Epilog

Hehe maap ya ganggu mlm2

Ada yg seneng ga ada epilog gulma? Semoga seneng ya💖

Btw, stay safe ya atas gempa yg menimpa kita hari ini! Semoga kalian ga kenapa2😞

A Fine Frenzy — Almost Lover

/g u l m a /

RUANG ujian sudah kosong sejak satu jam yang lalu. Para peserta ujian tidak langsung pulang setelah ujian dibubarkan. Pihak sekolah memperbolehkan acara coret-coretan dengan catatan, tidak menggunakan pylox.

Sebetulnya, acara ini dijadikan suatu ajang 'aji mumpung' terutama oleh kaum cowok. Estrella yang beberapa kali diajak foto berdua oleh teman-temannya hanya menurut pasrah, dan menyunggingkan senyum.

Perempuan itu menghela napas lega. Semua beban di sekolahnya telah usai. Tinggal menunggu pengumuman kelulusan dan test masuk universitas.

Gadis itu menghampiri ketiga sahabatnya yang duduk manis di bangku panjang kantin.
Seperti biasa, posisi duduk yang perempuan itu di paling pinggir.

Tidak ada hal penting di pembahasan ketiganya. Mereka sibuk mencibiri Aci yang terus menerus membahas hal-hal unfaedah mulai dari; kebenaran tentang menelan biji salak dapat mematikan hingga, mengapa nama Kekeyi sudah jarang muncul di feeds Instagramnya?

"Gila sih woy, hari ini hari terakhir sekolah ya berarti?" Anika menatap Estrella dan Giska bergantian.

Senyum Estrella perlahan lenyap. Giska yang di sebelahnya menangkap perubahan mood Giska yang cukup jelas. Meski Giska tidak terlalu menunjukkannya, tapi Giska bisa langsung tahu. Estrella mengedarkan pandangannya ke segala arah. Tempat ini. Tempat penuh cerita untuknya.

"Btw, gue jadi bingung dah mau ambil apaan... kalo semua jurusan bisa gue ambil udah gue ambil deh serius." Lagi-lagi hanya suara Aci yang kembali terdengar.

"Ey, diem aja nih peri cantik." Giska menyikut Estrella, mencoba merangkai kata yang lucu. "Kenapa sih kawan?"

Perempuan yang rambutnya dikuncir satu itu hanya tertawa sambil mengubah posisi duduknya. Baik Anika maupun Giska tahu persis, tawa itu hanya kamuflase, terkesan dipaksakan. Ia jadi ingin menangis sekarang.

"Iya iya... Gue tau kok apa yang ada di otak lu. Yang jelas gue juga mikirin hal yang sama," kata Anika, jujur. Jelas sekali dia merasakan kepedihan yang sama dengan sahabat perempuannya itu.

Aci menggaruk kelopak mata kanannya yang tiba-tiba gatal. "Apa sih apaan? Gue kok merasa bego sendirian?"

"Sedih lah mau pisah, ah elu mah!" Sembur Anika akhirnya. Aci meringis pelan, keempatnya pun kembali diam.

Hening yang cukup lama perlahan membuat pandangan Giska memburam, tiga detik setelahnya, air mata gadis itu membasahi pipinya. Estrella yang duduk di sebelahnya merengkuh tubuh Giska. Sejujurnya, ia juga sangat ingin menangis. Namun, tidak. Lebih baik tidak.

"Aaahhh... jangan mellow ah, kita pasti bakalan tetep deket kok, yakin gue." Aci mengusap tangan Giska, mencoba menenangkan sahabat yang sudah dianggap kakaknya sendiri.

"Itu cuma teori, Ci." Suara Giska terdengar bergetar. "Realitanya lo bakalan ketemu dunia baru, orang-orang baru yang mungkin lebih asik dari kita. Lo juga bakalan sibuk sama urusan lo. Dan, perlahan lo bakalan lupa sama kita."

Anika menghela napas, ia menumpukan dagunya di atas meja. Dan, Aci meniru posisi duduk Anika. Isakkan Giska mulai terdengar, pipinya mulai lengket akibat airmata.

"Gu—gue bakalan kangen masa-masa kebersamaan kita, nongkrong di mall sepulang sekolah, pura-pura ke kamar mandi, istrirahat di post security, atau ngomongin hal-hal gak jelas. Tadinya gue tuh bosen banget nongkrong di pos sama kalian, tapi baru berasa sekarang, justru ini yang paling ngena dan momen ini gak akan bisa keulang." Giska menyeka airmatanya.

Jika diingat-ingat banyak sekali susah-senang yang telah mereka lalui, memang persahabatan mereka jauh dari definisi sempurna. Selalu saja ada pihak yang tak sejalan.

Bahkan pernah ada yang diam-diam jatuh cinta pada crush sahabatnya, namun memendam, demi kebersamaan. Beragam fase yang telah mereka lewati justru memperkuat jalinan diantara ketiganya.

Dan yang terakhir fase berpisah. Fase yang tak pernah mereka bayangkan dan harapkan sama sekali, akhirnya terjadi.

"Ah elah apaan dah lu, berasa pengen mati aja." Aci menghentakkan kakinya, ia juga jadi sedih.

"Cepat atau lambat semuanya akan jadi tinggal kenangan kan?"

Mendengar kata-kata Anika, Estrella langsung membuang muka, menyembunyikan matanya yang mulai berair.

Sedangkan Aci mendecak pelan, ia ingin kegalauan mereka usai sekarang. Tapi dia bisa apa? Dia sendiri juga merasakan kegalauan yang sama dengan sahabat-sahabatnya.

"Maaf gue baru bilang," Anika melipat bibirnya, menahan kalimatnya sejenak. "Gue sayang kalian. Banget." Lanjutnya sebelum tubuhnya dipeluk Aci.

Tangis yang sejak tadi mereka tahan akhirnya pecah juga. Walaupun tidak kencang, suara mereka sama-sama tersendat. Estrella terkekeh pelan di sela tangisnya sambil menepuk punggung Giska.

Dalam pelukan sahabatnya, Estrella tersadar. Bahwa ia tidak ingin kehilangan dua hal terpentingnya; keempat sahabatnya, dan keluarganya.

Setelah merasa cukup dengan atmosfer haru biru, mereka saling melepaskan. Saat matanya tertuju ke arah perpustakaan, jantungnya berdebar-debar. Sosok itu nampak asyik berfoto bersama sekumpulan laki-laki.

Itu Ghazi.

"Bentar ya,"

"Mau kemana?"

"Pipis," sahut Estrella seraya beranjak.

Dengan keberanian kuat, perempuan yang menggenggam spidol itu memutuskan menghampiri sosok itu. Ghazi baru menyadari keberadaan Estrella lantaran teman-temannya langsung beradu pandang, dan kompak menyoraki "cie".

Ghazi sebetulnya ingin pergi. Namun, ia tak mau merusak suasana. Ia tak mau keadaan berubah canggung atau sejenisnya. Meskipun, ia masih terluka bila harus berhadapan dengan perempuan yang kini berstatus mantannya.

"Aku boleh minta tanda tangan kamu gak?"

"S—Sure."

Sedikit canggung, Ghazi maju, mempersilakan Estrella menggoreskan coretan di bagian bawah kerah depannya. Persis di atas dada.

"Mau nyoret balik?"

Ghazi mengabaikan sorakkan teman-temannya, dan mengambil alih spidol dari tangan Estrella. Laki-laki itu mencoreti bagian pundak kanan Estrella.

"Makasih ya."

Saat Estrella pamit, sontak dicegah teman-teman Ghazi. Sama halnya dengan siswa laki-laki lainnya, mereka mencuri momen untuk berfoto dan bertukar coretan dengan gadis itu. Selesai dengan urusannya, Estrella akhirnya meninggalkan kerumunan laki-laki itu.

Kemeriahan para siswa kelas dua belas di setiap sudut gedung sekolah tak terelakan lagi. Mata Estrella menerawang sekeliling, dari kejauhan ia memperhatikan ketiga sahabatnya berfoto-foto ria. Ia tersenyum.

Estrella tak langsung kembali ke kantin, perempuan itu berjalan menuju toilet, berniat merapikan rok. Namun disaat ia baru menapaki anak tangga ke-tiga, lagi-lagi ada yang mencuri perhatiannya. Otomatis perempuan itu berhenti begitu melihat sosok gondrong tengah duduk menyendiri di pojokan.

Estrella tertegun.

"Hey."

Estrella menyahut kikuk, "Hai."

"Banyak banget yang tanda tangan," ujar Widura. Ia mengamati kemeja Estrella yang dipenuhi coretan berwarna hitam, merah, dan biru.

Estrella tak terlalu terkejut menyadari hanya ada dua goresan tanda tangan di kemeja Widura. Ia yakin seratus persen itu hanya tanda tangan Kievlan dan Eja.

"Kamu mau tanda tangan juga gak?"

Widura menarik kedua alisnya. "Boleh?"

"Boleh."

Widura berdiri, mengambil alih spidol dari tangan Estrella. Laki-laki itu mengernyit, tak melihat ada lahan kosong di kemeja gadis itu.

"Udah penuh."

Jantung Estrella berdebar-debar, ia berbalik memunggungi Widura, mengumpulkan anak rambutnya, dan menaikkan kerah kemejanya yang terlipat.

"Di situ aja."

Widura menghela napas, dan menggoreskan tanda tangannya di sana. Laki-laki itu lalu menuliskan 'please live happily'.

"Udah nih," ujarnya saat menurunkan tangan. "Gantian."

Estrella membalikkan tubuhnya menghadap Widura, dan menggoreskan tanda tangan di bahu laki-laki gondrong itu, ia lantas tersenyum.

"Gue mau ngomong sesuatu deh, Es," Widura merasa tak boleh kehilangan momen ini.

Ada perubahan yang terjadi dalam Estrella setelah Widura mengatakan bahwa ia ingin mengatakan sesuatu. Kenapa dia jadi aneh? batinnya. Estrella tidak suka jika ada seseorang yang meminta izin untuk mengungkapkan sesuatu, entah kenapa rasanya terkesan lebih mengerikan jika dibandingkan secara spontan. Meskipun, terkadang ia juga melakukan hal itu.

"Makasih ya buat semuanya," kata Widura tulus. "Banyak kebaikan lo yang gue gak bisa bales,"

Estrella refleks memundurkan tubuhnya, dan menatap Widura aneh. "Apaan sih?"

Estrella spontan tertawa. Mereka saling menghadap satu sama lain. Diam-diam memendam perasaan yang ada. Widura berharap kalau seorang Estrella akan mendapatkan sosok yang lebih baik dibandingkan dirinya. Karena, perempuan itu berhak atas hal itu.

"Maaf ya, Es. Gue udah banyak nyakitin lo."

Sempat dirundung perasaan bingung, Estrella akhirnya mengangguk penuh ketulusan. Ia harus berbuat apa? Membenci Widura karena tidak membalas cintanya adalah hal yang bodoh.

"Mumpung belum terlambat, gue juga mau bilang sama lo kalo gue sebetulnya gue bersyukur lo ada di hidup gue." Suara Widura terdengar getir, tersirat kesedihan yang baru sekali ini ia luapkan di hadapan orang lain.

Pengakuan Widura sontak membuat Estrella tercengang.

"Gue sayang lo,"

Estrella terkejut mendengar pernyataan dari Widura. Ia menarik napas dan berusaha untuk mengeluarkannya dengan perlahan agar tidak terlalu terdengar.

"Karna perasaan yang gue punya ke lo bukan sebagai pasangan."

"Please, stop," Estrella menggeleng gusar, tidak ingin mendengar apapun itu yang akan diucapkan Widura dari mulutnya.

"Gue sayang sama lo," aku Widura, lagi. "As a sibling maybe?" tambahnya, seperti ia kurang yakin dengan pernyataan yang pertama.

Samar-samar pandangan Estrella memburam dipenuhi air matanya. Widura yang berdiri di hadapannya agak menunduk, tangannya mengikat asal rambutnya dan ia mengusap wajahnya. Laki-laki itu terlihat gelisah, tetapi ia tak menyesal atas apa yang baru saja ia ungkapkan. Karena, Widura merasa Estrella berhak tau.

Jeda yang terjadi selama hampir satu menit berhasil membuat air mata Estrella mengalir di pipi. Ia sendiri tidak tahu kenapa air mata itu keluar. Perasaannya bercampur aduk, sulit untuk dipahami. Bukankah harusnya ia merasa senang setelah mendengar Widura mengatakan bahwa laki-laki itu menyayanginya? Tetapi, kenapa Estrella malah merasa sedih?

Widura yang turut merasakan kepiluan perempuan di hadapannya, menggosok batang hidungnya yang memanas. Satu hal yang ia yakini; suatu saat nanti Estrella akan menjadi wanita terbahagia, meski tak bersamanya.

"For the last time maybe?" Widura membuka lebar kedua tangannya, dan menatap tulus sosok yang mungkin tak akan ia temui lagi di kemudian hari.

/g u l m a/

Guys, mau tanya. Perlu ada extra chap gaksi?
WWKWKKW

Intinya makasih banyak ya buat semua dukungannya!❤️🥺

Maaf banget ini aku terlalu lemot nyelesaiin ini🥺😭

Sampai jumpa lagi di kisah Anika!🤗

Btw aku nulis cerita baru judulnya Real Talk, semoga kalian berkenan mampir ya!🤗💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top