Kebahagiaan
Meskipun masih penasaran mengenai Tia, tapi aku tetap melanjutkan langkahku untuk menemui Devan di restoran yang ada di hotel ini.
Di sana aku hanya melihat Devan yang tengah asyik bermain dengan ponselnya. Aku tidak melihat papa dan mama Devan. Aku langsung menghampirinya.
"Hai," sapaku pada Devan.
"Kok tidak bilang kalau sudah sampai, aku kan bisa menjemputmu di depan tadi," ucap Devan sambil menatapku.
"Papa dan mama mana? Belum datang ya?" tanyaku sambil mencari-cari orang yang kutanyakan.
"Sebentar lagi sampai. Kenapa? Tidak sabar ya, ketemu calon mertua," goda Devan padaku.
Aku hanya tersenyum kecil menanggapi gurauannya. Perasaanku campur aduk, antara senang, gugup, dan juga takut. Aku berharap pertemuanku dengan orang tua Devan berjalan dengan lancar.
"Oh iya sayang, tadi aku tidak sengaja menabrak Tia. Tapi aku heran, kok dia pakai baju cleaning service? Apa yang ia lakukan di sini?" tanyaku pada Devan sambil menunggu orang tuanya.
"Ya kerjalah sayang, ngapain lagi," jawabnya acuh.
"Kerja? Tia kerja di sini? Tapi untuk apa? Dia kan anak orang kaya?" tanyaku pada Devan secara beruntun.
Aku sangat penasaran sekali kenapa Tia mau bekerja seperti itu. Dia adalah anak orang kaya, meski seandainya benar, usaha Arka bermasalah, aku tetap yakin ia masih bisa hidup mewah.
Aku melihat Devan tertawa terbahak-bahak saat aku mengajukan semua pertanyaan itu. Aku memukul lengannya pelan. Merasa sebal padanya.
Akhirnya ia berhenti tertawa saat aku mengerucutkan bibirku kesal.
"Rasanya aku ingin mencium dan melumat bibirmu yang seperti itu, sayang," goda Devan yang makin membuatku sebal.
"Iya nanti aku jelasin semua, tapi ini waktumu bertemu calon mertua. Jadi tersenyumlah semanis mungkin," ucapnya yang membuatku sadar jika orang tuanya tengah menuju ke tempat kami.
Aku dan Devan menyongsong kedatangan orang tuanya. Aku berjabat tangan dengan orang tua Devan sambil mencium punggung tangan mereka satu persatu.
Meski gugup, aku mencoba menampilkan senyum termanisku. Ada rasa bahagia di hatiku saat mereka membalas senyumku.
Kamipun akhirnya makan siang sambil mengobrol ringan. Lagi-lagi orang tua Devan mendesak kami untuk segera meresmikan hubungan kami.
Aku tak menyangka jika papa Devan begitu ramah, dan humoris. Aku pikir ia adalah orang yang dingin, ternyata aku salah.
Papa Devan sudah mendengar kabar Amara yang di tangkap polisi. Ia tak menyangka mantan calon menantunya adalah wanita seperti itu. Awalnya ia kaget dan tak percaya dengan berita yang beredar, karena selama ini Devan tak pernah menceritakan masalah ini padanya.
Tapi di sisi lain ia bersyukur, bahwa anaknya tidak jadi menikahi Amara. Meski mereka dari keluarga kaya, ternyata mereka tak berpikiran sempit. Buktinya mereka mau menerimaku yang tak selevel.
Biasanya orang kaya tak kan sudi membiarkan anak mereka bergaul dengan orang yang tak sederajad, apalagi sampai menikah.
Tapi mereka berbeda. Bagi mereka, kekayaan yang mereka miliki hanyalah sebuah cobaan, jadi tidak ada yang perlu disombongkan.
Tentu saja, bahkan banyak orang kaya yang sampai berlomba-lomba memamerkan kekayaan mereka. Padahal, saat mereka mati tidak ada yang mereka bawa kecuali amalannya.
Memikirkan hal itu, aku jadi berpikir, bisa saja apa yang terjadi pada Tia adalah teguran baginya. Tidak mungkin dengan tiba-tiba ia jatuh miskin tanpa campur tangan Tuhan.
Tapi tunggu dulu, apa jangan-jangan ini adalah salah satu rencana Arka? Tapi, apa mungkin dia setega itu pada istrinya?
Pikiranku berkelana, hingga tanpa sadar dari tadi Devan memanggilku. Pipiku memerah karena malu, disaat aku sedang bersama orang tua Devan bisa-bisanya aku melamunkan Tia.
"Maaf," ucapku pelan.
"Santai saja, Nak. Jadi kapan kalian mau menikah? Dan kapan mau menempati rumah itu?" tanya papa Devan pada kami.
Aku tidak tahu dengan rumah yang di maksud oleh papanya Devan. Selama ini Devan tak pernah menceritakan padaku.
"Kalau kami sudah menikah, sudah pasti kami langsung menempatinya, Pa," jawab Devan.
Perbincanganpun di lanjutkan dengan topik lain. Sesekali ada tawa yang keluar dari kami karena ulah papanya Devan.
Tak terasa makan siang penuh kehangatan harus berakhir karena papa Devan masih banyak urusan. Lagi pula perbincangan ini bisa dilanjutkan lain waktu.
Aku bersander di dada bidang Devan saat kami sudah berada di kantor Devan. Kami duduk di sofa sambil menonton TV. Aku tak menyangka jika hubunganku dengan Devan bisa sejauh ini.
Selangkah lagi kami akan menjadi sepasang suami istri. Ya, aku dan Devan sudah sepakat untuk segera meresmikan hubungan kami. Meski kadang aku masih sedikit takut jika masa lalu akan terulang lagi.
Kenangan gagalnya pernikahanku terkadang masih membayangiku, tapi Devan tak pernah berhenti meyakinkanku hingga aku yakin untuk mau menikah dengannya.
"Jadi kenapa Tia bisa bekerja di sini?" tanyaku masih bersandar di dadanya.
"Dia bekerja cuma sementara. Awalnya ia jelas sekali menolak, tapi aku mengancamnya. Jika dia tak mau menerima syarat dariku, aku tidak akan memberi suntikan dana pada Arka. Aku memberikan dua pilihan padanya, bersujud di kakimu atau bekerja sebagai cleaning service selama sebulan," terang Devan.
"Kenapa ia bisa secepat itu menyetujui syarat dari kamu? Lagi pula kenapa Arka tega sama Tia?" tanyaku.
"Aku tidak tahu, mungkin Arka juga mengancamnya. Dia kan cinta banget sama Arka sampai rela melakukan apa saja," ucap Devan sambil mengelus puncak kepalaku.
Devan memintaku untuk tak lagi memikirkan Tia atau siapapun yang pernah mengusik hidupku. Ia memintaku untuk lebih fokus pada hidupku.
****
Aku dan Devan berziarah ke makam orang tuaku. Kami ingin minta restu untuk melangkah ke pelaminan. Tak terasa air mataku menetes di pipiku.
Ada perasaan sedih dan bahagia yang datang secara bersamaan. Aku sedih karena orang tuaku tak kan bisa menyaksikan kebahagiaanku bersanding dengan orang yang aku cintai.
Sedangkan aku bahagia karena sebentar lagi aku akan menjadi istri Devan. Setelah kami mendoakan kedua orang tuaku, kami segera beranjak untuk berziarah ke makam Adam dan Devon.
Aku berharap kali ini Tuhan membiarkanku untuk bahagia. Begitu banyak kesedihan yang kualami hingga terkadang aku berpikir tak ada bahagia untukku.
Tapi aku salah, saat ini aku benar-benar bahagia. Senyumku yang telah lama hilang kini berangsur muncul kembali.
Aku tak menyangka bisa melabuhkan hatiku kembali. Memilikinya membuatku merasa tenang. Ia memang salah satu alasanku untuk tersenyum.
Terima kasih Tuhan, telah kau kirimkan aku malaikat pelindung. Aku begitu mencintainya, dan aku mohon biarkan aku bahagia bersamanya.
The End
Masih ada epilog...
Akhirnya selesai juga kisah Rea. Terima kasih buat pembaca setia yang selalu menjadi penyemangat penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. Maaf jika End nya tidak sesuai harapan pembaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top