Kesedihan

Aku hendak mengayunkan gunting itu ke arah perutku. Tapi sepertinya Tuhan masih menginginkanku untuk hidup. Kesadaranku mulai datang dan gunting yang kupegang jatuh ke lantai.

Aku meluruh sambil terus menangis. Harusnya aku tak sesedih ini. Bahkan aku tahu Devan juga menyayangiku sama sepertiku. Tapi aku merasa bersalah karena cinta ini untuk Devon bukan Devan. Ini kesalahan.

Dan selama aku mengenal Devan, tak sekalipun ia menginginkanku untuk berada di sampingnya. Bahkan aku tahu meski ia tak mengatakannya padaku, ia telah bertunangan, terlihat jelas cincin melingkar di jari manisnya.

Semua orang juga tahu kalau sebentar lagi ia akan melepas masa lajangnya, seperti yang telah diberitakan di media massa. Mungkin dengan wanita yang bertemu denganku di apartemen Devan.

Saat ia melihatku berada di apartemen Devan, ada tatapan kebencian di matanya meski dibalut senyum samar. Devan memang tak mengatakan apa-apa soal wanita itu, tapi aku pernah melihat kemesraan mereka saat mengantar Giza mencari sovenir.

Akulah perempuan bodoh yang begitu mudah terlena dengan sikapnya meski aku merasa hal itu adalah salah. Ponselku berdering di atas meja riasku aku mengacuhkannya. Biarkan malam ini aku berkubang duka.

Aku tak ingin jatuh terlalu dalam. Aku harus bisa menghilangkan perasaanku pada Devan. Bukan aku mempersulit keadaan tapi aku hanya tak ingin kembali terluka.

Dua kali kehilangan seseorang yang berarti membuat hatiku merasa beku. Tiga jam sudah aku berdiam diri di kamar meratapi kisah asmaraku yang begitu menyedihkan.

Aku mendengar suara pintu yang diketuk dengan keras.

Braak...

Kudengar suara pintu yang di dobrak. Aku juga mendengar suara seseorang yang memanggil namaku. Aku masih bergeming di tempatku.

Sekali lagi aku mendengar suara pintu yang dibuka dengan paksa. Kali ini yang menjadi korbannya adalah pintu kamarku.

"Ya ampun, Re, apa yang terjadi?" tanya Giza mendekat padaku.

Ya, saat ini yang ada dihadapanku adalah Giza sahabatku yang ditemani Fian sang suami.

Giza mendekapku dalam pelukannya. Aku semakin terisak. Lagi-lagi aku tak bisa membendung air mataku meski aku sudah berjam-jam menangis.

Batinku seakan ikut menangis dengan semua ini. Tiba-tiba kegelapan menyelimutiku.

****
Pening, itu yang aku rasakan saat pertama kali aku membuka mata. Kuedarkan pandanganku kesekeliling ruangan. Aku mencoba bangun dari tidurku. Aku merasakan mataku bengkak karena terlalu banyak menangis.

"Sudah bangun, Re?" tanya Giza padaku sambil menaruh nampan berisi makanan di atas meja.

"Kamu tidak ke kantor, Giz?" tanyaku balik sambil menyenderkan punggungku di kepala ranjang.

"Makanlah, nanti setelah ini kita akan bicara, setelah itu memeriksakan kembali kakimu," ucap Giza.

Giza dengan telaten mengurusku. Aku menatapnya dalam diam. Teringat akan ucapan Devan tempo hari saat ia menjawab telepon Giza. Ia menuduh Giza telah menyakitiku.

Apa yang telah Giza  lakukan padaku hingga bisa menyakitiku?  Rasanya tak mungkin wanita yang selalu ada untukku begitu tega melakukannya.

"Ada apa, Re?  Dari tadi kok kamu melihatku gitu banget, 'horor' tahu gak sih?" kata Giza membuyarkan lamunanku.

"Dia telah pergi, Giz. Apa aku ditakdirkan untuk tidak bahagia? Apa aku memang harus hidup dengan terus menderita?" racauku tak jelas.

Tangisku kembali pecah. Tiba-tiba nampan yang berisi makanan aku buang ke lantai. Aku berteriak histeris. Aku memukul dadaku yang sesak.

"Re, tenanglah, apa yang terjadi padamu?  Jangan seperti ini, kamu membuatku takut," ucap Giza sambil berurai air mata.

Aku menutup wajah dengan kedua tanganku. Tubuhku bergetar karena menangis. Kenangan buruk menghantuiku. Giza mendekapku dalam pelukannya menyalurkan ketenangan bagiku.

Entah kenapa pikiranku mulai kacau. Aku ketakutan jika semua yang menimpaku ini adalah kutukan. Setiap laki-laki yang mencintaiku akan pergi meninggalkanku.

Saat aku mulai tenang, Giza mengendurkan pelukannya. Ia menghapus air mataku, meski ia juga sedang menangis.

Aku tahu Giza bersedih melihatku yang begitu kacau. Mulai dari mataku yang sembab, rambutku yang acak-acakan dan wajahku yang pucat.

"Kamu bisa cerita semuanya, Re, kalau kamu ingin bercerita. Tapi aku mohon jangan seperti ini," ucap Giza sambil menanggkup wajahku dengan prihatin.

"Aku ini wanita sial, aku ini pembawa kutukan, aku memang tak pantas dicintai," gumamku tak jelas.

"Re, apa yang kamu katakan itu tidak benar, semua itu omong kosong, kamu pantas untuk dicintai, jadi aku mohon jangan seperti ini," kata Giza sambil terisak.

"Ini bukan omong kosong, semua ada buktinya, Arka, Adam dan Dev, semua pergi meninggalkanku saat aku merasa jadi orang yang berarti memiliki mereka. Pergilah Giz! Aku tidak mau kamu tertimpa sial karena aku. PERGI!" teriakku frustasi.

Kulihat Giza mengguncangkan tubuhku berusaha menyadarkanku dari kekalutanku. Namun itu sia-sia, aku justru makin histeris tak jelas. Akhirnya satu tamparan mendarat di pipiku.

Seketika aku tersadar dari pikiran bodohku. Aku tergugu di tempatku.

"Maafkan aku, Re, aku tak bermaksud menamparmu, aku hanya ingin menyadarkanmu dari pikiran bodohmu," kata Giza padaku yang hanya terus diam.

"Apa kamu juga tahu kalau Dev sudah meninggal?" tanyaku pada Giza pelan seperti bisikan.

Aku melihat Giza terpaku di tempatnya. Ia hanya diam saja.

"Kenapa kamu menyembunyikan semua dariku? Apa kamu senang melihatku seperti orang bodoh mencari-cari keadaan orang yang sudah mati, hah?" tanyaku dengan suara yang cukup tinggi.

"Aku tidak akan mengatakan sesuatu tentang itu jika pikiranmu masih kacau seperti ini," jawab Giza datar.

"Kenapa? Atau memang yang dikatakan Devan itu benar kalau kamu diam-diam telah menyakitiku," tuduhku pada Giza.

"Cukup, Re, kamu tidak tahu apa-apa jadi jangan mengatakan hal yang belum kamu tahu kebenarannya," kata Giza mulai emosi.

"Kalau begitu beri tahu aku tentang kebenaran itu, aku ingin tahu Giz, Apa yang kamu sembunyikan dariku?" tanyaku pada Rea.

Deru mobil menginterupsi perdebatanku dengan Giza. Giza meninggalkanku seorang diri di kamar untuk melihat seseorang yang datang. Sayup-sayup aku mendengar pertengkaran. Karena penasaran aku beranjak dari tempat tidur.

Di ambang pintu kamarku aku melihat Giza dan Devan tengah bertengkar di depan pintu rumahku. Aku tak tahu apa yang membuat mereka bertengkar.

"Kamu puas membuat Rea terluka Van? Apa maumu sebenarnya, tidak cukup semua kesakitan yang kamu berikan padanya?" tanya Giza pada Devan yang masih bisa ku dengar.

"Apa kamu tidak melihat dirimu sendiri kalau kamu juga telah menyakitinya? Apa perlu aku memberitahunya tentang kebusukanmu? Jangan pikir dengan berlindung di balik persahabatan kalian, Rea bisa memaafkanmu dengan mudah?" ucap Devan tak kalah keras.

Apa yang disembunyikan oleh mereka? Kenapa mereka bisa saling menyalahkan?  Apa sebelumnya mereka telah mengenal?

Kepalaku semakin berdenyut mendengar pertengkaran mereka, bahkan mereka tak menyadari aku mendengar semuanya.

Praaang...

Suara terakhir yang kudengar sebelum semua menjadi kegelapan yang menenangkan bagiku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top