Bercerita
Aku terpikik dengan apa yang kulihat. Devan dengan membabi- buta memukuli Arka hingga bersimbah darah. Ia bahkan tak memberi kesempatan pada Arka untuk melawannya.
"Stop, Dev, kamu bisa membunuhnya!" teriakku mencoba menghentikan aksi Devan.
"Jangan coba-coba mendekati Rea lagi brengsek, kamu akan tahu akibatnya jika tak mendengarku. Dan bilang sama istrimu untuk tak mengganggu Rea lagi, atau aku akan menghabisinya," ucap Devan penuh emosi pada Arka yang sudah lemah bersimbah darah.
"Joe, urus dia dan bereskan kekacauan ini!" perintah Devan pada Joe yang selalu setia padanya.
Tubuhku bergetar. Aku merasa takut dengan apa yang kulihat. Perbuatan Devan barusan membuatku nyaris pingsan.
Aku menatap nanar pada tubuh Arka. Aku merasa bersalah padanya karena aku dia jadi seperti ini. Tak seharusnya aku menemuinya. Tapi semua sudah terjadi.
Devan membawaku untuk ikut bersamanya. Kali ini tak ada penolakan dariku. Aku takut jika aku menolak akan membuat Devan makin murka. Walau sebenarnya aku mengkhawatirkan keadaan Arka.
Semoga saja dia baik-baik saja. Tak ada yang saling berbicara ketika aku dan Devan berada di mobil. Hanya saja Devan mengamit tanganku dengan erat.
Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Kulihat ekspresi wajahnya datar tak terbaca. Kali ini Devan tidak menyetir sendiri. Ia memakai sopir pribadinya.
Devan membawaku ke dalam rumah. Kali ini ia tidak berlaku kasar seperti saat ia menjemputku dari rumah Stella.
Tiba-tiba Devan memelukku dengan erat. Aku hanya bisa terpaku dengan sikapnya.
"Aku mohon jangan tinggalkan aku," gumam Devan dalam pelukanku.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku tak pernah melihat Devan serapuh ini. Aku mengelus punggung Devan untuk menenangkannya.
Biasanya saat aku bersedih Devan akan memelukku dan menenangkanku, kali ini sebaliknya.
Aku mengajak Devan untuk duduk setelah ia mulai tenang.
"Bisa kamu ceritakan apa yang ada di hati kamu? Aku tidak bisa menerka-nerka terus menerus, dan aku tidak sanggup terus kamu sakiti," ucapku sambil menatap Devan.
"Aku janji tak akan menyakitimu lagi, tapi beri aku waktu sebentar saja untuk mengakhiri semuanya," mohon Devan padaku.
"Jangan salahkan aku jika aku memilih mundur, bagaimana aku bisa mempertahankan hubungan yang hanya membuat hatiku terus terluka.
Kamu terlalu banyak menyimpan rahasiamu sendiri. Aku tak tahu di hatimu aku ini di anggap apa," terangku pada Devan.
Tiba-tiba Devan bersimpuh di depanku. Ia menggenggam erat kedua tanganku. Dan aku melihat matanya mulai berkaca-kaca.
"Apa yang harus aku lakukan agar kamu tak pergi dariku. Aku tak mau kehilanganmu," pinta Devan padaku.
"Aku hanya mau kamu berhenti menyakiti dirimu sendiri, dan aku cuma mau kamu jujur padaku," jawabku.
"Bukankah kamu sudah membaca buku harianku, apa lagi yang ingin kamu tahu," tanya Devan padaku sambil menatapku lekat.
"Aku hanya ingin mendengar dari mulutmu sendiri, apa tujuan kamu mendekati Amara lagi? Bahkan kamu seolah menikmatinya," tanyaku.
Devan terdiam. Ia mengecup tanganku mesra. Hatiku berdesir dengan perlakuannya. Aku harus bersabar jika ingin tahu semuanya.
Aku masih teringat kejadian barusan, saat ia dengan brutal menghajar Arka. Meski ia adalah pria yang arogan, tapi ia tak pernah berlaku kasar selama ini.
Bahkan dulu ia juga tak mempermasalahkan saat aku meminta ijinnya untuk menemui Arka. Apa karena cemburu? Atau terlalu posesif? Entahlah.
"Aku ingin Amara tahu kalau aku bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari dia yaitu kamu. Tapi sebelumnya aku ingin mempermainkan perasaannya terlebih dahulu.
Katakanlah aku bajingan, aku ingin ia juga merasakan hal sama seperti apa yang aku rasakan. Setelah ia terlena padaku dan menganggap aku sudah memaafkannya aku akan mengenalkan kamu padanya sebagai calon istriku.
Asal kamu tahu, saat berdekatan dengannya aku selalu membayangkan dia adalah kamu. Saat mencumbunyapun aku selalu memikirkan kamu.
Dan kamu harus percaya, meski aku melakukan itu, aku tak pernah menidurinya," terangnya padaku.
"Apa kamu mendapat kebahagiaan setelah melakukan itu semua? Apa kamu tak pernah memikirkan akibatnya?" tanyaku lirih sambil menitikkan air mata.
"Maafkan aku. Akan kuakhiri ini semua, tapi aku mohon tetaplah di sampingku. Aku takut kamu pergi dariku. Aku tak sanggup kehilanganmu. Aku mulai hilang akal saat ketakutanku itu muncul.
Saat aku mendapat informasi kalau kamu berpelukan dengan David aku menjadi murka. Bahkan hari ini aku jadi hilang kendali saat kamu dengan terang-terangan menemui Arka. Aku takut jika ia akan merebutmu dariku," ucap Devan.
Haruskah aku marah dengannya? Aku tak bisa membohongi perasaanku kalau aku sangat mencintainya.
Akupun juga tak mau kehilangannya. Tapi aku harus memikirkan ini semua sebelum mengambil keputusan. Meski ini tak akan mudah.
"Itu alasan kamu mengurungku?" tanyaku padanya yang kini duduk di sebelahku.
"Ya, agar kamu tak bisa pergi dariku," ucapnya merasa bersalah.
"Kalau memang kamu berniat mengurungku kenapa tadi tidak mengunci pintu kamarku, dan melonggarkan penjagaanku?" tanyaku penasaran.
Aku seperti melihat senyum tipis di bibir Devan saat aku menanyakan hal ini.
"Kamu lupa? Tanpa aku menguncimu di dalam rumah aku tetap bisa mengawasimu. Rumah ini ada cctv, jadi kemanapun kamu pergi aku tahu. Dan aku memang selalu ada di manapun kamu pergi meski ragaku di tempat lain," terangnya sambil mengelus puncak kepalaku.
Aku baru sadar kalau memang selama aku menjadi kekasih Devan, ia memang selalu menyuruh orang untuk selalu mengawasiku.
Orang-orang Devan sangat ahli hingga kadang aku tak sadar jika ada yang mengawasi gerak-gerikku. Keheningan terjadi di antara kami. Hanya detak jarum jam yang menemani kesunyian kami.
Masih banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan, tapi biarlah untuk sementara aku membiarkan Devan menata hatinya untuk jujur padaku.
Aku ingin membangun sebuah hubungan yang dilandasi kejujuran, agar kita bisa melangkah bersama, bisa saling menguatkan satu sama lain.
"Apa Arka akan baik-baik saja?" tanyaku memecah kesunyian.
"Dia akan baik-baik saja. Mungkin jadi sedikit tidak tampan lagi," jawab Devan yang mengundang senyum simpul di bibirku.
"Aku akan menjawab semua yang kamu ingin tanyakan, tapi kita makan dulu. Aku tidak mau kamu sakit," tawar Devan padaku.
Aku baru sadar jika aku memang belum makan dari tadi. Akupun mengiyakan tawaran Devan. Aku mengernyit bingung dengan tingkah Devan. Selama makan ia tak sekalipun melepas genggaman tangannya dari tangan kiriku.
Saat makanpun aku hanya bisa pasrah di suapi olehnya. Ada rasa senang di perlakukan semanis ini. Tapi ada juga keraguan akan sosoknya.
Kudengar suara ponsel Devan berdering dengan nyaringnya. Devan mengangkat teleponnya yang ada di atas meja makan.
Aku melihat amarah di raut wajahnya. Dan tanpa kuduga ia membanting ponsel yang ada di genggamannya.
Aku tak tahu siapa yang menghubungi Devan hingga membuatnya semarah ini.
"Kita pergi dari sini sekarang," ucap Devan mengajakku pergi dengan tergesa dengan banyak pertanyaan di benakku.
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top