini aku masih menggunakan kruk.
Hari ini aku akan ditemani David. Setelah kejadian di rumah sakit tempo hari hubunganku dengan Giza sedikit kaku.
Aku tahu apa yang dirasakan oleh Giza. Tentu ia dilema untuk memihakku atau Fian suaminya. Karena sampai saat ini pun Fian masih marah padaku.
Aku tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Mulai saat ini aku tak ingin lagi menjadi wanita yang lemah dan rapuh karena hal sepele.
Aku merasa seperti ada sesuatu yang menguatkanku untuk tegar menjalani kehidupanku. Apa itu berkaitan dengan mimpiku soal Adam dan Devon? Entahlah aku sendiri juga tak tahu.
Aku bersimpuh di pusara Devon. Untuk pertama kalinya aku berziarah ke makamnya karena memang sebelumnya aku tak pernah tahu jika ia telah tiada.
Meski aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tapi dengan tak tahu malunya air mataku menetes membasahi makam Devon.
"Maafkan aku Devon, karena selama kita dekat aku tak peka terhadap perasaanmu, bahkan aku tak pernah terpikirkan jika 'Dev' yang aku cari adalah dirimu. Aku sungguh menyesal tak berada di sampingmu saat kamu melawan penyakitmu hingga kamu menyerah dan pergi untuk selamanya. Sekali lagi maafkan aku, aku berdoa semoga kamu bahagia di alam sana," ucapku di depan pusara Devon diiringi dengan isak tangisku.
Setelah menumpahkan segala hal yang mengganjal di hatiku di pusara Devon, aku berganti berziarah di makam Adam.
Makam mereka memang berada di tempat yang sama. Setelah merasa cukup aku meminta David mengantarku ke taman.
Ya, aku ingin menikmati suasana taman yang sudah lama tak aku kunjungi. Saat aku berjalan ke arah mobil, aku bertemu dengan Devan dan seorang wanita.
Dia adalah wanita yang sama yang aku temui di apartemen Devan. Aku dan Devan hanya saling menatap tanpa ada saling sapa.
Entah mengapa hal ini membuat hatiku seperti tercubit. Mungkin Devan marah padaku karena saat aku berada di rumah sakit aku tak pernah mengizinkannya untuk menemuiku.
Aku terus melanjutkan langkahku, aku menengok ke belakang untuk melihat Devan kembali. Berharap ia juga melihat ke arahku, tapi itu hanya harapan semu.
Aku melihat Devan terus berjalan bersama wanita itu. Aku harus bisa melupakannya, kita memang di takdirkan untuk saling menyayangi tapi tidak untuk saling memiliki.
Di dalam mobil aku hanya bisa terdiam. Meski banyak kata yang ingin aku ucapkan pada David, tapi mulutku seolah terkunci. Dan bersyukurnya aku memiliki teman seperti dirinya yang memahami perasaanku.
"Re, sudah sampai," ucap David membuyarkan lamunanku.
Sepanjang perjalanan menuju taman aku memang tak berbicara sedikitpun. Pikiranku melayang entah kemana.
Aku keluar dari mobil dibantu David. Aku duduk di bangku taman yang kosong. Aku memilih bangku itu karena tepat berada di bawah pohon yang rindang.
Aku dan David berbincang-bincang ringan. Sesekali canda tawa mewarnai obrolan kami.
"Bagaimana perasaanmu sekarang Re, setelah mengunjungi makam Adam dan Devon?" tanya David padaku disela candaannya padaku.
"Jauh lebih baik, setidaknya untuk saat ini aku tahu kalau harapanku bertemu cinta pertamaku telah terjawab meski tidak sesuai dengan harapanku," jawabku sambil tersenyum tipis.
"Terus bagaimana hubunganmu dengan Devan?" tanya David lagi yang membuatku terdiam.
"Tidak ada hubungan diantara kami, kedekatan kami hanyalah sebuah kesalahan," kataku tanpa ekspresi.
"Tapi aku tahu kamu mencintainya, jujur mengatakan ini padamu begitu sulit bagiku, karena aku juga mencintaimu. Tapi tatapan matamu saat bertemu dengan Devan begitu berbeda, dan kamu tak perlu membohongi dirimu kalau kamu tak mencintainya," kata David sambil menghela napasnya.
Aku tahu betapa sesak hatinya mengatakan hal itu. Seandainya cinta itu bisa dipaksa, aku akan memilih lelaki di sampingku ini.
Ia selalu ada untukku, menyayangiku tanpa pamrih padaku. Aku sangat bersalah tidak bisa membalas perasaannya, tapi aku tahu ia juga tidak akan mau menerimaku jika aku melakukan karena balas budi.
Aku berharap suatu saat ia menemukan wanita yang lebih baik dariku.
"Aku memang mencintainya, tapi aku tahu kalau aku dan dia tidak bisa bersama Vid, ia telah memiliki orang lain yang pantas mendampinginya. Lagi pula siapa aku berani bermimpi untuk menyandingnya?" tanyaku pada David.
David hanya diam saja. Ia tahu maksudku. Devan adalah pengusaha perhotelan yang cukup sukses bahkan keluarganya juga dari keluarga terpandang.
Sebenarnya dari awal aku tak boleh membiarkan perasaan ini tumbuh, tapi apalah dayaku sekuat tenaga aku menolak perasaan ini justru semakin besar. Bahkan saat di depannya pun aku tak bisa menolak pesonanya.
Bahkan saat tahu kebenaran dia bukan 'Dev', kupikir rasa ini akan hilang tapi aku salah.
"Kalau jodoh pasti bertemu, Re," ceplos David sambil nyengir kuda.
Jodoh? Apa mungkin aku berjodoh dengannya? Akhh... kurasa tak mungkin, karena sebentar lagi Devan sudah dimiliki orang lain.
Mengingat kenyataan ini, hatiku seperti dipukul dengan palu yang sangat besar. Sakit. Perih. Dan sesak.
Aku ingin bahagia Tuhan. Jangan biarkan aku terus berkubang dalam duka. Jika memang cinta di hatiku ini hanya semu, ijinkanku bahagia dengan cinta yang lain.
Tbc...
Jeng ...jeng... jeng...
Part depan POV nya Devan ya...
Biar tahu ni perasaan abang Devan ma Rea gmn.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top