Marah

Aku menatap wajah gadis cilik yang sedang terbaring di ranjangku. Aku tak percaya saat melihatnya tadi. Ia sedang menangis di pinggir jalan. Bukan hanya itu yang membuatku terkejut, tapi luka di sekitar wajahnya.

Aku makin tak percaya saat ia mengaduh dalam dekapanku. Karena penasaran aku menaikkan kaosnya yang di pakainya untuk melihat punggungnya.

Aku terkejut bukan main saat di sana kulihat ada gurat-gurat merah seperti bekas cambukan. Tapi kenapa mereka setega itu menyakiti darah dagingnya sendiri. Akhirnya aku putuskan untuk membawanya pulang bersamaku.

Ada perdebatan kecil antara aku dan Devan saat aku memutuskan hal tersebut. Itu karena Devan tak mau aku terlibat lebih jauh dengan keluarga gadis cilik ini.

Harusnya aku tak memberitahu Devan dulu sebelum aku membawa gadis cilik ini pulang. Jadi aku dan Devan tidak perlu ribut.

Akhirnya ia mengalah dan mengijinkanku membawa gadis cilik ini pulang ke apartemen, setelah aku mengancam akan kembali ke rumah jika tak di ijinkan.

Sebenarnya aku paham maksud dari Devan melarangku membawa gadis cilik ini. Devan hanya tak ingin aku terlibat dengan Tia lagi jika aku membawa gadis cilik ini.

Tapi aku juga tak mungkin mengantar pulang saat melihat kondisinya. Ya, gadis cilik yang kutemui di pinggir jalan tadi adalah anak dari Tia dan Arka.

Meski dia lahir dari sebuah pengkhianatan, tapi gadis cilik ini tak ada kaitannya dengan masalahku dengan kedua orang tuanya. Bukan hal yang sulit bagiku untuk mengenali gadis itu karena aku memang pernah beberapa kali bertemu dengannya.

Bahkan aku sempat terlibat perbincangan kecil dengan gadis cilik itu saat ia di ajak Tia dan Arka ke acara pernikahan Giza.

Wajahnya terlihat mirip dengan Arka, hanya kulit tubuhnya saja yang berbeda. Arka berkulit sawo matang, sedang Vania berkulit putih, mungkin menurun dari Tia yang memang memiliki tubuh yang putih.

Ya, nama gadis cilik itu Vania. Aku tahu karena saat itu Tia memanggilnya dengan keras, saat ia sedang mengobrol denganku.

"Apa tidak seharusnya kamu menelepon Arka dan menyuruhnya menjemput anak ini?" tanya Devan padaku yang sedari tadi memperhatikan Vania.

"Aku sudah mengirim pesan padanya. Tapi aku minta dia untuk menjemputnya besok karena ini sudah larut malam. Lagipula Vania sudah tidur, kasihan dia," jawabku.

"Sepertinya kamu peduli sekali dengan anak ini, apa karena dia anak dari Arka mantan kekasihmu?" tuduh Devan padaku.

Aku tersulut emosi dengan tuduhannya. Kenapa dia bisa berpikiran picik sekali. Apa ia tidak kasihan melihat kondisi Vania.

"Apa maksudmu? Apa kamu tidak kasihan melihat kondisinya?" tanyaku dengan nada tinggi.

"Tentu saja aku kasihan, tapi bisa saja kan ini akal-akalan Arka untuk merebut simpatimu," jawab Devan lagi.

"Pemikiran dari mana itu Dev? Kalau kamu memang tak suka Vania di sini bilang saja, tak perlu memberi alasan yang mengada-ada," ucapku tanpa menatapnya.

Akhirnya Devan pergi dari kamarku. Aku tahu ia sedang marah. Tapi untuk saat ini aku benar-benar tak ingin berdebat dengannya.

****
Pagi sekali Arka datang ke Apartemen. Ia terlihat tak tidur semalaman. Kantung matanya terlihat jelas. Bahkan wajahnya tampak lesu.

Aku bertanya padanya tentang kronologis Vania bisa berada di jalanan dan dalam kondisi yang memprihatinkan.

Ternyata emosi Tia yang meluap karena pertengkaran dengan Arka, ia lampiaskan pada Vania.

Tia seperti kesetanan saat melihat Vania yang merajuk. Tanpa belas kasihan ia memukulinya dengan cambuk, bahkan menamparnya saat Vania menangis dengan keras.

Mungkin karena tak tahan Vania lari ke jalanan untuk menghindar dari amukan Tia. Cukup jauh juga ia berjalan dari rumah sampai ke tempatku menemukannya malam tadi.

Arka juga baru tahu jika Tia sering bertindak kasar pada anaknya jika sedang emosi. Selama ini ia pikir Vania baik-baik saja, karena memang Vania tak pernah mengeluh.

Dan ini menjadi salah satu alasan kuat untuk Arka meminta cerai pada Tia. Selain karena perilakunya tapi juga karena sudah tak bisa bersama Tia.

Arka pamit pulang saat Vania sudah mau di ajak pulang. Awalnya gadis cilik itu menolak, bahkan menangis saat tahu akan di ajak pulang. Tapi setelah Arka meyakinkannya ia baru mau di ajak pulang.

Setelah Arka pulang aku bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Setelah perdebatan malam tadi hingga pagi ini aku dan Devan saling tak bertegur sapa.

Aku masih kesal dengannya. Lebih tepatnya pemikirannya yang sempit. Meski begitu aku tetap menyiapkan sarapan untuknya. Kegiatan rutinku semenjak tinggal di apartemen Devan.

Tadinya aku berniat pulang ke rumah karena malas bertemu dengannya. Kenapa setelah makan malam yang manis bersama Stella dan Alex, berubah jadi suasana yang begitu menyebalkan.

"Senang ya bertemu dengan mantan pacar, sampai lupa waktu jika jam kantor sudah lewat," sindir Devan padaku.

Aku menghempaskan sendok dan garpuku begitu saja saat mendengar ucapan Devan. Aku semakin emosi dengan tingkahnya yang seolah tak merasa bersalah.

Aku meninggalkan meja makan dan bergegas menuju ke kantor. Mungkin dengan setumpuk pekerjaan aku bisa meredam emosiku.

Devan hanya diam dan tak mengejarku. Akupun tak peduli akan hal itu. Saat aku sedang mencari taxi, Joe menghentikan mobilnya di depanku.

"Mari Bu, silahkan masuk, biar saya yang mengantar Ibu ke kantor," ucap Joe sambil membukakan pintu untukku.

Aku tahu ini pasti perintah dari Devan. Tak mungkin Joe tiba-tiba ada di depanku dan menawarkan diri mengantarku, sedang tugas dia adalah menjagaku dari jauh.

Tanpa pikir panjang akupun masuk ke dalam mobil. Hatiku sakit jika mengingat hal ini. Kenapa kebahagiaan yang kurasakan seakan tak ingin singgah terlalu lama di hatiku.

Sesampainya di kantor aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Sesekali aku melihat ponselku berharap Devan meneleponku atau mengirim pesan maaf untukku. Tapi sampai jam kerja usai tak ada kabar tentangnya.

Dering ponselku berbunyi, hatiku berdetak cepat berharap itu telepon dari Devan ternyata aku salah. Itu adalah telepon dari David.

Sudah lama juga aku tak bertemu dengannya. Mengingat David aku jadi teringat dengan Giza.

Kenapa aku jadi kepikiran Giza ya?

Batinku berperang seolah ada hal buruk yang terjadi dengan Giza. Saat aku ingin menanyakan kabar Giza pada David, ia justru menyuruhku untuk menemuinya.

Tentu saja aku menolak. Aku belum lupa bagaimana Giza menyakitiku. Ternyata David meneleponku karena ada yang ingin ia sampaikan padaku mengenai Devan.

Kenapa tiba-tiba David ingin berbicara mengenai Devan?
Memangnya ada apa dengan Devan? Tuhan cobaan apalagi yang akan kau berikan  padaku?

Tbc...




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top