Menghindar

Ciuman itu terjadi begitu saja. Ia bahkan tak memberi kesempatan untukku bernapas. Aku memukul dadanya dengan kencang agar ia melepasku.

Akhirnya dia melepaskan ciuman kami. Entah mengapa aku bisa terbawa suasana hingga hal ini terjadi. Aku pergi meninggalkannya begitu saja. Aku begitu malu pada diriku sendiri.

Aku mendengar derap langkah di belakangku. Aku tahu dia mengejarku, namun tak kuhiraukan.

Aku pulang menggunakan taksi, karena aku tak tahu keberadaan mobilku. Mungkin masih di taman atau sudah dibawa suruhan Devan.

Di dalam taksi aku meratapi kebodohanku. Kututup wajahku dengan ke dua tanganku. Jari telunjukku menelusuri bibirku.

Jantungku berdetak lebih cepat. Aku tak tahu perasaan apa yang sedang kurasakan. Ini bukan ciuman pertamaku, tapi entah mengapa ini terasa berbeda.

"Adam,maafkan aku atas semua ini," batinku.

Ku akui beberapa bulan ini aku sedikit melupakan Adam. Tapi aku harus bagaimana lagi, dunia kita telah berbeda, dan aku harus melanjutkan hidupku.

Sampai di rumah, ku sandarkan tubuhku di sofa ruang tamu. Rasanya lelah sekali. Bukan hanya ragaku, tapi batinku.

Aku teringat awal pertemuanku dengan Devan. Rasanya terasa aneh bagiku. Dia yang dulu arogan, mendadak berubah 180 derajat. Apa ini jebakan? tapi untuk apa dia melakukan semua ini?

Kepalaku terasa pening jika memikirkan hal ini. Aku berlari ke kamar mandi. Ku basuh wajahku berharap kejadian tadi tidak berputar-putar di kepalaku.

Setelah ku rasa cukup, aku berjalan ke beranda rumahku. Hawa sejuk langsung merasuk ke dalam paru-paruku. Mungkin efek dari hujan tadi.

Sambil duduk dan menikmati suasana beranda rumah, aku mengecek ponselku yang sedari tadi aku matikan.

Aku melihat beberapa miss call dari David, dan beberapa pesan darinya. Selain itu juga ada pesan dari Giza. Semua pesan dari mereka isinya rata-rata sama. Mereka menanyakan keadaanku.

Aku sangat bersyukur memiliki mereka. Di dunia yang kejam ini masih ada orang-orang yang peduli padaku.

Aku balas pesan mereka, agar mereka tak terlalu khawatir padaku.

Setelah membalas pesan mereka, aku kembali berkutat dengan kesendirianku. Saat itu ku lihat seseorang menuju rumahku.

"Permisi mbak,apa benar ini rumahnya mbak Rea?" tanya orang itu yang kuyakini adalah seorang kurir di lihat dari baju yang dipakainya.

Aku membenarkan pertanyaannya. Lalu dia memberiku sebuket Bunga Mawar dan sebuah bingkisan.

Setelah tugasnya selesai, sang kurir undur diri padaku.

Dengan rasa penasaran ku buka bingkisan itu. Di dalam bingkisan itu ada sebuah surat dan sebuah kalung giok.

Aku membuka surat itu dengan bergetar. Aku takut jika isi dalam surat itu akan membuatku terluka lagi. Namun, di dalam surat itu hanya ada satu kalimat yang tak berarti bagiku.

Aku pikir aku akan mendapat serangkaian kata manis, atau kata menyakitkan, nyatanya aku hanya mendapatkan kata-kata biasa.

Sang pengirim berharap aku menyukai kiriminnya. Siapa lagi kalau bukan Dev. Aku semakin frustasi dengan laki-laki bernama Dev. Aku menatap Mawar itu lebih seksama.

Ku lihat kertas menyembul dari rangkaian Mawar itu, aku buka kertas itu dan ku baca.

Kau bagai bintang malam
Menerangi hatiku yang gelap
Kau hanya milikku
Dan akan ku jadikan kau pengantinku.

Dev

Aku robek kertas itu. Dia seolah senang mempermainkan hatiku.
Dia tak ingin aku mencarinya, tapi dia selalu menyapa lewat Mawar yang di kirim, tapi sekarang ia berharap kelak aku menjadi pengantinnya.

Kupukul dadaku yang terasa sesak, beberapa saat lalu hati ini berdetak kencang karena Devan, tapi sekarang terasa sesak oleh Dev.

Tuhan... tunjukkanlah siapa mereka, aku hanya ingin tenang dan bahagia menjalani hidupku.

Apa benar Dev dan Devan orang yang sama?

Aku mendongakkan wajahku saat aku merasa ada seseorang yang berdiri di depanku.

"Devan, ada apa kamu kesini?" tanyaku sedikit terkejut dengan kedatangannya.

"Aku hanya ingin mengantar mobilmu, dan soal tadi aku minta maaf, aku tak bermaksud demikian," ucapnya panjang lebar.

"Terima kasih telah repot-repot mengantar mobilku, soal tadi lupakan saja, dan ku mohon pergilah dari rumahku."

Aku meminta kunci mobil padanya dan ku masuk ke dalam rumah. Aku tutup pintu dan menguncinya.

Aku dengar dia berkali-kali mengetuknya. Aku luruh ke lantai. Aku menangisi kebodohanku yang terlalu lemah dengan hatiku.

***
Siang ini Giza mendatangi kantorku. Ia memberondongku dengan berbagai pertanyaan.

Itu terjadi karena semalam aku tak sekalipun menjawab telepone darinya, dan juga tak membalas pesannya.

Aku tak berkata apa-apa sebelum dia selesai mengomel padaku. Setelah puas melampiaskan kekesalannya padaku,ia menarik napas panjang.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" ku hentikan aktivitasku, dan aku mulai fokus padanya.

Aku memang tak akan pernah bisa berbohong padanya. Mungkin dengan aku bercerita akan sedikit mengurangi rasa sesak di hatiku.

Ku ceritakan apa yang terjadi padaku kemarin tanpa terkecuali.

"Ya ampun, Re, apa kamu sudah gila? apa kamu juga lupa kalau kita pernah melihatnya dengan seorang wanita?" ucap Giza tak percaya dengan apa yang terjadi padaku.

"Aku juga tidak tahu kenapa ini bisa terjadi, aku terbawa suasana," aku hanya bisa menunduk.

"Apa kamu jatuh cinta padanya?" tanya Giza spontan, membuatku menggeleng dengan cepat.

Namun tiba-tiba aku terdiam, memikirkan pertanyaan Giza. Apa benar aku mencintai Devan?

"Aku masih mencintai Adam," kilahku.

"Jangan mencoba membohongiku, memang benar kamu masih mencintai Adam, tapi dunia kalian telah berbeda, jadi mustahil untuk kalian bersatu. Lalu bagaimana dengan cinta masa lalumu?"

Aku semakin terpojok dengan ucapan Giza. Aku tak pernah tahu apa yang di inginkan oleh hatiku.

"Tanyakan pada hatimu, Re, dan ku harap kamu selalu bahagia," ucap Giza seraya pergi meninggalkanku seorang diri.

****
Saat aku hendak pulang dari kantor, aku melihat Devan telah bersandar di mobilku. Aku mencoba mengacuhkannya.

Namun saat aku berusaha mengabaikannya dia mencekal tanganku dan membawaku tepat di hadapannya.

"Aku ingin bicara sama kamu Re," ucap Devan masih memegang tanganku.

Jantungku berdetak dengan kencang. Aku berharap ia tidak mendengarnya. Hal ini membuatku semakin gugup. Aku berusaha bersikap biasa saja.

"Maaf, aku sedang terburu-buru, mungkin lain kali kita bisa bicara." Aku membuka mobilku, namun tiba-tiba Devan menutup pintu mobilku.

"Aku tahu itu hanya alasanmu untuk menghindar dariku," ucapnya sambil menatapku tajam.

"Untuk apa aku menghindar dari kamu, jika ada yang perlu kamu bicarakan, bisa kamu bicarakan besok saat jam kerja," ucapku sambil berusaha membuka mobilku.

Ku lihat ia mengatupkan rahangnya. Sepertinya ia mulai tersulut emosi.Ia menyenderkanku pada mobil dan dia mengurungku.

Ku lihat sekeliling berharap ada seseorang yang bisa aku mintai tolong. Tapi sepertinya harapanku sia-sia.

Devan menatapku dengan intens. Kurasakan hembusan napasnya menerpa wajahku.

"Aku tidak ingin membicarakan soal pekerjaan denganmu, aku hanya ingin kamu jangan menghindariku. Aku tahu aku salah soal kejadian di apartemen itu, tapi aku benar-benar tidak bermaksud kurang ajar padamu," ucapnya panjang lebar.

"Aku sudah melupakan hal itu, aku mohon jangan mengungkitnya lagi. Dan kita hanya rekan bisnis jadi wajar saja bila aku hanya mau menemuimu jika itu berkaitan dengan pekerjaan," akhirnya aku berhasil masuk ke dalam mobil.

Kulihat ia berusaha memintaku membuka pintu mobilku, aku berusaha mengacuhkannya dan mulai menyalakan mobilku.

Di dalam mobil pikiranku benar-benar kacau. Apa maksud sikapnya padaku? dan untuk apa pula ia minta maaf, toh sebelumnya dia juga pernah bersikap kurang ajar padaku?

Karena  melamun aku tak melihat mobil yang berjalan berlawanan arah dengan mobilku. Karena terkejut ku banting stir ke kanan. Kejadian itu begitu cepat hingga aku tak tahu lagi apa yang terjadi padaku.

%%&%&&&

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top