Arka

Aku masih tak percaya dengan apa yang kudengar, suara bariton dari seseorang di seberang telepon membuatku kembali harus membuka luka lama.

Meski aku telah lama tak mendengar suaranya, tapi aku yakin betul bahwa itu adalah dirinya. Aku membenci kenyataan ini yang harus berurusan lagi dengan lelaki tak berperasaan seperti dirinya.

Masih teringat jelas di ingatanku. Saat itu sebelum aku bertemu dengan Adam, aku pernah menjalin hubungan dengan lelaki teman kuliahku. Arka, aku biasa memanggilnya.

Awalnya hubungan kami baik-baik saja seperti hubungan sepasang kekasih pada umumnya, namun lambat laun aku tahu kebusukannya.

Rasa sakitku tak terperi saat  mendengar kenyataan bahwa dia menghamili teman di kampusku. Dan lebih menyakitkan lagi ia tidak mengakuinya dan masih berani mengatakan cinta kepadaku.

Awalnya aku pikir dengan menjalin hubungan dengannya, lambat laun aku bisa melupakan Dev. Tapi nyatanya  aku tak lupa, nama itu seolah sudah terpatri di sanubariku.

Ponselku berdering berkali-kali. Aku yakin itu dari orang yang sama. Aku lelah dengan keadaan ini. Kumatikan ponselku berharap bisa sedikit membuatku tenang.

****

Hari ini aku tidak ada kegiatan sama sekali. Aku sebenarnya ingin bekerja karena aku merasa terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Tapi lagi-lagi aku harus bersabar karena si 'Bunda' Giza melarangku dengan keras.

Sebenarnya aku tak terlalu khawatir soal pekerjaanku, karena aku percaya sama Dira karyawan kepercayaanku. Aku yakin dia bisa mengatasinya. Kalaupun ada masalah tentunya dia akan menghubungiku.

Untuk mengusir jenuh, aku membaca koran lokal. Di sana tertulis artikel Devan, entah mengapa saat membaca berita tentangnya hatiku merasa senang.

Di artikel itu tertulis jika ia adalah salah satu pria yang banyak diincar para wanita karier. Bagaimana tidak, di usianya yang masih muda dan parasnya yang tampan ia memiliki bisnisnya sendiri.

Kekayaannya pun bukan karena warisan orang tuanya, melainkan jerih payahnya sendiri. Namun aku begitu sesak saat ku baca bagian akhir artikel tersebut. Di sana tertulis jika Devan akan segera melepas masa lajangnya.

Tak terasa air mataku mulai menetes. Entah mengapa aku berharap berita itu hanyalah kebohongan. Aku teringat dengan ciuman itu. Sakit. Perih. Seakan pasokan oksigen dalam paru-paruku mulai menipis.

Kenapa dia tega melakukan ini padaku? Apa salahku padanya?

Ia tidak bersalah, semua ini adalah salahku yang dengan mudah terjerat dengan pesonanya. Aku tak ingin munafik lagi kalau aku mulai menaruh hati padanya.

Aku tersentak saat ponselku berteriak minta diangkat. Satu panggilan telepon yang membuat mood ku yang buruk bertambah buruk. Aku sebenarnya tak ingin berurusan lagi dengannya, tapi kalau aku terus menghindar ia akan terus menggangguku.

"Ada perlu apa lagi kamu menghubungiku?" tanyaku pada seseorang di seberang telepon.

"..."

"Cukup, Arka, semua tak akan terulang kembali, dan aku mohon kembalilah pada Tia dan anakmu!"

Setelah mengucapkan itu kuakhiri perbincanganku di telpon secara sepihak. Kepalaku yang masih sakit, terasa pening.

Ucapan Arka di telepon tadi membuat aku naik pitam. Setelah sekian tahun aku menata hatiku dan bisa sedikit melupakan rasa sakitku padanya, ia dengan tak tahu malunya ingin kembali padaku setelah ia bercerai dengan Tia.

Ia berpikir, bisa menggantikan posisi Adam di hatiku. Memang Adam telah tiada, dan meski ia juga bukan cinta pertamaku, tapi aku menghargai cinta tulusnya padaku.

Di hatiku ada tempat tersendiri baginya. Seandainyapun bila ia masih hidup dan aku di pertemukan dengan Dev saat ini, aku akan tetap memilih Adam. Bukan karena kasihan, tapi aku cukup melihat siapa yang selalu ada di sampingku menemani hariku, bukan orang yang selalu memberi luka.

Untuk menghilangkan kejenuhan aku meminta pak Jono sopir yang ditugaskan Giza untuk mengantar jemput aku jika aku ingin pergi. Tapi sebelumnya aku harus meminta ijin sama Giza. Kuambil ponsel dan menghubunginya.

Awalnya Giza melarangku karena kondisiku yang belum terlalu baik. Mungkin juga karena kondisi kakiku yang masih di perban pasca kecelakaan.

Dengan sedikit bujuk rayu akhirnya Giza memberiku ijin. Aku meminta pak Jono mengantarkanku ke supermarket terdekat. Setelah sampai di sana aku dengan tertatih berjalan masuk ke supermarket.

Semua orang menatapku seakan mengasihaniku. Bagaimana tidak, untuk berjalan saja aku harus menggunakan kruk, belum lagi jalanku yang begitu lambat.

Tadinya pak Jono mau membantuku, tapi aku menolaknya karena aku tak ingin merepotkan orang lain dengan keadaanku.

Aku ingin membeli camilan untuk menemani keseharianku yang membosankan.

"Rea"

Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku tersentak saat kulihat orang yang memanggilku. Camilan yang tadi kuambil di rak jatuh ke lantai.

"Arka," lirihku.

"Akhirnya aku bisa bertemu denganmu," ucapnya dengan binar kebahagiaan.

"Aku harus pergi sekarang," kataku sambil berusaha menghindar darinya.

Semua sia-sia, kondisiku yang membuatku sulit melakukannya. Kurasakan tangan Arka menyentuh pundakku. Aku menepisnya dengan kasar.

"Aku mohon jangan menggangguku, aku tidak mau berurusan lagi denganmu!" suaraku sedikit meninggi.

"Maafkan aku Re, tapi aku benar- benar merindukanmu. Aku mohon beri aku kesempatan untuk menjelaskan semua yang terjadi selama ini," ucapnya penuh harap.

Aku tak kan luluh dengan semuanya. Sudah cukup ia menyakitiku dulu, kali ini tak kan kubiarkan ia menyakitiku lagi.

Aku acuh dengan semua perkataannya. Bagiku semua itu seperti omong kosong. Dulu mungkin aku akan luluh dan dengan senang hati memaafkannya.

Luka yang ia beri cukup membuatku jera dengannya. Kulihat ia masih berusaha meyakinkanku dengan ucapannya. Aku semakin jengah dengan situasi ini.

"Sudah bicaranya? Aku mau pulang," tanyaku padanya.

Bukan jawaban yang kudapat tapi Arka malah menggenggam tanganku. Aku meronta minta dilepaskan, tapi ia semakin erat menggenggamnya.

"Lepaskan aku!" perintahku padanya dengan suara yang cukup tinggi.

Tiba-tiba ada seseorang yang melepaskan genggaman itu dengan paksa.

"Jangan berbuat kasar dengan wanita bung," ucap orang yang menolongku.

Aku sedikit terkejut dengan penolongku. Ada rasa senang dan marah di hatiku. Dia adalah pria yang saat ini kurindukan. Ya, dia adalah Devan.

Kulihat kilatan amarah dari ke dua lelaki yang ada di hadapanku.

"Kamu gak apa-apa kan sayang," ucap Devan padaku sambil mengelus puncak kepalaku.

Aku terdiam di tempat mencerna apa yang barusan aku dengar.

"Lebih baik kamu pergi sebelum tinjuku melayang di wajah bodohmu," ucap Devan pada Arka.

Tanpa diperintah dua kali kulihat Arka bergegas meninggalkan aku dan Devan.

Akupun juga ingin beranjak dari tempat. Namun aku terkejut saat kurasakan badanku melayang. Ya saat ini aku berada digendongan Devan.

Entah ada setan apa yang merasukinya hingga ia melakukan hal ini. Berontak pun akan percuma, aku tak kan sanggup melawannya.

Ada apa dengannya?

TBC

Udah lama gak update pengen up, happy reading

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top