Bertemu Arka

Aku termenung di balkon sambil memikirkan keputusanku. Akankah aku akan menuruti kemauan Giza dan menjauh darinya. Sejujurnya sampai saat ini aku masih tak percaya dengan sikap Giza padaku.

Aku sungguh yakin ada alasan kenapa dia melakukannya. Tapi aku tak tahu apa itu. Kurasakan tangan kokoh memeluk pinggangku. Devan memelukku dari belakang dan otomatis menghentikan lamunanmu.

Devan menaruh dagunya dipundakku. Ya, saat ini aku memang berada di apartemen Devan. Ia memintaku untuk sementara tinggal di tempatnya.

Awalnya aku menolak karena bagaimanapun kita belum menikah. Rasanya tak pantas jika tinggal bersama tanpa adanya ikatan pernikahan.

Tapi alasan dia mengajakku tinggal cukup masuk akal. Ternyata perasaanku soal orang yang mengintaiku itu memang benar adanya. Devan tahu jika keselamatanku terancam. Dia tidak mau mengambil resiko jika membiarkanku tinggal seorang diri.

Meski aku tinggal bersama Devan, tapi aku memiliki kamar sendiri. Meski terkadang ia dengan jailnya masuk ke kamarku dan tidur di sampingku sambil memelukku.

Awalnya aku canggung tapi lambat laun aku merasa nyaman tidur dalam pelukannya. Tak kupungkiri saat kami tidur bersama ada dorongan untuk melakukan hal lebih. Bagaimanapun kami adalah perempuan dan laki-laki normal.

Tapi sejauh ini kami masih bisa mengendalikannya. Apa aku takut seandainya itu terjadi? Entahlah, karena setiap sentuhannya selalu memabukanku.

"Sedang mikirin apa?" tanyanya sambil menciumi leherku.

"Sampai kapan aku di sini?  Apa aku pergi saja dari kota ini?" tanyaku yang seketika menghentikan aksi Devan.

"Kamu tak akan ke mana-mana, kalau kamu memaksa aku akan menikahimu supaya kamu tidak ada alasan untuk pergi."

Devan berkata dengan sedikit emosi. Sebenarnya Devan ingin menikahiku secepatnya, tapi aku meminta untuk memberiku waktu sampai siap.

Aku masih takut hal buruk akan menimpaku saat pernikahan itu datang. Aku masih ingat dengan jelas rasa sakit yang aku rasakan saat Adam meninggalkanku seminggu sebelum pernikahanku.

Bukan hanya itu. Aku masih belum siap untuk bertemu dengan kedua orang tua Devan. Aku merasa tidak sederajat dengan mereka. Dan masih ada beberapa alasan lain.

Sampai saat ini aku masih tak tahu ada rahasia apa antara ia dan Giza. Saat aku mengajukan pertanyaan itu ia selalu menolak menjawabnya.

Awalnya aku sempat marah, tapi ia meyakinkanku kalau yang berhak menjelaskan itu adalah Giza bukan dirinya. Meski ia tahu tapi ia menganggap tak pantas menceritakan rahasia orang lain.

Hal itu justru membuatku makin penasaran. Tapi aku selalu tak menunjukkan di depan Devan. Memaksanya bicarapun percuma.

Aku memang masih bekerja di kantorku. Tapi aku selalu diantar jemput oleh Devan. Tapi jika ia sibuk ia akan menyuruh sopir menjemputku. Bukan hanya itu, ia juga menempatkan seseorang yang ditugaskan untuk menjagaku.

Berlebihan memang, karena aku merasa aku akan baik-baik saja. Tapi bagaimanapun aku menolak itu tetap percuma.

Aku meneliti laporan keuangan yang ada di mejaku. Tiba-tiba tanpa sengaja mataku terpaku pada sebuah pigura. Di sana terpampang wajah diriku dengan Giza saat kami berlibur bersama.

Aku mengambil pigura itu dan memeluknya di dadaku. Air mataku menetes saat mengingatnya. Aku benar-benar merindukannya.

Meski dia telah menyakitiku, tapi aku tetap menyayanginya. Dia dulu selalu ada untukku. Hanya dia yang kupunya di dunia ini. Haruskah aku menemuinya dan meminta penjelasan darinya? Tapi untuk apa? Toh sudah jelas dia muak denganku.

Tapi hati kecilku berkata kalau sahabatku itu juga merindukanku. Apa aku bodoh masih memikirkan dia yang telah menyakitiku?

Aku menghela napas kasar. Di sofa ruang kerjaku kulihat bayangan saat aku dan Giza saling bercanda. Tawa berderai saat kami saling mengejek. Kami berjanji akan selalu bersama dan selalu saling mendukung.

Aku hanya mampu tersenyum getir saat mengingat kenangan itu. Aku kembali fokus dengan pekerjaanku.

Drrrtt... Drrrtt

Ponselku bergetar tanda ada pesan masuk. Kubaca pesan itu. Aku terdiam setelah membaca pesan. Itu adalah pesan dari Arka.

Sampai saat ini Arka belum juga berhenti mengejarku. Meski ia tahu saat ini aku tengah menjalin kasih dengan Devan.

Aku tahu ia tak kan menyerah. Tapi hal itu justru membuatku tak nyaman. Bahkan Tiapun ikut-ikutan memberikan teror padaku karena ia tahu aku masih ada di kota ini.

Itu sebabnya Devan membayar orang untuk menjagaku saat ia bekerja. Akhirnya kuputuskan untuk menelepon Arka.

"Aku ingin bicara denganmu," kataku pada Arka di seberang telepon.

"..."

"Tidak perlu, aku akan ke sana sendiri sampai jumpa nanti."

Aku langsung mengakhiri sambungan teleponku saat Arka menyetujui untuk bertemu denganku.

Ya, ini kulakukan untuk memberikan pengertian pada Arka agar ia tak mengejarku lagi. Aku tak mau Tia semakin bertambah nekad saat ia tahu Arka tidak pernah berhenti mengejarku.

Aku memberi tahu Devan soal rencanaku, awalnya ia tidak setuju. Tentu saja, mana ada seorang kekasih membiarkan kekasihnya bertemu dengan mantan pacarnya. Apalagi sang mantan masih mengharapkan cintanya.

Akhirnya ia menyetujui rencanaku. Aku melanjutkan kerjaku sambil menunggu jam makan siang.

Detik demi detik berlalu tanpa terasa waktu yang kutunggu datang. Aku berharap pertemuanku dengan Arka berjalan lancar.

Aku sampai di restoran diantar oleh pak Diman. Tentu saja dari jauh ada suruhan Devan yang menguntitku. Sebal rasanya ke manapun selalu diikuti. Tapi aku cukup menghargai bentuk perhatian kekasihku.

Arka sudah berada di sana saat aku tiba. Kulihat wajahnya yang dulu tampan kini jauh berbeda. Wajahnya makin tirus dan bulu-bulu halus tumbuh di dagunya.

Aku tak menyangka dengan perubahannya. Karena dulu ia  selalu menjaga penampilannya.

"Mau pesen apa Re? Nasi Sapi Lada Hitam?" tanyanya padaku saat aku sudah duduk di hadapannya.

Aku sedikit tersanjung dengannya karena ia masih mengingat makanan favoritku.

"Nasi Goreng saja," jawabku.

Aku tak mau ia makin berharap jika aku mengiyakan pesanannya. Arka memandangku dengan intens. Itu membuatku risih.

"Ka, tujuanku menemuimu bukan hanya sekedar untuk makan siang. Tapi aku mohon padamu untuk berhenti mengejarku. Kembalilah pada Tia dan anakmu, mereka masih membutuhkanmu," kataku pada Arka yang sedari tadi terus memandangku.

"Kenapa? Apa karena lelaki brengsek itu kamu mengatakan ini?" jawabnya sedikit emosi.

"Jangan pernah mengatakan dia brengsek karena kamu jauh lebih brengsek dari dia. Jadi sebelum kamu mengatai orang, lihatlah dirimu sendiri," ucapku datar.

Aku lihat rahangnya mengeras tanda ia sedang menahan amarahnya.

"Aku tahu aku brengsek, tapi aku janji aku tak kan mengulang kesalahan yang sama lagi. Beri aku kesempatan," mohon Arka padaku.

Aku hanya diam menanggapi ucapan Arka.

"Apa kamu tak kasihan dengan Tia dan anakmu?  Apa kamu tak pernah memikirkan perasaan mereka?"

Arka hanya diam saja. Pembicaraan kami terhenti saat pelayan datang membawa pesanan kami.

Tiba-tiba ada seseorang yang mendekat ke arah kami. Aku hanya bisa terdiam saat tahu siapa yang datang.

Masalah apalagi ini Tuhan.

Tbc....

Berhubung aktivitas nyata sudah mulai kembali, saya tidak bisa berjanji untuk update tiap hari, tapi saya usahakan tetap tiap hari. Tapi jika TIDAK, saya up sesenggang saya. Jadi jangan ada yang protes jika up lama(padahal gak ada yg nungguin crita ini jg sih hehe 😜😜😜)

Trims

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top