3. Yang Sebenarnya
Hari sudah mulai gelap. Matahari sebentar lagi akan tenggelam. Sejak pengakuan Bhuvi, Jeka menjadi sedikit serius. Anak laki-laki itu pastinya penasaran dan ingin Bhuvi membuktikannya.
"Serius disini?" tanya Jeka yang mulai kelelahan.
Bhuvi mengangguk yakin, "iya. Aku yakin disekitar sini, tapi sumurnya menghilang."
Jeka menghela napas panjang. Tubuhnya lelah, tapi rasa penasarannya sangat besar. Mereka pun kembali menyusuri sekitar perbatasan desa.
Jeka kembali bersandar di tumpukan batu dan kayu yang menjulang cukup tinggi. Tumpukan itu mulai berjatuhan karena Jeka mendorongnya.
"Oh, aku merusak pembatas desa," ujar Jeka seraya menumpuk kembali kayu dan batu yang berjatuhan.
Bhuvi menahan Jeka yang sedang menumpuknya lagi. Bhuvi memperhatikan 'pembatas' itu seperti seorang pengamat handal.
"Ini bukan pembatas, Jeka. Ini sumurnya," ucap Bhuvi girang.
Jeka ikut mengamati. Disana, dekat dengan bebatuan kecil bertaburan kulit kacang dan sampah plastiknya. Itu pasti kulit kacang yang sering Bhuvi beli di warung Pak Bimin.
"Jeka, ayo bantu bongkar!" seru Bhuvi sambil berusaha menurunkan batu-batu besar.
Jeka pun ikut membantu, tapi batunya sangat besar. Tangan kedua anak-anak itu tidak bisa mengangkat batunya.
Terlihat Pak Bimin dari kejauhan berlari menghampiri Bhuvi dan Jeka. Perutnya yang buncit terlihat lebih menonjol dibanding kumis lelenya.
"Jeka! Sudah. Jangan diangkat lagi!" ucap Pak Bimin yang terengah-engah.
"Pak, ini sumur..."
"Sudah. Jeka pulang! Ibumu mencari kamu dari tadi siang. Cepat pulang!" ucap Pak Bimin dengan tegas.
Bhuvi terdiam. Belum pernah ia melihat Pak Bimin dengan sikap seperti itu. Biasanya Pak Bimin selalu tersenyum ramah, tapi kini wajah pria itu nampak garang.
"Bhuvi, besok ketemu di sekolah. Aku pulang dulu," ucap Jeka yang kemudian berlari menjauh dari perbatasan desa.
Setelah Jeka tidak terlihat lagi, Pak Bimin baru menoleh pada Bhuvi. Baru kali ini Bhuvi takut melihat Pak Bimin.
"Berhenti, Bhuvi. Sudah cukup!" ucap Pak Bimin dengan suara pelan yang begitu jelas.
Bhuvi tidak mengerti maksud Pak Bimin. Ia mengulurkan sebungkus kacang kulit yang ia beli di warung Pak Bimin. "Sumurnya ada disini."
Pak Bimin tiba-tiba menangis. Air matanya rebas tak terbendung.
"Maaf, Bhuvi. Maafin Pak Bimin," lirih pria itu yang masih belum bisa menghentikan tangisnya.
Bhuvi semakin bingung. Ia menatap sumur yang sudah ditumpuk batu dan kayu dengan wajah murung. Seketika Bhuvi merasa sesak, seperti tenggelam didalam kolam. Bhuvi kesulitan bernapas dan tubuhnya melemas.
"Pak Bimin minta Bhuvi jangan ganggu Jeka lagi," ucap Pak Bimin dengan wajah kembali tak ramah.
Kini air mata Bhuvi yang rebas. Rasa sesak itu masih terasa dan ia tidak mengerti apa sebabnya. Ditambah sikap Pak Bimin yang mendadak dingin membuat Bhuvi semakin sedih.
"Teman yang Bhuvi punya cuma Jeka, Pak," suara Bhuvi terdengar amat lirih sampai bisa membuat Pak Bimin kembali menangis.
Pak Bimin berjongkok, mensejajarkan tubuhnya agar bisa melihat wajah Bhuvi dengan jelas. Pria tambun itu menggenggam tangan Bhuvi yang dingin. Kenangannya melambung ke masa lalu membuat pria itu semakin merana.
"Neng, Bapak tau betul Bhuvi anak yang baik. Tapi dunia Bhuvi dan dunia Jeka sekarang sudah berbeda. Bapak minta maaf atas kesalahan Bapak. Tuhan memang lebih sayang Bhuvi," dengan hangat Pak Bimin membawa tangan Bhuvi kedalam pelukannya. Tangan kecil nan dingin yang ia pegang satu bulan lalu.
✓✓✓
Continue....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top