Extra chapter (Estrella Full)

halo temen2

MAAF BANGET BARU UPDATE EXTRA CHAP INI😭

semoga suka ya! selamat membaca yaaa, jangan lupa vote/komen❤️

▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃

SEPANJANG perjalanan menuju bandara, Estrella duduk di dalam mobil sambil memandangi rinai yang membasahi kaca jendela. Ia mengecek ponselnya sebentar, lalu memandang jejeran ruko di jalan raya. Namun, matanya menyipit saat ada sesuatu yang mencuri perhatiannya.

Sontak Estrella berseru. "Pak, pak! Berenti, pak!"

"Kenapa, non?" Pak Bani menoleh ke belakang sebenta, kemudian pandangannya beralih ke arah tangan Estrella yang menunjuk bengkel kecil di pinggir jalan.

"Itu temenku!"

Pak Bani kembali melihat ke depan sebelum mobil yang ia kendarai mundur, dan berbelok ke arah yang Estrella intruksikan. Pak Bani menarik rem persis di depan bengkel tersebut. Estrella menurunkan saklar jendela mobil.

"Tamam!"

Laki-laki berhoodie marun yang tengah duduk di bangku bengkel itu menoleh dengan raut kaget. "Eh, Estrella!" Balasnya, ia langsung berdiri.

"Kamu kenapa?"

"Hah?" Tamam tak dapat mendengar.

"Kamu kenapa?" Ulang Estrella, teriak.

Tamam mengernyit sejenak, lalu menyahut. "Ah. Ini— ban motor gue bocor di tengah jalan tadi, untung ada yang bantuin!"

"Yaudah ayo ikut mobilku aja!"

"Motor gue kan gak bisa dititip sini, Es!"

Ah iya juga ya.

"Yaudah gak papa lo duluan aja gih, kasian ntar pada nungguin!"

Estrella langsung menyahut cepat. "Ih— nggak! Kalo gitu aku bareng kamu aja gimana?"

"Lah? Nggak—"

"Lagian anak-anak pada belum jalan kok, Mam?"

"Hah? Tuh cewek-cewek pada belom jalan?"

Capek berteriak, Estrella tidak langsung menyahut.
Perempuan berkardigan khaki itu meminta sopirnya balik duluan dan tidak perlu menjemputnya lagi, sebelum turun dari mobil.

Melihat perempuan itu membuka pintu mobil dan berlari kecil menghampirinya, Tamam tidak dapat menahan pelototan kagetnya. Tak lama, Pak Bani membunyikan klakson sekali, bermaksud pamit sebelum berbelok arah pulang.

"Ya ampun dibilang gak usah?" Tamam jadi tak enak. Ia memandang Estrella sangsi. "Es, gue gak boong. Ini bakalan lama deh kayaknya."

"Udahlah. Lagian gak pengen jugalah aku sendirian kayak anak ilang di airport."

"Tapi ini ujan, Estrella."

"Hujan kan cuma air, Tamam."

Keduanya saling diam.

Tamam menarik kursi plastik hijau, dan memutarnya ke arah Estrella, menyuruh perempuan itu duduk. Estrella menurut, ia mengeluarkan ponsel menanyakan posisi teman-temannya. Tamam yang masih berdiri di dekat Estrella, akhirnya berjongkok dan memandang perempuan itu dengan raut heran.

"Eh tapi serius deh, kenapa cewek-cewek pada belom jalan si?"

Estrella mengunci layar ponselnya sebelum menyahut. "Jadi gini," ia menjeda sejenak. "Gara-gara Kievlan bawa mobil yang Audi, Aci sama Anika belum jalan sampe sekarang."

"Lah?" Tamam mengernyit, seketika teringat percakapan di grup. "Tapi iya sih, tadi di grup Si Kipli juga laporan kalo dia anter neneknya dulu ke Serpong, baru jemput Giska. Anjrit. PR banget ya?

Estrella mengangguk. "Mana di mobilnya yang Audi cuma ada dua joknya..."

"Lah terus Aci sama Anika gimana?"

"Nah ini." Estrella menyelipkan rambutnya dibalik telinga. "Yang makanya daritadi bikin panas. Kan kita tau ya, Eja ke airport pake mobil keluarganya, harusnya mereka ikut mobil Otang aja gak sih biar simpel?"

"Lah iya aturan begitu..." Tamam menggumam pelan. Estrella hanya bisa mendengus pelan sambil menurunkan kedua tangannya. "Lagian kenapa sih mereka?" Tambahnya.

Dengusan Estrella keluar lagi, kali ini lebih keras. Ia tak menyahut apa-apa dan menatap kosong jalanan yang kini dipenuhi rinai hujan.

"Kalo gue si ketauan gak bawa mobil karna dipake abang gue sama bonyok. Mobil gue kan dua doang, gak kaya mereka yang masing-masing ada."

Estrella menggeleng lemah. "Anika nih makanya batu banget, aku bingung deh sama dia," ujarnya.

Tamam belum menyahut, laki-laki itu berdiri, dan menoleh sekitar. Matanya menyipit melihat kios sebelah kiri. Ada coffeeshop kecil di sana. Laki-laki itu menoleh lagi ke Estrella. "Lo mau neduh di situ dulu gak? Gue traktir toast deh," ujarnya.

Estrella mengangguk, sejujurnya ia merasa kasihan melihat Tamam tidak kebagian duduk. "Boleh deh," sahutnya.

Setelah memasang hoodie kepalanya, Tamam mengambil sekantong kresek dari dalam sakunya, dan memasangkannya ke kepala Estrella. Estrella sempat terkejut, namun ia buru-buru menyusul
Tamam dengan langkah cepat.

Beruntung coffeeshop sedang sepi, Estrella lantas duduk di kursi paling pojok di bawah AC, menunggu Tamam.

Tak sampai sepuluh menit, Tamam hadir membawa dua toast dan dua cup greentea panas.

"Lo nggak ngopi kan? Gue beli greentea, takut kesalahan."

"Iya gak papa, makasih ya. Jadi berapa?"

"Udah deh." Tamam menjauhkan cup greentea-nya dari mulut. "Btw, coba deh lo tanyain di grup lo udah pada jalan belom? Gue juga tanyain Si Otang deh. Soalnya kan Eja flight-nya kan dua jam lagi..."

Estrella menghela napas pelan-pelan. "Anika... Anika... kenapa sih batu banget?" gumamnya.

"Sumpah gue bingung banget sama cerita Anika-Otang, deh dari dulu."

"Bukan maksud gua ngajak lu bergibah... Tapi gimana ya? Mereka itu gak pernah ada hubungan, tapi— gesturenya kayak orang yang ada apa-apa gitu gak si?" Tamam melanjuti. "Anjing, belibet banget ya gue?" Sadar salah ucap, ia buru-buru meminta maaf. "Maap— maap, Es. Keceplosan."

"Santai."

"Ya kita tau lah cerita mereka."

"Ya... bukannya mau jelekkin temenmu, tapi kan kita tau dia kayak gimana."

Tamam mengerutkan kening. "Tapi dulu tuh kelas sepuluh Otang gak kayak gitu, tau, Es."

"Hah?"

"Iya. Pas kelas sebelas aja dia mulai gila cewek, gak tau dah."

"Jangan bilang—"

"Lo mikir dia ke-trigger gara-gara Anika gitu?" Potong Tamam, seakan tahu isi kepala Estrella.

Estrella tak menjawab, ia hanya mengernyit sambil terkekeh pelan, lalu menggeleng geli.

"Tapi kalo dibalikin, harusnya Anika fine-fine aja ya gak sih liat Otang yang begitu? Maksud gue, kan yang jelas nolak tuh dia, tapi kenapa malah dia yang rada sinis ke Otang kayak seolah-olah dia yang panas?"

"Aku gak berani komen sih kalo ini," sahut Estrella pelan, ia menarik cup-nya sebelum menyesap greentea-nya.

"Ya.. harusnya kalo dia gak ada rasa sama Otang dia b aja dong liat Otang sama cewek manapun? Ya gak sih?"

Estrella tidak langsung menyahut. Omongan Tamam memang benar, tetapi ia yakin dibalik sikap Anika, pasti ada sesuatu yang besar pernah terjadi diantara mereka, meski ia tak tahu apa. Selama ini ia selalu menduga-duga. Lantaran baik Rajas maupun Anika, mereka sama-sama dingin saat berhadapan langsung.

Memang bukan yang dingin saling buang muka, atau silent treatment— mereka kadang berbicara, tetapi intonasinya berbeda. Seperti ada emosi yang tersirat diantara keduanya.

Makanya, hingga sekarang Estrella dkk hanya bisa menerka-nerka tanpa pernah tahu cerita yang sebenarnya.

Mengingat, Anika sangat tertutup mengenai persoalan asmaranya.

"Tapi jujur, Anika tuh gak pernah terang-terangan ngungkapin ke kita tentang perasaan dia ke Otang kayak gimana."

"Oh ya?"

Estrella mengangguk tegas. "Dia malah pernah ditanya sama Giska, sebenernya ada rasa gak sih sama Otang? Malah jawabnya, apaansih? Ya nggak lah, gitu," ujarnya, menirukan gaya Anika. "Dan mukanya tuh bener-bener yang sewot banget gitu. Aku nggak ngerti deh."

"Tapi lo yakin sama jawaban dia?"

"Something between sih... antara dianya memang denial atau belum nyadar."

Tamam menyandarkan punggung dan mengusap belakang kepalanya. "Anjir, gak nyangka gue. Nyambung juga ya ternyata ngobrol sama lo," ucapnya, menyengir.

"Ya gimana? Yang kita obrolin kan temen kita sendiri."

Tamam mencondongkan punggungnya. "Tapi asli, Es!" Serunya. "Baru kali ini kayaknya kita ngobrol ya?"

Estrella refleks memundurkan punggung, nampak tak setuju. "Enggak ah?" sahutnya lalu mulai memakan toast-nya.

"Dulu kita padahal kan pernah sekelas ya pas kelas sebelas— udah gitu duduknya deketan, tapi kita gak pernah ngobrol. Sadar gak sih lo?"

"Ngobrol kok, kalo kamu mau pinjem pulpen?"

"Iya kalo butuh doang gitu maksud gue." Tamam memundurkan punggunya lagi. "Sumpah. Gue tuh segen tau dari dulu sama lo."

"Segannya?"

Tamam tak langsung menyahut. Laki-laki itu menarik cup-nya, menyesap greentea-nya perlahan. Matanya tertuju pada gadis yang menopang dagu dengan kernyitan di depannya.

"Gimana ya? Lo kan Estrella gitu ya," sahut Tamam, setelah menjauhkan cup dan meletakkan benda itu di atas meja. "Walaupun dulu duduknya kita deketan, lo tuh kayak ketinggian aja gitu buat gue temenin."

"Apaan sih? Emang apa dari aku yang bikin kamu insecure?" Estrella sontak menurunkan tangan, menatap Tamam heran.

"Yeh, pake ditanya lagi." Tamam menjeda sejenak. Kedua tangannya terangkat. "Intinya nih, lo tuh apa ya? Ibarat nomer satu gitulah di angkatan kita. Tercantik, udah gitu anaknya kalem baik hati, ah gitu lah, Es! Pasti ada aja anak cowok yang suka sama lo di setiap kelas!"

"Apaan sih! Kamu tuh berlebihan!"

"Orang dulu aja gue segen mau pinjem pulpen sama lo, makanya dulu gue minjem sama Giska dulu, kalo dari dia gak dapet, baru gue ke lo."

"Lebay!" Estrella berhenti mengunyah. Ia mengernyit sejenak, lalu terkekeh.

"Yang penting lo jangan sampe diem aja, kalo lo diem mampus banget gue nanti jadi nervous parah."

Melihat Tamam terus-menerus berucap dengan raut serius sambil makan membuat Estrella tertawa, entah mengapa ia merasa senang berteman dengan sosok ini. Dan lumayan menyesal baru mendapatkan kesempatan untuk mengobrol banyak dengan Tamam.

Seandainya sejak dulu, mereka akrab— pasti Estrella merasa ada warna lain di kehidupan sekolahnya.

"Kamu kayak gak pernah main ama cewek aja!"

"Emang enggak, Es."

"Hah?" Estrella nyaris tersedak. Entah sudah berapa kalinya Estrella lagi-lagi dibuat terkejut.

"Lo percaya gak kalo gue jomblo dari lahir?"

"Nggak!"

"Sumpah." Tamam mengangkat dua jarinya dengan pipi mengembung, dipenuhi roti dan isiannya.

Estrella menggeleng cepat. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. Kernyitannya hadir lagi. "Nggak mungkin!"

"Dih? Bener!"

Kernyitan Estrella semakin dalam, ia kembali menggeleng dan terkekeh. "Boong!"

"Yaudah, sekarang gini. Pernah gak lo liat gue pulang-berangkat sama cewek gitu di sekolah?"

"Pernah ah, dulu kayaknya sama Suci temen kelas kita pas kelas sebelas?"

Tamam melongo, tak menyangka jika Estrella mengingat hal tentang dirinya dan Suci. "Yeee, itumah dia nebeng!" Serunya, geli. "Emang bocah STT dia mah!"

"STT?"

"Si Tukang Tebeng."

Estrella tertawa lagi. Kali ini bahunya berguncang dan matanya menyipit. Demi Tuhan ia menyesal baru bisa mengobrol banyak dengan Tamam sekarang. "Apaan sih?"

"Lagian gak lucu sih, Es kalo lo mikir gue pacaran sama Suci gara-gara nebengin dia sekali-dua kali doang."

"Gak sekali dua kali ah perasaan?" Sahut Estrella dengan sisa tawa.

"Iya si, kan emang bocahnya tuman dia mah." Tamam menggaruk-garuk alisnya. "Dia nebeng gue mulu, karna rumahnya deketan sama gue. Udah gitu doang. Jadi aji mumpung deh dia."

Estrella tertawa lagi.

"Lo kalo mau tau nih. Di circle gue, yang bener-bener buta soal percintaan itu gue doang. Sisanya udah pada pro. Apalagi Otang. Bukan maen."

Estrella belum bisa menghentikan tawanya. Ia segera menenggak greentea setelah menghabiskan toast.

"Gue tuh apa ya, Es? Gue udah komitmen sama orangtua gue buat gak pacaran di SMA, karna keluarga gue lumayan religius banget. Sampe-sampe mereka nyuruh gue ta'aruf di Kairo sekalian kuliah nanti."

Kali ini Estrella sanggup menahan tawanya, tetapi tidak dengan rasa kagetnya. "Hah? Kamu mau kuliah di Kairo?" Tanyanya seraya mencondongkan punggung.

"Kenapa? Gak pantes ya?" Tamam sebenarnya sudah mendapat respon serupa dari Kievlan, Eja, dan Rajas.

"Bukan bukan, abis aku—"

Tamam mengangguk cepat, paham betul sifat tak enakan perempuan di depannya. "Iya tau gue lo gak nyangka. Gak lo doang kok, Es yang begini. Santai," potongnya, dengan senyum seperti logo Kumon.

"Iya oke maaf." Estrella memasang raut seserius mungkin, dan meluruskan punggungnya. "Terus kamu mau berangkat kapan?"

"Tahun depan. Gue pengen gap dulu tahun ini."

Estrella manggut-manggut. "Hm.. i see, i see.."

"Lo sendiri nanti dimana, Es?"

"Aku di Bali nanti."

"Mantab, LDR dong nanti?" Tanya Tamam, toast-nya baru habis.

"LDR?" Estrella terheran, Tamam menaikkan alisnya. "Emang kamu gak tau ya?" sambungnya, agak heran jika kabar itu belum sampai ke telinga Tamam.

"Hah?"

"Demi apa si kamu gak tau?"

"Apaan si?" Tamam belum menurunkan alisnya.

"Ghazi kan?" Estrella tersenyum simpul. "Aku udah enggak sama dia!"

Tamam melotot. "Hah? Boong lu!"

"Lah? Emang bukannya udah pada tau ya?"

"Serius gue baru tau. Orang anak-anak juga gak ada yang bahas?"

"Lagian emang gak penting juga si."

Tamam menggaruk-garuk alisnya. "Penting lah, Es, kan biar gimana lo bagian dari circle gue juga. Sahabat lo pacarnya sahabat gue," ucapnya.

"Ya emang diantara aku sama dia sama-sama belum hapusin foto berdua di IG juga sih..."

"Jangan, Es." Tamam melipat kedua tangannya di atas meja. "Nanti yang ada feeds lo jadi kandang buaya berbahaya."

Estrella lagi-lagi tertawa. "Masa kayak gitu!"

"Lagian jujur ya, bukannya apa-apa nih." Tamam diam sebentar, kernyitannya hadir lagi. "Lo tuh sebenernya kurang greget tau sama Ghazi, kalo gue liat-liat."

Estrella tertawa dengan kernyitan lagi. "Kurang greget?"

Tamam menghela napas, mencari pemilihan verbal yang tepat. "Iya. Soalnya apa ya?" Ia menurunkan tangannya. "Gue kan pernah sekelas sama lo berdua. Gue tau lah keseharian kalian gimana walaupun pasti banyak sisi yang gue gak tau. Tapi seenggaknya gue bisa nyimpulin lah. Lo tuh orangnya gimana, Ghazi gimana. Maap banget nih gue bilang gini."

Estrella tak dapat menghentikan tawanya.

"Lo berdua tuh krik-krik, anjir!" Sambung Tamam, sangsi. Kali ini Estrella terbahak-bahak. Ia menepuk tangannya, sebelum menutup wajahnya. "Eh, sumpah demi Allah. Maap nih ampe nyebut. Tapi beneran."

Estrella menggeleng geli, tak percaya akan hal yang baru saja didengarnya.

"Gimana ya? Dua orang pendiem disatuin jadinya yaudah kayak perpaduan Dolby Atmos mode silent," lanjut laki-laki itu.

Estrella menutup mulutnya, tak dapat menahan kegeliannya melihat kegigihan Tamam untuk berpendapat meski sebetulnya ia juga merasa bersalah.

Kini ia mengerti alasan beberapa temannya menjuluki Tamam 'Si Bingung'

"Asli, Es. Ini sudut pandang gue aja ya. Cewek kayak lu tuh cocoknya sama cowok-cowok yang rame gitu—" Tamam menggeleng dan buru-buru meralat ucapannya. "Tapi gue nggak lagi ngode nih ya! Sumpah demi Allah nih!"

"Ya udah si, Mam! Percaya gak usah pake sumpah mulu!"

"Ya biar lo lebih yakin aja gitu," ujar Tamam dengan raut serius yang sama sekali tak pantas menurut Estrella. "Tapi beneran. Lo tu pantesnya sama yang humoris, karna apa coba? Banyak ketawa tuh sehat, bikin awet muda, hidup lo jadinya gak beban mulu. Lah kalo cowok romantis? Kerjaannya kasih bunga mulu. Emangnya mau meninggal?"

"Mam, serius aku capek?" Estrella menekan kedua pipinya, merasa pegal teralu banyak tertawa. "Kamu tuh sebelas dua belas ya sama Kievlan!"

"Dih, dikasih taunya," Tamam menjeda sejenak, ia lagi-lagi mengemukakan pendapatnya. "Soalnya apa ya Es? Lo kan hening, tenang, adem, kalem, jelita gitu. Nah si Ghazi juga sama. Jadi kalo nyatu yaudah deh, jadi couple monolog."

"Monolog?"

"Iya, jadi sama-sama diem. Kalo mau ngobrol telepati dulu," sahut Tamam tanpa dosa.

Estrella kali ini terbatuk. Ia benar-benar lelah. Tetapi di sisi lain ia tak bisa berhenti tertawa.

"Kan bengek kan? Keselek ludah tuh pasti!" seru Tamam lagi.

Estrella mulai mengatur napasnya. Ada jeda hampir sepuluh detik, sampai akhirnya ia bersuara lagi. "Tapi aku baru sadar loh, Mam. Temen kayak kamu tuh yang aku butuhin dari dulu!"

Tamam tak dapat mengelak debaran dibalik dadanya. Ia refleks menatap Estrella dengan raut tak terbaca. "Ah, Es lo jangan gitu dong."

"Enggak! Beneran!" seru Estrella, jujur.

"Lo jangan mentang-mentang lo cakep, lo boleh gombalin jomblo dari lahir ya!"

"Lah? Bagian mana coba ngegombalnya di kata-kata aku tadi?"

"Bukan gitu, Es." Tamam menelan ludah. "Lo ngerti lah. Gue kan jomblo dari lahir, bedain dong Es."

"Tapi aku masih gak nyangka sih kalo kamu jomblo dari lahir."

Bukan lo doang. "Kenapa?"

"Karna kamu tuh bagian dari circle Kievlan, dan... kalian semua tuh boy crush-nya sekolah , sadar atau enggak," sahut Estrella, serius. "Nih. Otang, Eja, Kievlan, dan kamu. Itu semua punya tampang yang cakep. Makanya aku kaget tau kamu begitu."

"Masa sih, Es?"

Perempuan berkardigan khaki itu dengan mantap mengangguk, seolah tidak ada keraguan sama sekali akan perspective-nya. Seketika Tamam merasa gugup, namun perubahan itu tak sempat diketahui oleh perempuan yang tengah menyesap greentea-nya.

Mereka terdiam. Sebetulnya Tamam menahan diri untuk tidak menceritakan sesuatu, namun entah mengapa, laki-laki itu jadi merasa Estrella sangat welcome padanya, jadi ia bisa leluasa untuk bercerita, akhirnya ia membuka mulutnya lagi.

"Ah, jadi cerita kan. Sebenernya tuh bukan karna komitmen gue sama keluarga aja, ada self-trigger-nya juga."

Estrella tak menjawab, alisnya bertaut. Ia merasa penasaran. Perempuan itu mencondongkan punggungnya, merasa antusias untuk mendengar.

Namun disaat Tamam ikut mencondongkan tubuh, tiba-tiba ponselnya berdering.

Rajasa is calling

"Bentar." Tamam menempelkan ponsel ke telinga setelah menekan opsi answer. "Halo? Dimane lo?"

Estrella memundurkan punggungnya. Memerhatikan Tamam yang kini mengernyit. "Yaudah, yaudah... Lewat tol kan lo?" Laki-laki itu menjeda sejenak. "Yaudah, nanti langsung ketemu di airport-nya aja, biar gak pake berenti-berenti lagi, soalnya Estrella ikut motor gue nih."

Estrella ikut mengernyit melihat kernyitan Tamam berubah jadi lebih dalam. "Serius. Mau ngomong ama orangnya?"

Kernyitan Tamam perlahan hilang, Estrella tersenyum simpul. "Ah, panjang dah, ntar aja ceritainnya di sana." Ada jeda beberapa detik. "Oke, berkabar ye."

Sambungan terputus, Tamam akhirnya menurunkan benda pipih itu dan memasukannya ke dalam saku celana. "Ayo, Es. Anak-anak udah pada jalan."

▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃

hehe, gimana? suka gak?

kasih tau akuu pendapat kalian yaaa!

btw buat yg belum tau Tamam, kae loh wong'e

last but not least, this is our queen!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top