Maaf
Aku terkulai lemah tak berdaya mendapati sahabatku tergolek dengan luka di tangannya. Aku masih tak habis pikir dengan jalan pikirannya. Kenapa ia begitu bodoh melukai dirinya sendiri.
Meski kehebohan tengah terjadi di apartemen karena peristiwa ini, aku tetap hanya mampu terdiam tanpa mampu melakukan apapun. Aku hanya mampu melihat petugas medis yang memberikan pertolongan pertama pada Giza sebelum dibawa ke rumah sakit.
Ya, sesaat setelah aku melihat Giza terluka Devan langsung menghubungi pihak rumah sakit untuk mengirim ambulans ke apartemennya.
Saat ini aku dan Devan sedang menuju rumah sakit mengikuti ambulans yang membawa Giza. Devan juga sudah mengabari Fian untuk langsung ke rumah sakit.
Aku masih tak tahu apa yang telah terjadi dengan Giza. Aku belum sempat untuk bertanya pada Devan karena aku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun saat melihat kondisi Giza. Hanya air mata yang bisa aku keluarkan untuk menggambarkan kesedihanku.
Giza dibawa ke UGD untuk segera ditangani. Mulutku komat-kamit membaca untaian doa. Aku tak mau hal buruk terjadi pada Giza.
Meski Giza telah menyakitiku, tapi aku tak bisa untuk membencinya. Aku takut kehilangan lagi.
Tuhan selamatkan dia, kumohon.
Hal-hal buruk berkelebat dalam benakku. Tapi aku mencoba menepisnya. Aku tak mau hal itu makin membuatku takut.
Devan merengkuhku dalam pelukannya mencoba menenangkanku.
"Semua akan baik-baik saja, kamu tak perlu khawatir," ucap Devan sambil mengelus kepalaku.
Aku masih terisak dalam pelukannya, tak mampu lagi untuk berkata-kata.
Kulihat Fian berjalan dengan tergesa-gesa ke arah kami. Terlihat jelas kekhawatiran dalam raut wajahnya.
"Bagaimana keadaan Giza, Re?" tanya Fian padaku.
"Tenanglah Fi, dia sedang ditangani oleh dokter," kata Devan menjawab pertanyaan Fian.
"Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa ia bisa dibawa kerumah sakit?" tanya Fian lagi yang mulai penasaran.
Ya, saat Devan menelepon Fian, ia memang tak menjelaskan apa-apa padanya. Ia hanya meminta Fian ke rumah sakit karena Giza terluka. Devan menatapku dalam, seolah meminta ijin padaku.
Aku hanya mengangguk samar. Akupun juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Tadi Giza datang ke apartemenku untuk mencari Rea, ia terlihat sangat kalut. Saat aku ingin memanggil Rea aku mendengar Giza meracau tak jelas dan selalu menggumamkan kata maaf berkali- kali.
Saat aku ingin menenangkannya, tiba-tiba ia mengambil cutter yang ada di meja kerjaku dan langsung menggores lengannya.
Aku tak mampu mencegahnya karena kejadiannya begitu cepat. Saat kulihat Giza rebah ke lantai, aku langsung memanggil Rea. Aku juga tak tahu apa yang tengah dipikirkannya. Ia seperti depresi," terang Devan yang membuatku makin bersalah.
Aku menutup mulut dengan tanganku untuk meredam tangisku yang mulai menjadi. Sekuat tenaga aku menahannya. Aku tak ingin mengganggu ketenangan pasien lain karena tangisku.
"Akhir-akhir ini Giza memang terlihat murung, ia selalu merasa bersalah padamu Re, bahkan terkadang ia menangis sambil menatap fotomu. Bahkan ia selalu memakai bajumu yang memang kamu tinggal di rumah, ia bilang agar tak merindukanmu," ucap Fian yang lagi-lagi membuatku sesak.
"Kalau ia memang merasa bersalah, kenapa ia tak menemuiku dan minta maaf padaku," tanyaku bingung.
"Ia merasa malu dan tak pantas untuk bertatap muka padamu," sambung Devan.
Aku menatap Devan.
"Darimana kamu tahu?"
Devanpun menjelaskan padaku jika kemarin ia sempat bertemu dengan Giza. Ia juga sempat berbincang sejenak. Giza juga menyampaikan kata maaf untukku.
Tapi Devan menolak menyampaikan padaku, dan menyuruh Giza untuk mengatakannya sendiri sekalian menyelesaikan masalah denganku.
Tapi Giza menolak karena malu dan merasa tak pantas bertemu denganku lagi. Itu mengapa Devan mencoba membujukku untuk menemui Giza, tapi aku mengabaikannya.
Aku semakin merasa bersalah. Air mataku dengan deras membasahi pipiku. Aku tak tahu lagi harus berkata apa.
Aku lihat Fian mengusap wajahnya frustasi. Entah mengapa kali ini ia tak menyalahkanku seperti saat aku berbuat kasar pada Giza di rumah sakit dulu.
Aku melihat dokter keluar dari ruang UGD. Kamipun langsung menghampiri dokter untuk mencari tahu kondisi Giza.
Kamipun bernapas lega, kata dokter luka yang dialami Giza belum sampai melukai nadinya. Dan untungnya langsung dibawa ke rumah sakit hingga langsung segera ditangani.
Dokter juga berkata, jika Giza sudah sadar bisa langsung dipindah ke ruang perawatan.
****
Saat ini aku sedang menemani Giza. Ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Terhitung sudah tiga hari ia berada di rumah sakit.
Sebenarnya aku di sini bukan untuk menemani Giza, tapi ia memintaku untuk menemuinya. Katanya ia ingin berbicara padaku mengenai hal penting.
Jantungku berdebar tak karuan menunggu Giza berbicara.
"Maafkan aku, Re, aku tak pantas lagi menjadi sahabatmu, aku telah melukaimu terlalu dalam," ucap Giza memulai pembicaraan.
Aku hanya diam mendengarkan. Giza memang memintaku untuk mendengarkan semuanya terlebih dulu sebelum aku menyelanya.
"Waktu itu aku tak punya pilihan lain selain membantu Tia, aku takut ia mencelakaimu. Aku benar-benar tak bermaksud melukaimu, maafkan aku."
Giza makin terisak, saat aku mencoba mendekatinya ia menghindar dariku.
"Jangan dekati aku Re, aku benar-benar menjijikan, aku tak pantas berada di dekat orang sebaik dirimu."
Ucapan Giza membuatku bingung. Jika hanya masalah dia yang membantu Tia untuk menjauhi Arka harusnya ia tak bereaksi seperti ini.
"Ada apa Giz? Apa ada hal lain yang kamu sembunyikan dariku? tanyaku.
"Apa Devan belum menceritakan padamu tentang kebusukanku?" tanya Giza padaku yang makin membuatku bingung.
"Apa maksudmu? Bicaralah dengan jelas Giz, jika kamu ingin aku memaafkanmu maka jujurlah padaku," ucapku dengan nada tinggi.
Bukan jawaban yang aku dapatkan, tapi hanya isak tangis.
Aku menarik napas untuk meredakan gejolak di hatiku.
"Maafkan aku Re," gumam Giza.
"Kamu mau menjelaskan padaku atau aku sendiri yang bertanya pada Devan?" tanyaku pada Giza.
Sejujurnya aku masih tak mengerti bagaimana Devan bisa tahu sesuatu yang dirahasiakan oleh Giza.
"Ini semua sudah lama aku sembunyikan darimu, sebenarnya dari dulu aku ingin jujur padamu tapi aku takut," ucap Giza lagi.
"Terus kamu anggap apa persahabatan kita ini Giz? Mungkin kejujuranmu akan melukaiku, tapi setidaknya itu lebih baik daripada aku mendengar dari orang lain," kataku penuh emosi.
"Apa kamu akan tetap memaafkanku setelah kamu mendengar pengakuanku?" tanya Giza yang membuatku terdiam.
Aku tak tahu apakah aku bisa menerima pengakuannya atau tidak. Yang pasti saat ini aku ingin tahu apa yang disembunyikannya.
"Katakan Giz!" perintahku.
Giza masih terisak. Sepertinya ia mencoba mengatur hatinya untuk jujur padaku. Aku masih menunggu Giza mengatakan sesuatu padaku.
"Sebenarnya...," Giza menggantung ucapannya.
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top