Mama
"Kenapa tiba-tiba kamu bertanya soal Arka? Bukankah dia sudah mulai menjaga jarak denganmu?" tanya Giza penasaran.
Ya, sejak aku menengok Arka di rumah sakit aku belum bertemu lagi dengannya.
"Aku hanya ingin tahu, karena sebelum Arka masuk rumah sakit aku menemuinya dan menanyakan soal Gilsa. Ia bahkan mau menjawab pertanyaanku jika mau menemani Vania untuk jalan-jalan," ucapku jujur.
"Terus apa yang ia bilang padamu?" tanya Giza lagi.
"Tidak ada, belum sempat ia mengatakannya Devan sudah datang memukulinya hingga masuk rumah sakit," ucapku lagi.
Kulihat Giza tertawa, entah apa yang membuatnya tertawa. Saat melihatnya demikian aku jadi teringat kenangan bersamanya di mana kita selalu tertawa bersama. Pedih saat mengingat kenangan itu.
"Tentu saja Arka mengenal Gilsa, dia kan sahabat Tia istrinya. Tapi kalau soal hubunganku dengan Gilsa, aku tak tahu, Re," ucapnya.
Aku hanya mengangguk singkat. Giza pamit padaku untuk pulang karena Fian sudah menunggunya di rumah. Akupun juga bergegas balik ke apartemen Devan.
Rasanya aku masih tak percaya dengan masa lalu Giza. Tapi tak mungkin juga aku mengingkari kenyataan.
Saat sampai di apartemen aku melihat Devan sedang mengobrol dengan seorang ibu-ibu.
Jantungku berdetak tak karuan saat melihat tatapan ibu itu. Devan menghampiriku dan mengajakku duduk di sebelahnya.
"Re, kenalin ini mamaku," ucap Devan.
Deg...
Aku sulit bernapas saat Devan mengatakan ibu itu adalah mamanya. Devan tak pernah mengatakan padaku jika mamanya akan berkunjung ke apartemen.
Aku menjabat tangan mama Devan dan mencium punggung tangannya. Aku kembali duduk dan menatap Devan dengan tatapan bertanya. Tapi, ia hanya mengedikkan bahu.
"Kapan kalian akan menikah?" tanya mama Devan spontan pada kami.
Aku terdiam. Aku baru pertama kali bertemu dengan mamanya Devan tapi ia tak menanyakan tentang diriku.
"Mama sudah tidak sabar ingin menimang cucu dari kalian, Papa dan Mama sudah tua, jadi cepatlah kalian menikah. Apa lagi yang kalian tunggu?" tanya Mama Devan.
"Devan sudah siap dari dulu, Ma. Tapi aku menunggu kesiapan dari Rea. Tapi mama nggak usah khawatir, begitu ia siap kami akan segera menikah," ucap Devan pada mamanya.
"Mama tahu masa lalumu begitu berat, Nak. Tapi jangan kamu jadikan hal itu penghambat kebahagiaanmu. Papa sama Mama sudah tahu semua tentang kamu dari Devan. Tak menyangka dua anak Mama mencintai wanita yang sama," ucap Mama Devan menenangkanku.
Aku tak percaya jika Mama Devan akan menerimaku dengan mudah, ketakutanku selama ini tak terbukti. Selama ini aku takut jika orang tua Devan akan menolakku.
Bagaimana tidak, aku hanya wanita biasa, sedangkan Devan dari keluarga yang terpandang. Selain itu, sudah pasti keluarga mereka juga dikelilingi orang kaya juga.
Aku sangat bahagia bisa berbincang-bincang dengan Mama. Ya, mulai saat ini aku diharuskan memanggilnya dengan sebutan Mama, sama seperti Devan. Ia bilang agar aku terbiasa karena sebentar lagi akan menjadi bagian keluarganya.
Aku juga tak menyangka jika Devan menceritakan semua tentang diriku pada mamanya tanpa ada yang ditutupi sedikitpun.
Termasuk tentang pernikahanku yang batal, karena Adam meninggal, hingga kehidupanku yang penuh dengan air mata. Aku begitu tersanjung dengan semua ini.
Aku tak tahu apa papa Devan juga akan bersikap sama dengan mamanya. Aku tak ingin memikirkan hal itu untuk saat ini. Aku hanya ingin menikmati kebahagiaan yang jarang aku dapatkan.
Setelah mama pulang aku memeluk Devan dengan begitu erat. Aku hanya ingin memeluknya karena kebahagiaan yang baru saja ia berikan padaku.
Aku seperti mendapatkan kasih sayang seorang ibu lagi setelah kepergian orang tuaku.
"Kenapa, sayang?" tanya Devan padaku.
"Aku mencintaimu," ucapku sambil menangkup kedua pipi Devan.
Selama aku menjadi kekasih Devan, baru kali ini aku mengatakan cinta padanya. Kulihat senyum tersungging di bibirnya. Ia mencium bibirku lembut.
****
Aku sedang berjalan-jalan dengan Stella di sebuah mal. Kali ini aku yang meminta dia untuk menemaniku. Aku hanya ingin menikmati waktu luangku dengan bersenang-senang.
Devan terlalu sibuk hingga tak bisa menemaniku. Kulihat Stella mengerucutkan bibirnya kesal saat aku tak menuruti permintaannya. Yang benar saja kalau aku mau menurutinya.
Ia memintaku membeli gaun yang terbuka di mana-mana. Tanpa lengan, belahan dada yang rendah juga belahan di samping gaun yang sampai ke paha.
Bagi Stella mungkin itu biasa karena dia seorang model tapi bagiku tidak. Setelah puas berjalan-jalan aku dan Stella singgah di restoran yang ada di mal.
Mataku tak sengaja melihat David dan Dira yang tengah menikmati makanannya. Aku hanya mampu tersenyum dalam hati. Aku cukup bahagia dengan kedekatan mereka.
"Re, dua minggu lagi sidang kasus Amara," ucap Stella setelah memesan makanan pada pelayan.
"Baguslah, oh iya Stell, kamu belum menjawab pertanyaanku soal Amara kan?" tanyaku mencoba mengingatkannya.
"Pertanyaan yang mana Re, bukankah sudah jelas semua. Dan kini Amara sudah ditangkap polisi," jawab Stella bingung.
"Bukan itu, tapi soal foto Amara yang ada di rumahmu," ucapku.
Kulihat Stella menarik napas sebelum menghembuskannya dengan pelan. Ia masih terdiam dengan pertanyaanku.
"Kita dulu bersahabat Re, aku, Devan, dan Alex. Tapi aku tak menyangka jika ia bisa bertindak seperti itu. Alexpun begitu kesal dengannya. Maklumlah Alex yang mengenalkan ia pada kami.
Soal foto itu, aku memang tak pernah berniat menyimpannya. Aku membiarkannya tetap terpajang di sana, walau bagaimanapun kami pernah punya kenangan yang indah," tuturnya.
Aku mengangguk mengerti. Kami menikmati makanan yang sudah tersaji di meja. Memang sakit saat melihat sahabat sendiri menyakiti kita.
Saat keluar dari restoran aku berpapasan dengan David dan Dira. Kulihat Dira terlihat malu-malu saat bertemu denganku.
Aku berdehem di depan mereka sambil melirik tangan mereka yang bertaut. Kulihat David menggaruk kepalanya yang kurasa tidak gatal.
"Hai, Re, apa kabar?" tanya David kikuk.
"Biasa saja kali, Vid. Jagain dia, awas kalau kamu menyakitinya. Dir, kalau dia menyakitimu lapor sama saya," ucapku menggoda mereka.
Dira semakin merona mendengar godaanku. Melihat mereka aku begitu bahagia. David sahabat yang selalu ada untukku, sedang Dira adalah karyawan kepercayaanku yang selalu membantuku memecahkan masalah dalam pekerjaanku. Ia sudah kuanggap seperti adikku sendiri.
Aku dan Stella berlalu dari mereka. Aku berbincang ringan dengan Stella sambil berjalan menuju parkiran. Entah mengapa aku merasakan hatiku begitu bahagia.
Saat aku hendak masuk ke dalam mobil, aku melihat dua orang laki-laki sedang berbuat kasar pada seorang wanita. Aku melihat kesekeliling, ternyata parkiran ini begitu sepi. Pantas saja tak ada yang menolongnya.
Aku mendekat ke arah mereka. Bukan sok pahlawan atau apa. Tapi aku tak tega melihat wanita diperlakukan dengan kasar.
"Hentikan!" teriakku untuk menghentikan aksi mereka.
Kedua laki-laki itu menoleh padaku. Mereka pergi begitu saja saat melihatku. Aku mendekati wanita itu yang meluruh di lantai. Mataku membelalak saat bertatapan dengannya.
"Kamu," ucapku pelan.
Tbc...
Cerita Vania udah ada, siapa tahu ada yang ingin baca(ngarep).Tapi baru prolog dan akan slow up date.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top