Kebersamaan
Devan menggendongku keluar dari supermarket. Aku tahu ia sangat kerepotan, selain harus menggendongku ia juga harus membawa kruk yang kupakai tadi.
Entah kenapa setiap aku berada di dekatnya aku merasa sangat nyaman. Bahkan akupun tak pernah bisa menolak pesonanya.
Ia membawaku ke dalam mobilnya, dan mendudukkanku di kursi penumpang yang ada di depan.
Ia menyusulku dengan duduk di sampingku. Tiba-tiba ia menangkup kedua pipiku dengan kedua tangan menghadap ke arahnya.
"Kamu baik-baik saja kan? Maafkan aku telah membuatmu seperti ini. Aku benar-benar merindukanmu," ucap Devan padaku.
"Please, jangan mempermainkanku lagi, aku memang bersalah telah lancang menamparmu dan mungkin menyakitimu," kataku memohon padanya.
"Sssst... kamu tidak salah," ucapnya sambil menempelkan telunjuknya di bibirku.
Aku memandang Devan dengan penuh kerinduan. Ingin sekali aku memeluknya tapi aku tak bisa.
"Apa alasan dibalik semua ini?" tanyaku untuk memecah keheningan.
"Maksudmu?"
"Apa yang kamu inginkan dariku? Kehancuranku atau penderitaanku?"
Aku melihat Devan mengatupkan rahangnya dan mengepalkan tangannya hingga buku jarinya memutih. Ia menghembuskan napas kasar.
"Kalau aku mau, aku akan dengan mudah menghancurkanmu. Dan kalaupun aku ingin kamu menderita aku cukup menghancurkan bisnismu.
Awalnya aku begitu marah saat kamu menamparku, bahkan aku berniat membuatmu bertekuk lutut di hadapanku. Tapi semuanya justru terbalik, aku yang sekarang justru takluk padamu," jelasnya padaku.
Aku hanya diam dengan penjelasan yang aku dapatkan barusan. Aku sedikit terkejut dengan pengakuannya. Aku tak ingin begitu saja terlena dengan mulut manisnya.
"Terus apa maumu, ingin memaksaku agar mau denganmu?" tanyaku datar.
"Memaksa? Jangan munafik, aku tahu kamu juga menginginkanku, memiliki perasaan yang sama sepertiku," ucapnya.
Aku diam. Keheningan hadir diantara kami. Kudengar suara ponsel berbunyi. Ternyata itu ponsel Devan. Kulihat ia bebicara dengan seseorang diseberang telepon.
"Tadi kamu sama siapa kesini?" tanyanya setelah selesai berbicara ditelpon.
"Aku mau pulang, tolong buka pintunya," pintaku pada Devan
"Maafkan aku," kata Devan sambil menyalakan mobilnya.
Amarahku memuncak melihat sikapnya. Aku mengepalkan tanganku. Rasanya aku ingin mencakar dan memukul lelaki di sampingku ini. Tapi aku mencoba menahannya.
Sudah cukup aku diperlakukan semena-mena olehnya. Aku harus menunjukan sikapku.
"Aku tahu kamu marah, tapi tolong untuk kali ini turuti mauku. Aku janji setelah ini aku tak kan mengganggumu lagi, jika kamu merasa terganggu denganku. Aku janji," kata Devan padaku yang membuatku terkejut.
Aku hanya diam saja mendengarkan ucapannya. Selama ini ia kemana saja saat aku berada di rumah sakit. Dan sekarang datang mengatakan kerinduan, setelah itu mengatakan ia takluk padaku dan detik berikutnya ia tak kan menggangguku.
Lagi-lagi keheningan terjadi diantara kami. Mobil sampai di apatemen Devan. Ya, aku masih mengingat dengan jelas kebersamaanku dengannya waktu itu.
Devan menggendongku membawaku masuk ke dalam apartemen. Aku berkali-kali berontak tapi tetap saja itu tak berguna.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah di dalam gendongannya. Ia mendudukkanku di sofa. Ia mengambil duduk di sebelahku.
Ia menggenggam tanganku erat dan memandangku dengan intens. Tatapannya mampu menghanyutkanku. Ia mengelus pipiku dengan lembut. Seolah ia ingin menyalurkan kerinduan yang selama ini terpendam.
"Kenapa kamu membawaku ke sini?" tanyaku canggung.
Ia masih menatap dan mengelus pipiku. Aku bergerak gelisah dengan sikapnya.
"Dev," panggilku padanya yang hanya terus menatapku.
"Hmm...," jawabnya.
"Kalau kamu membawaku ke sini hanya untuk terus menatapku lebih baik aku pulang," kataku dengan nada sedikit tinggi.
"Bagaimana kakimu? Apa perlu aku antar ke dokter untuk memeriksanya kembali?" tanya Devan yang sukses membuatku melotot. Pertanyaanku dijawab dengan pertanyaan lain olehnya.
Aku bingung dengan sikapnya hari ini. Ponselku berdering beberapa kali. Aku melihat ke layar di sana terlihat nama Giza muncul di ponselku. Aku tentu paham kenapa ia menghubungiku.
Giza pasti mendapat kabar dari pak Jono, bahwa saat ini aku tak bersamanya. Saat aku ingin mengangkatnya Devan merampasnya dari tanganku.
"Apa yang kamu lakukan, Dev?" tanyaku kesal.
Dia tidak menjawabku, tapi dia menjawab panggilan telepon dari Giza. Aku diam mendengarkan pembicaraannya. Aku terperanjat saat mendengar tuduhan Devan pada Giza yang mengatakan bahwa temanku itu telah menyakitiku.
Aku menunggu sampai Devan usai berbicara dengan Giza di seberang telepon. Aku melihat ke arah Devan, wajahnya memerah menahan amarah. Ia mematikan telepon secara sepihak.
Aku menunggu hingga ia siap berkata padaku. Ia mengelus puncak kepalaku dengan lembut. Perasaan hatinya mulai melunak, terbukti ia menyunggingkan senyum ke arahku.
"Aku akan menjelaskan semuanya, tapi biarkan untuk saat ini ijinkanku menghabiskan waktu bersamamu, menatapmu, menggenggam tanganmu. Aku begitu merindukanmu.Beberapa hari ini tidurku tak pernah nyenyak karena aku selalu memikirkanmu," kata Devan sambil menggenggam tanganku.
Aku diam tak menanggapi perkataannya. Sejuta pertanyaan muncul di benakku. Sebenarnya apa yang terjadi antara Devan dan Giza. Tapi aku mencoba untuk tak terlalu memikirkannya.
Devan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Seketika ketenangan merambat ke dalam hatiku. Entahlah, harusnya aku tak mudah terlena karena statusku dengannya yang tidak jelas.
Hanya keheningan yang menemani kebersamaan kami. Nyaman. Tenang. Damai. Ini yang aku rasakan di dalam dekapannya. Tiba-tiba mataku begitu berat. Tanpa ku sadari aku terlelap dalam dekapan Devan.
****
Aku terbangun saat mendengar suara berisik yang mengganggu tidurku. Aku melihat kesekeliling, dan aku tersadar kalau aku masih berada di apartemen Devan.
Aku tertidur di sofa yang ku duduki tadi. Aku melihat Devan tengah berkutat di dapur. Aku mengambil kruk yang ada di dekat meja, dan berjalan mendekat ke arah Devan.
"Kamu sedang apa?" tanyaku sambil bersandar di meja dapur.
"Kamu sudah bangun?" tanyanya padaku sambil mematikan kompor.
Ia mendekat ke arahku dan menuntunku ke meja makan. Ia menyuruhku untuk duduk dan menunggunya menyiapkan makanan yang telah ia masak tadi.
Aku menatapnya sambil tersenyum dalam hati. Aku berharap kebahagiaan ini tak berlalu dengan cepat. Meski aku tahu masih banyak rahasia yang belum aku ketahui.
Aku mendengar suara pintu diketuk dari luar. Aku berjalan ke arah pintu untuk membukanya karena sepertinya Devan tak mendengarnya.
Saat aku membuka pintu, aku begitu terkejut saat bertatapan dengan orang yang ada di depanku. Wajah putih, rambut lurus panjang, badan tinggi dan ramping, itu perawakannya.
Aku teringat bahwa aku pernah bertemu dengannya saat aku menemani Giza mencari sovenir pernikahan. Wanita inilah yang dulu dipeluk dengan mesra oleh Devan.
Tuhan... secepat inikah kebahagiaanku Kau renggut.
Aku masih terpaku di tempat. Pikiranku kosong seketika.
"Ada siapa, Re?" tanya Devan di belakangku.
Wanita itu menerobos masuk ke apartemen dan berhambur ke pelukan Devan. Tiba-tiba hatiku seperti tertusuk ribuan jarum tak kasat mata.
Apa ini tujuanmu Devan?
TBC..
Duh... susah juga ya cari ide wkwk...
Ada hubungan apa ya Devan sama wanita itu?
Ada rahasia apa antara Giza dan Devan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top