Bhuvi dan Anak Napi

"Bhuvi! Di mana kakakmu, si Eli?" tanya sebuah suara keibuan.

Bhuvi menoleh dan menemukan Tante Maya dengan wajah muram.

"Tidak tahu Tante, mungkin dia sudah keluar siang tadi untuk melihat pawai. Tante tahu sendiri kalau kakak sangat suka arak-arakan super meriah itu,"

Bhuvi kembali ke kegiatannya, bermain lego bersama Sasa dan Rara.

Bhuvi yang tengah asyik tidak sempat mendengar Tante Maya yang mendengkus kesal. Sedang Rara dengan mata bulatnya terus memperhatikan Tante Maya. Rara selalu curiga saat Tante Maya mencari Kakak Bhuvi, Elisa.

Biasanya, setelah disuruh sesuatu, Tante Maya memberikan upah untuk Elisa, dan diam-diam Rara mengetahuinya. Sedang Bhuvi, saudaranya sendiri malah tidak peduli.

Tante Maya juga tidak berharap Bhuvi mau menggantikan Elisa untuk menuruti beberapa perintahnya, karena berbeda dengan Elisa, Bhuvi tidak pernah tertarik dengan hal apapun kecuali mainan.

"Ya sudahlah, nanti kalau kakakmu sudah pulang, beritahu dia untuk menemui Tante," ucap Tante Maya dan segera pergi.

Bhuvi mendengar, tetapi dia diam saja. Bhuvi tengah asyik bermain dan mementaskan imajinasinya di atas puzzle-puzzle lego.

"Vi, kamu ada permen?" tanya Sasa yang mulai bosan.

Bhuvi menatap Sasa dan menggeleng.

"Sepertinya Mbak Mona punya!" pekik Rara tiba-tiba.

"Benarkah?" tanya Sasa lagi.

"Ya! Kau pergilah menemui Mbak Mona!"

Tak perlu waktu lama, Sasa meninggalkan Bhuvi dan Rara untuk mencari Mona. Rara menatap Bhuvi sekali lagi. Mereka seumuran, Bhuvi adalah anak yang kurus dan cuek sedangkan Rara adalah anak yang imut dan periang. Rara terpaksa bermain dengan Bhuvi karena memang tidak ada orang lain yang seumuran dengannya. Sasa masih terlalu kecil dan Bhuvi membosankan.

"Vi, aku pergi dulu,"

Bhuvi mengangguk saja. Rara segera pergi menemui Tante Maya dan menawarkan bantuan.

"Tan! Tante Maya yang cantik! Tante bisa menyuruh aku apapun! Tidak perlu Kak Eli, Rara juga sudah besar!" rayu Rara.

Tante Maya menatap kedua mata Rara yang bulat itu. Dirinya berpikir sejenak dan menimbang.

"Boleh deh, ya sudah begini Rara, Tante mau kamu beli tiga kotak martabak dan seplastik klepon untuk Tante. Nanti malam kan ada acara. Nah ini, sisa uangnya buat kamu," ucap Tante Maya sambil memberikan selembar lima puluh ribuan.

Rara menerimanya dengan suka cita.

"Oke Tante! Rara berangkat dulu ya!"

"Emang Rara tahu belinya di mana?" tanya Tante Maya.

"Tahu Tan! Warung samping counter hp itu kan?" jawab Rara dengan percaya diri.

Tante Maya tersenyum dan mengangguk.

"Baguslah, kalau begitu hati-hati di jalan!"

Rara sudah melesat pergi dengan langkah-langkah kecil yang riang. Sementara itu, Tante Maya kembali ke ruang tamu dan menyiapkan tempat. Hari sudah semakin sore saat Bhuvi mendengar azan Asar.

"Ke mana Rara?" gumamnya tidak terlalu keras.

Bhuvi berjalan menuju ke dapur, membuka kulkas dan meraih botol air putih. Selanjutnya, Bhuvi berjalan keluar. Di taman hanya ada beberapa anak yang bermain, pasti sisanya tidur siang dan belum bangun.

Bhuvi kembali ke kamarnya dan mengambil tas kecilnya. Saat melangkah keluar, Tante Maya tengah melintas.

"Bhuvi! Aku cari kamu ke mana-mana!" pekik Tante Maya.

"Memangnya ada apa Tante?" tanya Bhuvi tidak mengerti.

"Di mana kakakmu? Ini sudah terlalu sore! Dia belum pulang!"

Bhuvi terdiam. Benar juga, di mana Kak Eli?

"Tan, kalau begitu aku akan cari kakak. Tante tenang saja," ucap Bhuvi serius.

"Kamu yakin? Bhuvi, kamu kan jarang keluar panti," Tante Maya merasa ragu.

Bhuvi menatap keluar, lebih jauh dari taman, pagar.

"Aku tahu rute pawai Tan. Lagipula, Bhuvi juga sudah hapal kompleks ini, sudah tiga tahun sejak hari itu," ucap Bhuvi.

Sebagai anak pendiam yang baru berusia sembilan, Bhuvi dianggap kanak-kanak oleh siapapun yang melihatnya.

"Hmn, baiklah Bhuvi. Hati-hati di jalan, kalau ditanya orang jawablah dengan sopan. Selain itu, jangan dekat-dekat dengan orang asing. Mungkin saja mereka adalah penculik. Pokoknya waspada!" tegas Tante Maya.

"Baik Tante," Bhuvi berbalik dan mencari sandalnya. Lalu berjalan pelan keluar.

Jalanan tidak terlalu ramai, hanya saja memang banyak sisa-sisa sampah pawai. Bhuvi berjalan tanpa tergesa meninggalkan Panti Sinar Bunda, tempatnya tinggal tiga tahun ini.

Bhuvi yang berjalan di trotoar melewati beberapa toko dan sebuah lapas yang tampak sepi. Bhuvi berhenti sejenak, dia terpaku menatap bangunan yang terlihat horror itu. Kenapa tempat seperti ini terlihat menakutkan? Apa karena dosa-dosa orang di dalamnya? Atau karena anggapan orang yang berlebihan?

Bhuvi sering bertanya-tanya soal itu. Seperti apa kejahatan yang bisa dianggap jahat? Ingatan Bhuvi samas-samar melayang ke masa lalu. Seorang pria dewasa yang memukul pasangannya. Dan wanita dewasa yang suka bermain dengan banyak pria berbeda.

Kejahatan mana yang harus dihukum? Kejahatan apa yang harus dia hindari?

Bhuvi menggelengkan kepala, kalau terus memikirkan semua itu dia akan mengutuk Tuhan. Kata Tante Maya hal itu tidak boleh lagi mengganggu pikirannya.

Srakkk!

Bhuvi menoleh, seorang anak lelaki yang mungkin berusia dua belas karena lebih tinggi darinya menatap Bhuvi dengan wajah pasang surut.

"Kamu siapa?" tanya Bhuvi tidak mengerti karena anak lelaki itu menatapnya tajam.

"Kau anak panti?" tanyanya cepat seolah lidahnya bisa bergerak secepat kilat, berbeda dengan Bhuvi yang bicaranya pelan.

"Iya, kenapa?"

"Di sana! Anak-anak kompleks sedang merundung anak cewek berkucir dua, sepertinya dia anak panti juga sepertimu!" jawab anak lelaki itu.

"Hah? Masa sih?" Bhuvi melebarkan matanya.

Apa itu kakaknya, Elisa?

"Beritahu aku di mana, cepat!" seru Bhuvi.

Anak lelaki itu menarik tangan Bhuvi dan mereka berjalan cepat setengah berlari. Bhuvi hampir jatuh karena beberapa kali tersandung. Namun, kalau tidak diseret anak lelaki itu, Bhuvi pasti akan tertinggal jauh.

"Itu dia!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top