Bertemu Stella

Aku sedang bersiap-siap untuk datang ke acara makan malam yang disusun Devan. Aku memakai baju yang sudah disiapkan oleh kekasihku tercinta. Aku tidak tahu bagaimana ia bisa pas mencari baju untukku.

Bajunya cukup sederhana tapi terlihat mewah. Devan bilang ini hanya acara makan biasa, tidak formal. Jadi aku putuskan berdandan dengan sederhana juga.

Aku melihat sekeliling kamar hotel tempatku berada. Aku teringat kalau ini adalah kamar yang kutempati untuk menginap karena aku pingsan. Dan aku juga ingat bahwa di kamar ini Devan pernah membuatku ketakutan.

Aku pikir dulu ia akan memperkosaku karena aku telah menamparnya. Apalagi keadaan juga mendukungnya. Bahkan waktu itu aku pingsan di pelukannya.

Akhirnya aku tahu kenapa ia tak melakukannya. Itu karena ia mencintaiku dan tak ingin menambah luka di hatiku dengan perbuatannya.

Bagaimana aku tahu? Tentu saja Devan yang mengatakannya. Apa aku percaya? Adakah alasan lain untuk tidak percaya padanya setelah semua yang ia lakukan padaku?

Ceklek...

Aku melihat Devan memasuki kamarku. Ia terlihat tampan dengan pakaian casual. Kemeja biru muda dan celana jeans hitam. Tak lupa jam tangan hitam di pergelangan tangannya.

Aku tersenyum ke arahnya. Ia menatapku tak berkedip. Aku jadi mengerutkan dahiku karena hal itu.

"Kenapa?  Jelek ya?" tanyaku penasaran karena ia hanya diam saja.

"Cantik," ucapnya pelan.

Aku mendecak sebal. Aku pikir ada yang salah dengan penampilanku. Tapi dia hanya berkata satu kata saja.

"Kok cemberut, harusnya senang dong dipuji," tanya Devan bingung.

"Aku pikir ada yang salah dengan penampilanku, padahal aku sudah khawatir seandainya penampilanku mengecewakanmu," ucapku sambil memanyunkan bibirku.

Devan dengan reflek mencium bibirku. Aku semakin sebal dengan aksinya.

"I Love You," ucapnya.

Aku hanya terdiam mendengar ucapannya. Meski kami sudah menjadi sepasang kekasih tapi aku belum pernah sekalipun mengatakan cinta pada Devan.

Apa aku tak mencintainya?  Tentu saja aku mencintainya, tapi entah mengapa setiap aku akan membalas ungkapan cintanya, bayangan Devon selalu hadir di benakku.

Mungkin aku belum ikhlas melepas cinta pertamaku. Terlebih saat ini aku menjalin kasih dengan Devan kakak dari Devon meski hanya kakak tiri.

Tapi tetap saja kenangan itu akan selalu muncul. Tak bisa di pungkiri setiap kebersamaan kami, ada kalanya kami sama-sama mengingatnya dengan kenangan yang berbeda.

Tapi syukurlah Devan tidak pernah marah meski terkadang aku masih merindukan Devon. Bagaimanapun juga aku dan Devon memiliki kenangan yang cukup indah meski itu sudah berlalu lebih dari 10 tahun.

"Kok bengong sih, sudah ditunggu di bawah," ucap Devan sambil menggamit tanganku.

"Di bawah?  Maksudmu mereka sudah ada di sini?" tanyaku tak pecaya.

Devan mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaanku. Akhirnya aku diam dan berjalan menuju lift untuk turun ke lantai bawah. Selama berjalan menuju lift Devan selalu menggandeng tanganku mesra.

Perlakuan manisnya membuatku berbunga-bunga. Akhirnya kami sampai di lantai bawah. Ternyata Devan mengajakku makan malam di restoran hotel tempatku berada.

Aku pikir ia akan mengajakku ke tempat lain mengingat ia sudah mau bersusah payah menyiapkan baju untukku. Tapi akhirnya aku tahu apa alasannya. Tentu saja agar aku tak malu saat bertemu dengan Stella.

Aku melihat Stella dengan seorang pria yang aku rasa adalah Alex suaminya. Stella terlihat cantik dengan baju garis-garisnya senada dengan bibirnya yang memakai lipstik berwarna nude.

Devan memperkenalkan aku dengan Stella dan suaminya. Aku merasa canggung saat bertatapan dengan Stella, meski aku beberapa kali bertemu dengannya. Aku merasa jika Stella tidak pernah menyukaiku. Akh... Mungkin hanya perasaanku saja.

"Akhirnya sahabatku yang bego ini bisa juga mengambil hatimu, Re. Kalau sampai nggak bisa dapetin kamu, udah jadi gila nih anak," ucap Stella padaku.

Aku melongo mendengar ucapan Stella. Kupikir ia akan berbicara dengan anggun tapi aku salah. Meski aku pernah beberapa kali bertemu dengan Stella, aku tak pernah terlibat perbincangan.

Bahkan saat bertemu di apartemen Devanpun, aku tak sempat berbicara dengannya, karena setelah itu Devan langsung mengantarku pulang dengan alasan ada keperluan mendesak yang harus segera di selesaikannya.

"Siapa yang gila, jangan sembarangan kamu kalau ngomong," sanggah Devan.

"Sudah-sudah kalian ini tiap ketemu selalu saja ribut, kamu Dev, nggak malu sama Rea," ucap Alex menengahi.

Aku hanya diam sambil mengamati mereka satu persatu. Aku juga baru tahu kalau Devan terlihat lucu saat menanggapi perkataan Stella.

"Re, kamu kok akhirnya mau sih sama si Curut satu ini?  Udah arogan tengil lagi," ucap Stella lagi.

Aku hanya mampu mengerutkan kening. Bingung. Curut?  Siapa yang di maksud Stella dengan Curut? Devankah.

"Stell, mulut kamu perlu aku plester deh, sekali lagi kamu manggil aku dengan nama itu di depan Rea, aku sumpel beneran nih pakai napkin," ucap Devan sebal.

Tawaku pecah saat melihat wajah Devan yang kesal. Aku berhenti tertawa saat Devan melotot padaku.

"Kok ketawa sih sayang, harusnya kamu belain aku dong biar si Tiker ini gak ngejek aku mulu," ucapnya manja.

"Tiker???" ucap Stella dan Alex berbarengan.

Sementara aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka.

"Tinggi Kering, makanya Lex, kasih makan dong istri kamu biar gak kurus kering begitu," jawab Devan.

Aku menegur Devan dengan ucapannya. Tapi ia hanya cuek saja tanpa merasa bersalah.

"Dasar Curut, aku kan model wajar dong aku kurus. Udah ah males bicara sama kamu," ucap Stella.

Akhirnya makananpun datang, menginterupsi perdebatan kecil Devan dan Stella. Kami mulai menyantap makanan dalam hening. Hanya bunyi denting garpu dan sendok beradu dengan piring.

Pembicaraanpun dimulai kembali. Canda tawa mewarnai makan malam ini. Entah mengapa aku bisa merasakan kebahagian di makan malam kali ini. Meski kita berempat hanya mengobrol santai.

"Sayang, kamu mau tidur di hotel atau pulang ke apartemen," tanya Devan padaku setelah sesi makan malam usai. Stella dan Alexpun sudah lebih dulu meninggalkan kami.

Aku masih menimbang-nimbang. Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke apartemen.

Devanpun menuruti kemauanku. Saat perjalanan pulang mataku tak sengaja menangkap sosok yang begitu aku kenal. Tapi aku berpikir untuk apa dia malam-malam begini dia ada di jalan.

Karena penasaran aku minta Devan untuk menghentikan mobilnya. Aku ingin memastikan apa yang aku lihat.

Aku turun dari mobil dan berjalan mendekat ke arah orang itu. Semakin dekat aku semakin yakin jika itu adalah dirinya.

Akhirnya aku mendekatinya, dan aku terperanjat saat melihat keadaannya.

"Ya Tuhaaan, apa yang terjadi?" pekikku tak percaya.

Dia menatapku dalam diam. Aku yakin hanya pelukan yang akan menenangkannya. Berbagi kesedihan dalam sentuhan sejuta makna.

Tbc....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top