Bhuvi dan Anak Napi

Bhuvi mendengar seruan dan makian dari anak-anak kompleks. Yang kebanyakan dari mereka memiliki pakaian bagus dan barang-barang bagus yang selalu bisa gonta ganti. Tidak seperti anak-anak panti yang hanya memakai barang sumbangan atau beli baju baru satu tahun, satu.

Anak lelaki yang bersama Bhuvi hanya bisa diam, entah kenapa tidak membantu anak yang dirundung itu. Bocah berkucir dua yang sekarang jongkok sambil menangis di trotoar. Orang-orang dewasa hanya melihat sekilas dan menganggap pertengkaran anak kecil biasa.

Padahal, semua itu terjadi di depan tempat umum, depan warung kue dan counter ponsel. Wajah Bhuvi terasa semakin panas saat melihat ada plastic yang berisi kotak martabak yang isinya berceceran.

Apa anak-anak kompleks tidak pernah diajar dengan benar oleh orang tua mereka?

“Hentikan!” teriak Bhuvi dengan suara yang berbeda. Seolah suara itu tidak berasal dari mulutnya sendiri.

Teriakan Bhuvi membuat beberapa anak terdiam dan berhenti mengolok-olok gadis kecil yang berjongkok.

Bhuvi segera menghampiri anak gadis itu dan sedikit terkejut karena anak itu tidak lain adalah Rara. Bhuvi mencoba menenangkan Rara.

Sedangkan saat itu si anak lelaki yang bersama Bhuvi tadi entah kenapa menjadi sasaran selanjutnya, seolah terlihat lebih empuk untuk menjadi sasaran bully. Anak-anak kompleks kini lebih brutal, mulai dari mendorong dan melempari anak lelaki itu dengan kerikil kecil.

“Hei hentikan!! Jangan!” teriak Bhuvi lagi.

“Haha! Kau mau juga? Apa sekarang anak-anak panti juga berteman dengan anak napi ini?”

“Pantas saja, pasti kalian sama-sama punya orang tua yang tidak jelas! Atau kalian malah tidak punya orang tua hahaha!!”

“Bisa saja kalian ditemukan di tempat sampah kan?”

“Tunggu, mereka kan calon penjahat dan sampah masyarakat! Haha!”

Untuk anak-anak usia empat belas tahun, mulut mereka merobek-robek hati anak yang lebih muda. Bhuvi sangat marah, tetapi dia terlalu ringkih untuk melakukan sesuatu. Baru maju satu langkah, dia sudah didorong sampai terjengkang, beruntung tubuhnya baik-baik saja.

Si anak lelaki panik, dia juga merasa bersalah karena lemah. Hingga akhirnya dia menghampiri seorang pria yang berdiri di bawah tiang listrik depan counter ponsel itu.

Setelah berbicara sejenak dengan setengah memaksa, pria itu akhirnya mau membantu dan mengusir anak-anak nakal kompleks. Bhuvi dan Rara tampak pias dengan wajah yang merah karena marah sekaligus takut.

“Terima kasih, Paman,” ucap Bhuvi kepada pria dewasa yang membantu mereka itu.

“Tidak masalah,” pria itu langsung melenggang pergi.

Bhuvi melihat sesuatu jatuh dari saku jaket pria tadi dan segera mengambilnya lalu menyusul.

“Paman!”

Pria tadi berhenti dan berbalik dengan tatapan bertanya-tanya.

“Ada apa lagi?” tanyanya.

“Ini jatuh,” ucap Bhuvi sambil menyerahkan sebuah bungkusan kecil berwarna hitam yang isinya entah apa.

“Oh makasih, kau anak baik ya? Di mana rumahmu?” tanya pria itu melunak setelah mengetahui niat baik Bhuvi mengembalikan barang miliknya yang jatuh.

“Panti Sinar Bunda, Paman,” jawab Bhuvi.

Pria itu menatap Bhuvi sejenak dan kemudian menatap kedua temannya yang ada di belakang. Sepertinya dia harus melakukan tugas kecil lainnya.

“Bagaimana kalau kuantar?” tanyanya.

“Benarkah, tapi tunggu sebentar paman. Rara menangis terus sejak tadi,” ucap Bhuvi bingung.

Bhuvi kembali dan mencoba mengajak bicara Rara. Rara hanya menunjuk pada bungkusan plastic yang isinya tercecer.

“Aku tidak berani pulang, Tante Maya pasti akan marah,” ucap Rara.

Bhuvi berpikir sejenak dan membuka tas kecilnya. Ada selembar dua puluh ribuan.

“Tadi cuma sisa sepuluh ribu…,” ucap Rara masih dengan sesenggukan.

“Memang tadi habis berapa?” tanya Bhuvi.

“Empat puluh ribu, uang ini tidak akan cukup,” Rara menangis lebih keras.

Melihat hal itu, si anak lelaki itu merogoh sakunya dan mengambil uang receh yang beberapa terjatuh. Uang seribuan dan dua ribuan itu disatukan dan dihitungnya kembali.

“Ini ada sembilan ribu. Coba kita minta lebih murah ke penjualnya,” ucapnya.

Bhuvi menatap anak lelaki itu heran. Mereka bahkan tidak saling kenal.

“Memangnya tidak apa-apa?” tanya Bhuvi.

Anak itu mengangguk dan bergegas ke warung kue. Dia berbicara sejenak dengan penjualnya dan langsung melambaikan tangan ke arah Bhuvi. Mereka pun berhasil membeli kembali pesanan dari Tante Maya.

Pria yang tadi hanya memperhatikan dari jauh karena memang di satu alasan dia tidak ingin terlibat lebih jauh dengan anak-anak itu.

“Siapa namamu?” tanya Bhuvi ke anak lelaki.

“Ren,”

“Kamu tinggal di mana?” tanya Bhuvi.
Pertanyaan itu membuat Ren cukup risih.

“Di dekat sini kok. Sudahlah, kalian pulanglah,” ucap Ren.

“Hmn oke,”

Bhuvi pun pulang bersama Rara. Pria dewasa yang tadi juga hanya mengantar dari kejauhan. Hari itu sungguh melelahkan bagi Bhuvi. Beberapa bagian tubuhnya terasa sakit.

“Bhuvi, terima kasih sudah membantuku,” ucap Rara.

“Tentu saja aku membantumu, Ra,”
Rara memeluk Bhuvi erat-erat. Bhuvi tersenyum dan mengelus punggung Rara.

“Ayo kita kasih ini ke Tante Maya,” ajak Bhuvi.

“Oke ayo!”

Bhuvi dan Rara bergegas memberikan pesanan itu dan semuanya beres. Tidak ada omelan apapun. Elisa pun sudah kembali ke panti sebelum mereka kembali. Bhuvi merasa lega dan segera kembali ke kamarnya usai makan malam bersama.

Rara juga enggan membahas persoalan yang tadi karena mungkin trauma terhadap bullying yang telah terjadi. Malahan Rara sekarang sedang sibuk melakukan sesuatu terhadap celengan miliknya.

“Ra, apa yang kamu lakukan?” tanya Bhuvi heran.

“Ini, aku kembalikan uang Bhuvi yang tadi. Maaf ya,” ucap Rara sambil menyodorkan beberapa receh yang sudah dihitung sejumlah dua puluh ribu.

Bhuvi menerimanya dan menatap Rara sejenak. Wajah Rara tampak sedih, akhirnya Bhuvi menghitung sepuluh ribu dan mengembalikannya kepada Rara.

“Ini buat Rara, ditabung ya. Mungkin Rara rugi sepuluh ribu, yang sabar namanya musibah,” Bhuvi tersenyum.

“Wahh, makasih Vii!”

Bhuvi mengangguk dan memasukkan sepuluh ribu lainnya ke dalam kantongnya sendiri. Besok, dia akan memberikannya untuk anak itu.

Malam itu, Bhuvi tidur dengan tubuh kelelahan sampai terlambat bangun di pagi hari. Saat bangun, bahkan belum cuci muka, Bhuvi berlarian ke taman dan mengintip keluar pagar.

Bhuvi ingat sekali kalau anak sekolah biasanya berangkat sebelum jam tujuh. Apa dia terlambat? Apa Ren, anak laki-laki itu sudah berangkat?

Bhuvi menunggu setengah jam dan menyerah. Dia kembali ke panti dan melakukan aktivitas. Ada guru khusus di panti, jadi Bhuvi tidak perlu sekolah.

Siangnya, Bhuvi kembali menunggu di dekat pagar. Melihat anak-anak sekolah berjalan pulang. Satu jam menunggu, Bhuvi tidak kunjung melihat Ren. Akhirnya, Bhuvi kembali ke dalam Gedung panti untuk makan siang.

“Vi, apa kau mencari anak laki-laki yang kemarin?” tanya Rara.

Bhuvi hanya mengangguk.

“Kau bisa ke warung kue itu lagi. Saat itu dia di sana, tepat sebelum anak nakal kompleks mengeroyokku,” ucap Rara.

Bhuvi melebarkan mata. Benar juga! Seharusnya dia keluar untuk menemui anak itu! Maka sorenya pun Bhuvi memutuskan keluar panti dan meminta izin kepada Tante Maya. Tante Maya yang merasa curiga pun menyuruh Elisa, kakak Bhuvi untuk mengikuti adiknya.

Bhuvi tidak tahu kalau kakaknya mengikuti ke mana dia pergi. Bhuvi berhenti di depan warung kue dan menoleh ke sana kemari. Tidak ada Ren. Penjual kue juga tampak sibuk. Bhuvi pun hanya bisa berdiam diri menunggu.

Elisa hampir saja keluar dari persembunyiannya saat seorang anak laki-laki berlarian kecil menghampiri Bhuvi.

“Ren!” Bhuvi memekik senang.

“Hei, kenapa kau ada di sini?” tanya Ren heran.

“Ini uang kamu yang kemarin. Aku sempat menunggumu, apa kau tidak sekolah hari ini?” tanya Bhuvi yang kesulitan merangkai kata-kata.

“Aku tidak sekolah,”

Bhuvi terdiam. Sementara itu, dari kejauhan Elisa sudah berlari pulang ke panti dan melapor kepada Tante Maya tentang apa yang dilihatnya.

Bhuvi sempat mengobrol asyik dengan Ren. Namun, Ren tampak tidak enak.

“Sebaiknya kamu pulang, atau kamu akan ketemu dengan anak-anak yang kemarin lagi!” tegas Ren.

Bhuvi terdiam. Benar juga yang dikatakan Ren. Akhirnya, Bhuvi mengakhiri pertemuan itu dan bergegas pulang.

“Ren, kapan-kapan mainlah ke panti!” Bhuvi melambaikan tangannya.

Ren mengangguk. Namun, saat Bhuvi berbalik dan mulai menjauh, Ren bergumam, “itu tidak akan mungkin”.

Bhuvi yang baru saja melangkah masuk ke panti kebingungan karena di sana sudah ada Tante Maya yang memasang wajah muram. Padahal, biasanya Tante Maya ada di dapur membantu mempersiapkan makan malam.

“Tan—”

“Bhuvi, besok kamu tidak boleh keluar lagi. Kalau keluar, kamu harus bareng Elisa,” tutur Tante Maya.

“Hah? Kenapa Tante? Bhuvi kan nggak melakukan kesalahan!” tegas Bhuvi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top