Ada apa dengan Tia?

Aku terkejut dengan apa yang kulihat. Wanita yang kutolong ternyata Gilsa. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi padanya hingga dua orang laki-laki itu bertindak kasar padanya.

Kulihat wajahnya merah, dan di sudut bibirnya mengeluarkan darah. Rambutnya juga terlihat berantakan. Aku mencoba untuk menolongnya, mengesampingkan rasa kesalku padanya.

Tak kusangka ia menepis tanganku saat ingin membantunya. Ia menatapku tajam seakan tak suka bila aku melihatnya dalam keadaan seperti ini.

"Kamu pasti senang kan Re, melihatku seperti ini?" tanyanya sinis.

"Puas bangetlah. Harusnya kamu berterima kasih sama Rea yang masih mau membantumu. Kalau tidak ada dia, pasti keadaanmu lebih buruk dari ini," ucap Stella yang sudah berada di sampingku.

Gilsa hanya mendengus dan berlalu dari hadapan kami. Aku hanya mampu menggelengkan kepala melihat tingkahnya. Akhirnya kami putuskan untuk pulang tanpa mau tahu lagi keadaan Gilsa.

Saat dalam mobil aku mendapat telepon dari Devan. Aku tak tahu apa yang terjadi. Ia hanya memintaku segera pulang, tanpa mau menjelaskan apapun.

Aku semakin khawatir. Takut terjadi apa-apa padanya. Selama perjalanan menuju apartemen aku hanya mampu merapalkan doa untuk menenangkan hatiku.

Kami sampai di apartemen dengan selamat. Stella mengantarku hingga sampai ke apartemen Devan.

Saat aku memasuki apartemen, aku melihat Arka dan Tia duduk berhadapan dengan Devan. Untuk apa mereka ada di sini?

"Ngapain kamu ke sini? Mau ngajakin ribut?" tanya Stella pada Tia.

Aku meminta Stella untuk tenang. Aku ingin tahu alasan ia datang kemari. Aku duduk di sebelah Devan, diikuti oleh Stella.

Kulihat Arka menatap Tia, seolah ia memintanya untuk membuka suara. Aku hanya diam menantikan Arka maupun Tia bersuara.

"Kalau kalian hanya diam saja, lebih baik kalian pulang. Kami tak ada waktu jika hanya menemani kalian yang hanya diam saja," ucap Devan jengah dengan mereka yang hanya diam.

"Aku ingin minta tolong padamu untuk memberikan suntikan dana pada usaha Arka yang sekarang lagi kesulitan," ucap Tia sambil menatap Devan takut-takut.

"Aku tak tahu harus minta tolong pada siapa lagi, Fian sahabatku juga belum bisa membantu," tambah Arka.

"Nggak salah nih, minta bantuan sama Devan. Apa kamu lupa kalau istrimu itu selalu berlaku jahat sama Rea. Dan kamu nenek sihir, nggak tahu malu banget kamu minta tolong kemari," ucap Stella sinis.

Aku tak tahu apa yang terjadi dengan usaha Arka hingga ia nekad meminta bantuan Devan. Dan Tia, bahkan ia mau datang kemari dan meminta bantuan Devan secara langsung.

"Maaf aku tidak bisa membantumu, Ka. Itu bayaran atas perlakuan istrimu pada Rea, calon istriku. Kecuali dia mau bersujud di kakinya," ucap Devan sedikit sombong.

"Apa-apaan sih Dev, tak perlu seperti itu. Kalau kamu bisa menolongnya, ya lakukanlah tak perlu dengan syarat," ucapku tak setuju dengan ide Devan.

Meski Tia sering menyakitiku, tapi aku tak bisa membalas perlakuannya dengan cara yang sama. Jika aku membalasnya berarti aku tak jauh beda dengan Tia.

"Sebenarnya aku tak masalah membantumu Ka, tapi mengingat perlakuan istrimu pada Rea, aku jadi harus berpikir lagi," ucap Devan tanpa mau menanggapi ucapanku tadi.

"Ini semua salahku Dev, harusnya aku sebagai suami bisa membimbingnya menjadi wanita yang baik. Ini semua karena keegoisanku. Tidak masalah jika kamu tak mau membantuku, tapi terima kasih mau menerima kehadiran kami dengan baik," ucap Arka sambil berpamitan pada kami.

Tia yang biasanya berteriak-teriak dihadapanku, kini terlihat lemah lunglai. Setelah kepergian mereka aku menatap Devan tak percaya. Aku pikir ia mau membantu mereka.

Aku tahu ini memang hak dia untuk menolong mereka atau tidak, tapi aku merasa ia tak mau membantu karena Arka adalah mantan kekasihku.

"Aku tahu apa yang ada di kepala cantikmu, aku tak sejahat itu. Aku punya cara sendiri untuk menolong mereka, sekarang istirahatlah!" perintah Devan padaku.

"Aku masih ingin mengobrol dengan Stella," bantahku.

"Stella harus pulang, ia sudah ditunggu Alex," ucap Devan lagi.

Entah kenapa hari ini Devan bersikap menyebalkan. Aku langsung bergegas masuk ke dalam kamar setelah Stella berpamitan.

Aku merebahkan diriku di ranjang yang dingin. Kutatap langit-langit kamar sambil menerka-nerka apa yang sedang terjadi pada Tia.

Bukan aku sok peduli, tapi ini terlalu sulit kumengerti. Beberapa waktu lalu Tia masih dengan sombongnya mengancamku, tapi sekarang ia terlihat tak berdaya.

Jika ia butuh bantuan, kenapa ia tak meminta bantuan temannya, tapi justru datang kemari. Ini terlalu aneh buatku.

Aku mendengar suara pintu kamarku yang dibuka oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Devan. Ia duduk di tepi ranjangku.

Ia membelai rambutku lembut. Menatapku dengan sayang.

"Jangan marah, ini hanya rencanaku, Arka, juga Giza untuk mengerjai Tia. Sebenarnya tak ada masalah dengan usaha Arka," ucap Devan sambil membelai rambutku.

Aku bangun dari tidurku, tertarik dengan penjelasan Devan. Rencana apalagi yang sedang ia buat. Kekasihku ini selalu saja membuatku penasaran dengan rencananya.

"Memangnya apa yang sedang kalian rencanakan? Aku masih tak percaya jika Tia mau memohon padamu untuk membantunya," ucapku pada Devan.

"Entahlah itu urusan Arka, kamu tenang saja, aku tak kan melukainya walau sebenarnya aku ingin. Tapi aku tahu kamu pasti marah kalau aku sampai melakukan hal itu," ucap Devan sambil mengelus pipiku.

"Jadi kamu hanya menjalankan perintah Arka?" tanyaku masih penasaran.

"Sebenarnya ini rencana Giza dan Arka, tapi saat mereka menceritakan rencana itu, aku pun menyetujuinya," ucap Devan tanpa menjelaskan secara rinci.

"Giza!" ucapku lirih.

"Iya, sepertinya ia benar-benar ingin memperbaiki kesalahannya," ucap Devan.

Aku tak menanggapi ucapannya dan memilih merebahkan tubuhku di ranjang. Rasanya aku benar-benar lelah. Devan mencium keningku dan berjalan meninggalkan kamarku.

****
Aku mengunjungi salah satu hotel milik Devan. Ia memintaku untuk menemuinya, karena papa dan mamanya mengajak makan siang.

Jantungku berdebar tak menentu. Ini pertama kalinya aku akan bertatap muka dengan papanya Devan. Walau sudah beberapa kali aku mengobrol dengan papa Devan lewat telepon tapi tetap saja ada rasa gugup yang menghinggapiku.

Karena terlalu tergesa-gesa aku tak sengaja menabrak cleaning service yang sedang mengepel.

"Maaf , Mbak. Saya tak sengaja," ucapku sambil membantunya berdiri.

Ia mendongakkan wajahnya. Aku terkejut bukan main saat tahu siapa yang aku tabrak.

"Tia," ucapku pelan.

Ia juga tak kalah terkejutnya denganku. Ia bergegas membereskan peralatannya dan berlalu dari hadapanku.

Apa yang sedang ia lakukan di sini? Dan kenapa ia memakai baju cleaning service?

Tbc...

Beberapa part lagi tamat...
Gantian fokus cerita lain.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top