Menjenguk Arka

Netraku masih terpaku menatap David. Aku melihatnya dengan teliti siapa wanita yang sedang bersamanya. Tidak salah lagi, itu memang dia.

Tapi sejak kapan mereka dekat? Atau aku saja yang ketinggalan informasi karena terlalu sibuk dengan masalahku sendiri?

"Sedang melihat apa?" tanya Devan padaku yang seketika mengalihkan pandanganku.

"Sepertinya itu David dan Dira," jawabku sambil menunjuk orang yang aku lihat.

"Oh... Baguslah sekarang David punya pacar, jadi dia tak akan mengganggumu," ucap Devan santai.

"Sejak kapan David menggangguku, yang ada kamu yang terlalu cemburu sama dia," godaku.

"Wajar dong aku cemburu, bukannya cemburu itu tanda cinta," jawab Devan membela diri.

Aku hanya menggelengkan kepala menanggapi ucapan Devan. Soal David, aku akan menghubunginya nanti untuk bertanya langsung mengenai kedekatannya dengan Dira, karyawan kepercayaanku.

Kami sampai di rumah sakit tempat Arka dirawat. Aku menghentikan langkahku saat aku bersirobok dengan Tia.

Tapi aku tak bisa mundur lagi. Walau bagaimanapun Arka masuk rumah sakit karena salahku.

"Berani juga kamu datang kemari. Kamu pikir aku akan tinggal diam dengan semua ini, tidak Re, tunggu pembalasanku," ucap Tia meninggalkanku dan Devan.

Aku hanya mampu diam menanggapi ucapan Tia. Kulihat Devan juga acuh terhadap ancaman itu.

Aku dan Devan memasuki ruang perawatan Arka. Di sana ada Joe dan beberapa orang anak buah Devan.

Setelah kami masuk mereka pergi dari ruangan itu, hingga tersisa aku, Devan dan Arka.

Aku melihat Arka yang sudah sadarkan diri. Wajahnya dihiasi dengan lebam-lebam akibat perbuatan Devan.

"Bagaimana keadaanmu Ka?" tanyaku pada Arka sambil duduk di sebelahnya.

Arka hanya diam, matanya menatap ke arah Devan. Akupun mengikuti pandangan Arka untuk menatap Devan.

"Ada apa? Kenapa kalian menatapku seperti itu?" tanya Devan santai.

Devan menghembuskan napasnya.

"Aku minta maaf, tak seharusnya aku berlaku kasar padamu. Tapi meski begitu aku tak akan membiarkan kamu mendekati Rea, dia milikku," ucap Devan yang membuatku melotot.

Di saat seperti ini ia masih memikirkan hal semacam itu. Aku kembali menatap Arka untuk melihat reaksinya atas ucapan Devan.

"Pacarmu posesif sekali Re, sepertinya laki-laki lain bakal bernasib sama denganku jika mereka berani mendekatimu," canda Arka padaku.

Devan sepertinya tak terpengaruh dengan ucapan Arka, ia masih terlihat tenang di tempatnya.

"Maafkan aku, Ka. Karena aku kamu jadi seperti ini. Tak seharusnya aku melibatkanmu dalam masalah ini," ucapku tulus pada Arka.

"Tidak apa-apa Re. Harusnya dari awal aku yang harus tahu diri. Tak seharusnya aku mengharapkanmu lagi setelah semua yang terjadi pada masa lalu kita," ucap Arka padaku.

Kenapa dia baru menyadari sekarang. Apa karena efek dari pukulan Devan? Entahlah.

Aku berbincang ringan dengan Arka, sesekali Devan menyela pembicaraan kami. Aku tak menyinggung sedikitpun soal Gilsa.

Aku tak mau suasana kembali memanas. Bukan aku tak percaya dengan Devan soal Gilsa, meski ia telah menjelaskannya padaku.

Aku hanya ingin tahu apakah Arka juga terlibat di dalamnya. Karena saat aku menunjukkan foto itu padanya ia terlihat mengenal Gilsa.

Aku pamit pada Arka setelah beberapa saat. Aku menatap jendela kaca mobil sambil memikirkan soal Gilsa.

Entah kenapa aku merasa masih ada yang belum terungkap soal Gilsa.

"Kenapa sayang dari tadi melamun saja," tanya Devan sambil fokus menyetir.

"Apa Arka mengenal Gilsa?" tanyaku pada Devan.

"Entahlah. Mungkin saja iya. Nanti juga kamu tahu semuanya. Sekarang berhenti memikirkan mereka. Lebih baik kamu mikirin aku yang ganteng ini," goda Devan padaku.

Aku memukul Devan pelan. Bisa-bisanya ia bercanda di saat seperti ini.

****

Aku sedang menikmati udara yang menerpa wajahku pelan. Hari ini cuaca sangat cerah sekali. Meski permasalahanku belum sepenuhnya selesai tapi setidaknya aku bisa sedikit bernapas lega.

Aku tak lagi mendapati Devan mengamuk lagi. Aku juga bisa merasakan kasih sayang orang-orang terdekatku.

Aku sedang jalan-jalan di taman yang berada di dekat apartemen Devan. Rasanya sudah lama sekali aku tak merasakan ketenangan ini.

Aku berhenti berjalan saat aku melihat Giza sedang berbincang dengan Gilsa dan Tia. Apa mungkin Giza bersekongkol dengan mereka?

Aku mengendap-endap untuk bisa mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Rencana kita sudah gagal. Devan sudah tahu kalau Gilsa adalah suruhanku. Aku masih belum puas menyakiti Rea, apalagi ia pernah membuat Arka masuk rumah sakit," ucap Tia.

"Harusnya kamu senang dong, Arka sudah tidak lagi mengejar Rea, lalu apalagi yang kamu inginkan," tanya Giza pada Tia.

Aku mendengar pembicaraan mereka dengan jelas karena aku berada di semak-semak yang ada di belakang mereka. Aku harap mereka tidak mengetahui keberadaanku, dan aku bisa mendengar pembicaraan mereka semua.

"Aku tak terima jika Devan menolakku. Selama ini tidak ada satupun laki-laki yang menolakku," kali ini giliran Gilsa yang bersuara.

"Sebenarnya apa tujuan kalian?" tanya Giza seakan memancing mereka untuk membuka rahasia.

"Aku ingin Devan bertekuk lutut di hadapanku. Dan menyingkirkan Rea sejauh mungkin dari Devan. Bisa saja kan, setelah aku mendapatkan Devan, ia mengejar Arka," ucap Gilsa.

Aku tak tahu kenapa Gilsa begitu bencinya padaku hingga ingin aku menjauh dari Devan. Padahal, selama ini aku tak mengenalnya bahkan tak pernah ada masalah apapun dengannya.

Aku melihat Tia dan Gilsa pergi. Kini Giza hanya duduk seorang diri.

"Keluarlah Re, aku tahu kamu bersembunyi!" teriak Giza padaku.

Aku terperanjat, tak menyangka jika ia mengetahui keberadaanku. Akhirnya aku putuskan untuk menemuinya.

"Jadi kamu bersekongkol dengan mereka untuk menyakitiku?" tanyaku langsung pada intinya.

"Terserah bagaimana penilaianmu terhadapku. Aku cukup tahu diri untuk tak meminta lebih dari ini semua. Duduklah jika kamu ingin tahu semuanya," ucap Giza padaku.

Aku berpikir sejenak. Akhirnya aku putuskan untuk menuruti kemauannya.

"Aku memang dekat dengan mereka. Tapi aku mendekati mereka agar aku bisa tahu rencana mereka untuk menyakitimu," ucap Giza padaku.

"Dan kamu juga yang meminta Devan untuk pura-pura dekat dengan Gilsa?" tanyaku spontan.

"Aku tak pernah menyarankan hal itu, tapi Devan sendiri yang memilih jalan itu, karena ia juga tak sepenuhnya percaya padaku. Tapi akhirnya aku meminta bantuan David untuk mengambil foto kebersamaan mereka.

Dan aku meminta David untuk memperlihatkan padamu. Bukan untuk apa-apa, tapi biar rencana Devan berhasil dan meyakinkan Tia, jika Devan sudah terjebak," terang Giza.

"Lalu siapa sebenarnya Gilsa?  Bukankah dia hanya suruhan Tia, tapi kenapa ia jadi ikut membenciku?" tanyaku penasaran.

"Kamu yakin ingin tahu?" Atau itu hanya reaksi kecemburuanmu?" tanya Giza yang seakan menggodaku.

Aku baru sadar jika ini pertama kali aku berbincang dengan Giza setelah pertemuanku di rumah sakit. Saat berbicara padanya aku seakan lupa jika Giza pernah menorehkan luka di hatiku.

"Terserah bagaimana pendapatmu. Aku hanya ingin tahu tentang Gilsa, karena aku merasa Arka juga mengenalnya," jawabku datar.

Giza menarik napasnya dalam sebelum menghembuskannya dengan perlahan.

"Dia adalah...," ucap Giza menjeda ucapannya sambil memegang tanganku dengan gemetar.

Tbc...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top