Berterus Terang
Saat ini aku saling berhadapan dengannya di ruang tamu rumahku. Entahlah, untuk apa Devan kembali datang ke rumahku. Ia masih diam saja tanpa berkata sepatah katapun.
"Dev, kok tiba-tiba kamu ke sini lagi, bukannya tadi kamu bilang ada urusan yang mesti kamu selesaikan?" tanyaku menarik perhatiannya.
Devan menatapku dalam diam. Ia memejamkan mata seolah menata pikirannya yang sedang kacau.
"Aku tidak tenang meninggalkanmu sendirian di sini, makanya aku cepat-cepat menyelesaikan urusanku dan datang kemari," jawabnya.
"Kenapa? Toh memang aku sebenarnya tinggal seorang diri," tanyaku kembali padanya.
"Sebenarnya aku ke sini ingin berterus terang padamu, tentang rahasiaku. Tapi aku mohon dengarkan saja dan jangan menyelaku sebelum aku selesai bicara," ucapnya padaku.
Aku menganggukkan kepala pertanda aku memahami apa yang diperintahnya. Aku juga tidak sabar menunggu semuanya. Aku berharap kejujurannya membuatku bisa tidur nyenyak.
"Aku menyayangimu itu jujur dari hatiku. Tapi caraku memperlakukanmu selama ini adalah salah. Awalnya aku begitu dendam padamu." Devan menjeda pembicaraannya. Ia menggenggam tanganku erat mencari kekuatan di sana.
"Bukan karena tamparan itu, tapi karena hal lain. Aku yakin kamu tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan aku yakin selama ini kamu menganggapku adalah Dev, kamu pasti bingung dari mana aku tahu soal Dev.
Dev begitu menyayangimu mungkin melebihi rasa sayangku padamu. Ia juga tulus mencintaimu sampai ajal menjemputnya."
Deg...
Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar berita ini, bagaimana mungkin orang yang selama ini aku cari telah pergi. Lalu bagaimana surat-surat yang aku terima bersama mawar yang mengiringinya. Air mataku jatuh tak tertahankan.
Devan menghapus air mataku dengan ibu jarinya. Ada raut kesedihan di matanya saat melihatku seperti ini.
"Lanjutkan, Dev, aku ingin tahu semuanya," lirihku padanya.
Devan menatapku dan menganggukan kepala pelan.
"Kamu tentu masih ingat saat pertemuan kita di makam waktu itu. Saat itu aku yang sedang berziarah ke makam Dev, melihatmu juga berada di sana.
Amarahku seketika meledak melihatmu karena aku menganggap kamulah penyebab kepergian Dev, dengan berbagai cara aku ingin menyakitimu sambil aku menunggu mendapatkan info mengenai hubunganmu dengan Dev di masa lalu.
Aku pikir dengan terus mengganggumu aku akan mendapat kepuasan saat kamu tersakiti tapi nyatanya aku salah. Aku justru sakit mengetahui kenyataan kalau kamu juga begitu menyayangi Dev.
Entahlah, kenapa perasaan itu dengan tidak tahu malunya datang menghampiri hatiku. Kamu tentu ingat saat aku tiba-tiba memelukmu di kantor waktu itu.
Ya, semua kulakukan karena aku merasa bersalah padamu. Aku pergi menghindarimu agar aku bisa melupakanmu, tapi aku salah, aku justru sangat merindukanmu.
Tak seharusnya aku memiliki perasaan ini, tak seharusnya pula aku berusaha menggantikan posisi Dev di hatimu. Aku memang lelaki brengsek, aku jahat, aku tak tahu malu," ucap Devan sambil menundukkan kepalanya.
"Darimana kamu tahu soal Dev dan hubungan masa laluku dengannya, ada hubungan apa kamu dengan Dev?" tanyaku penasaran.
"Dia..., Devon Argantara adik tiriku. Ayahku menikah dengan ibu Devon saat kami masih sama-sama kecil. Saat menginjak remaja Devon menolak tinggal bersama kami dan lebih memilih tinggal bersama nenek.
Bukan karena kami tak akur, tapi ia melakukannya karena kamu, dia ingin selalu menjagamu. Pertemuan pertama denganmu membuatnya tak bisa jauh darimu. Cukup aneh, tapi memang itu kenyataannya.
Meski jauh, dia selalu bercerita padaku apapun itu, termasuk dia yang begitu menyayangimu. Aku marah padamu, meski kamu orang terdekatnya tapi nyatanya kamu tak tahu apa-apa soal penyakitnya.
Ternyata selama ini Devon begitu rapi menyembunyikan penyakitnya, bahkan keluarga kami pun tak pernah tahu hal itu. Sebagai kakak aku begitu marah pada diriku sendiri karena tak bisa selalu ada untuknya.
Selama menjalani pengobatan ia selalu memintaku memantau keadaanmu dari jauh. Awalnya aku menolak permintaannya, karena aku punya kesibukan sendiri. Sampai amarahku memuncak, saat tanpa sengaja mobilmu menyerempetku, ditambah tamparan yang melukai harga diriku.
Saat kejadian itu aku ingin memberi pelajaran buat kamu. Tapi semua menjadi dilema saat Devon mengamanatkanku untuk menjagamu di penghujung usianya.
Lambat laun rasa benciku berubah jadi rasa simpati saat mengetahui kisahmu. Bukan karena kasihan, tapi kehilangan orang yang kita sayang tentu membuat kita hancur.
Awalnya aku ingin memberi tahumu lebih awal, tapi aku tak ingin merusak hubunganmu dengan almarhum calon suamimu. Tapi kenyataan lagi-lagi menghantamku. Calon suamimu meninggalkanmu.
Aku bingung apa yang bisa aku lakukan untuk menghiburmu, tapi kenyataan justru aku selalu menyakitimu. Maafkan aku Rea, aku janji tidak akan menyakitimu lagi," terang Devan padaku.
Pikiranku berkelana entah kemana. Kenyataan yang aku dapatkan tak sesuai yang aku harapkan. Dulu kupikir Dev adalah Devan, tapi nyatanya aku salah.
Apa aku kecewa? Entahlah. Devon dan Devan dua nama yang memiliki kemiripin. Tapi kenapa kisahku harus seperti ini.
Tidak bisakah Tuhan hanya membuatku kehilangan Adam saja, tanpa harus mengambil Dev juga. Aku tak boleh menyalahi sang takdir, bagaimanapun ini semua kehendak sang Ilahi.
Aku diam saja mencerna penjelasan Devan yang membuatku tak pernah menyangka sebelumnya. Kutatap manik hitam lelaki di depanku, entah mengapa rasa marah dihatiku muncul seketika.
"Pulanglah Dev, biarkan aku sendiri, aku butuh ketenangan," ucapku pelan.
Awalnya ia menolak kemauanku, tapi akhirnya ia beranjak dari rumahku. Setelah kepergiannya aku menangis tersedu-sedu. Kenapa takdirku sekejam ini Tuhan?
Kilasan-kilasan peristiwa saat kebersamaanku dengan sahabatku Devon alias Dev menari di benakku.
"Kenapa kamu juga pergi meninggalkanku Dev?" gumamku.
Air mata jatuh membasahi pipiku. Sesak. Nyeri. Perih. Rasanya tidak ada lagi yang perlu aku perjuangkan. Pemikiran bodohku jika Dev adalah Devan justru membuatku terluka.
Cinta ini tak seharusnya jatuh padanya, tapi pada Devon. Tapi cinta tak pernah salah, dia tahu kemana tempat yang tepat untuk berlabuh meski diwaktu yang tak tepat.
Aku berjalan dengan tertatih menuju kamarku. Aku mengambil surat yang diberikan Dev yang menjadi kenangan terakhirku.
Tetes air mata membasahinya. Mengoyaknya menjadi tak berarti. Apa aku tak layak untuk mendapat kebahagianku? Apa aku tak pantas untuk dicintai?
Aku hanya ingin bahagia Tuhan, aku tak meminta lebih. Aku hanya ingin mencintai dan dicintai.
"Kamu jahat Devon membiarkanku jatuh cinta pada Devan kakak tirimu," gumamku disela isak tangisku.
Sepertinya kematian lebih baik untukku. Aku tak kan lagi merasa kesakitan. Hatiku yang hancur takkan kembali koyak. Hatiku yang luka kembali berdarah dan bernanah.
Kulihat gunting yang ada di atas meja riasku. Sepertinya iblis mulai menguasai jiwaku. Mungkin ini yang terbaik yang bisa kulakukan untuk melupakan semua.
TBC...
Makin ribet ja ya ni critaa,
Seperti authornya yang ribet hehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top