42 (END)

Hari ini part terakhir Gulma gais!

Maaf ya lama banget karna emg prosesnya cukup ruwet

Tapi makasih banyak udh apresiasi dan selalu nunggu, semoga berkenan ninggalin jejak berupa vote/komen ya!💞

John Mayer — You're Gonna Live
Forever In Me

TAK tahan dengan dengkuran kencang laki-laki  di sebelahnya, Widura bangun dari tidurnya, ia keluar dari kamar, laki-laki itu duduk di sofa ruang tengah bersama Eja sambil menonton TV. Kievlan menyuruh Widura agar menginap di apartemennya sampai dua hari ke depan.

Saat di perjalanan tadi, Eja dan Kievlan yang menjemput mereka sempat gambling perihal Abel. Namun, gadis itu memutuskan untuk pulang sore nanti. Akhirnya, Kievlan mengantar perempuan itu ke kamar tamu yang terletak di paling pojok untuk beristirahat.

Sedangkan Widura, hanya duduk bersandar di sofa, sesekali melirik ke pintu kamar perempuan itu. Saat di mobil tadi, Abel memberi tahu orang rumah jika ia tengah menolong temannya yang baru saja dapat musibah subuh-subuh.

"Lo nggak laper apa?"

"Lo beli apa emang tadi?"

"Gue belom beli apa-apa. Mau ngorder makanan bingung tapi apaan ya yang enak?" Eja terdiam sejenak. "Cewek lo ajak makan tuh."

"Lo mau makan apa?"

"Kan tadi gue bilang gue bingung, bambang." Eja menjeda sesaat. "Tapi sebenernya nasi uduk oke-oke aja sih, bubur juga oke... ya, bebas sih. Lo beli apa aja gue makan."

"Yaudah tunggu ya."

"Mau kemane lo?"

"Cewek gue lah." Widura menurunkan kedua kaki dari sofa.

"Heh anjing masih pagi, woy!" Seru Eja, ia refleks melempar bantal ke Widura. Laki-laki itu terkekeh. Ia menangkapnya dan melempar balik ke arah Eja.

Dengan langkah tenangnya, Widura berjalan ke arah kamar yang ditempati Abel. Entah apa yang ada di dalam otaknya, namun tangan kanannya bergerak meraih kenop.

Ia terkejut bahwa ternyata pintu kamar itu tidak dikunci. Widura mendorong kayu jati di hadapannya. Gorden jendela yang tidak tersibak, dan lampu yang dimatikan membuat suasana kamar semakin temaram. Tubuh Abel yang terbungkus selimut meringkuk di atas kasur.

Sedikit ragu, laki-laki itu memberanikan diri masuk ke dalam, melangkah mendekati ranjang, lalu duduk di sisi yang kosong. Dan perempuan itu bergeming.

Meski Widura tahu Abel tidak tidur dan perempuan itu pasti merasakan kehadirannya. Tapi ia tidak bergerak sama sekali, dan matanya tetap terpejam.

Lalu, Widura ikut berbaring. Posisinya menghadap perempuan itu. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.

Padahal, niat awalnya ingin mengajak perempuan itu makan. Namun, jika mengingat akan kejadian-kejadian yang menimpa mereka beberapa bulan belakangan, ia merasa risau.

Dan ia ingat selama mobil Eja tadi, Abel terus menggenggam tangannya. Hal ini tentu membuatnya teringat akan kesalahan yang telah diperbuatnya beberapa waktu lalu. Ia menyesali perbuatannya lebih dari apapun.

Terlebih, ia sadar bahwa perempuan yang sedang meringkuk di hadapannya saat ini begitu mencintainya. Memang, pengorbanan Abel mungkin tak sebanding dengan pengorbanan perempuan lain di hidupnya. Sampai pada akhirnya, beberapa dari mereka memutuskan pergi.

Tetapi, tidak dengan Abel.

Ia memilih bertahan. Ia memilih bertahan dikala titik terendahnya Widura, ia memilih memaafkan kekhilafan besar yang telah diperbuatnya. Dan Widura tersadar, perempuan mana lagi yang mau melakukan ini untuknya?

Widura tersentuh akan cara Abel mencintainya. Sederhana, kekanakan tetapi tulus. Meskipun banyak juga kekurangan Abel, Widura masih bisa memakluminya. Sambil mencerna atas apa yang sebenarnya sedang ia rasakan, tangan kanan Widura bergerak, dan menautkan jemarinya di sela-sela milik Abel.

Melihat mata Abel langsung terbuka, Widura tersenyum. Ia mengelus jemari kecil digenggamannya.

"Hey."

Terkejut dan tersipu, refleks Abel memejamkan matanya kuat-kuat. Ia salah tingkah.

Sontak, senyuman Widura kembali hadir. Disaat ia hendak melepaskan genggaman, Abel malah menahannya dengan mata yang tetap terpejam. Hal ini sontak memicu tawa kecil laki-laki itu.

"Kak Wid."

Entah sejak kapan, panggilan itu menjadi panggilan favorit Widura sekaligus panggilan yang paling ditunggu olehnya. Widura berdeham pelan dan menyahut,

"Hm?"

Malu-malu Abel menggumam pelan, "Mau dipeluk."

"Peluk tinggal peluk."

"Ih, ya maunya dipeluk duluan dong!"

Anjing, gemes, batinnya.

"Lah? Gengsi?"

"Yaudah lah keluar sana!"

Widura kembali tertawa. Tak tahan dengan tingkah menggemaskan perempuan di depannya, Widura menarik tubuh Abel ke dalam pelukan. Hati kecilnya berjanji bila ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang diberikan perempuan itu.

"Bel."

"Hm?"

"Abel."

"Apa?"

"Abeeeel."

"Apa, ih?"

Widura terkekeh. Lalu ia mendaratkan kecupan di puncak kepala gadis itu.

"Kak, aku nih masih pacar kakak apa bukan sih?"

"Maunya gimana?"

Abel langsung melepaskan diri, ia bergeser beberapa centi, dan menatap Widura jengkel.

"Ya tembak aku lagi lah!"

"Nggak usah, kan lo udah mau."

Abel langsung terduduk. "Enak aja! Emangnya aku murahan?!"

"Yauda, gue tembak deh."

Abel langsung diam. Sekuat tenaga ia menahan senyumnya melihat Widura ikut terduduk.

"Dor." Widura malah mengangkat tangannya membentuk pistol, dan menempelkan telunjuknya ke pelipis Abel.

"Ih! Serius dong!" Sungut Abel, sewot.

"Males ah. Cringe." Widura masih senang mempermainkan emosi Abel.

"Ih, emang dasar berengsek!"

Widura terbatuk, menyamarkan tawanya.
"Yaudah. Balikan yuk, Bel?" Ia lalu memasang wajah datarnya. "Puas lo?"

"Males. Nggak ikhlas."

"Dih, bodo gue mau makan."

"Ih!"

"Apa lagi sih?" Sekuat tenaga Widura bersuara sedingin yang ia bisa sambil memasang raut datarnya.

Abel membuang muka, dan memutar matanya jengkel.

"Mau dipeluk lagi?" Widura membuka lebar kedua tangannya.

"Nggak!"

"Oh, yaudah."

Melihat Widura langsung turun dari kasur, Abel kembali memekik, "Ih!"

Perempuan itu refleks ikut berdiri.

"Gue itung 1 sampe 3, kalo nggak mau gue cabut." Dengan raut datarnya, Widura kembali membuka lebar tangannya. "1, 2–"

Abel sontak maju, tangannya melingkari pinggang Widura, laki-laki itu sempat bergeming beberapa saat sebelum akhirnya ia mengusap punggung gadisnya.

"Ngeselin banget sih! Bangun-bangun dibikin baper, terus dijatohin lagi. Udah gitu nembaknya kayak orang gak niat! Ngeselinnya gak kaleng-kaleng!"

Rengekan ini. Sudah lama Widura merindukannya. Laki-laki itu tak kuasa menahan senyum bahagianya.

"Tapi sayang kan?"

"Gak!"

"Yaudah gapapa, yang penting kan gue sayang sama lo."

"Jangan mainin aku lagi ah!" Abel menurunkan tangannya, tak mau memeluk Widura lagi. Tetapi, ia membiarkan laki-laki itu tetap memeluknya.

Widura terkekeh, dan mengacak gemas belakang kepala kekasihnya. Saat laki-laki itu melepaskan pelukan, ia memegang kedua bahu Abel, dan kembali membuka mulutnya.

"Gue mau kita begini terus. Bisa kan?"

Percaya atau tidak, saat mengatakan itu, Widura sungguh-sungguh memaknainya.

LANGKAH Estrella yang awalnya terkesan ragu, langsung normal lagi begitu pandangannya beradu dengan sosok laki-laki yang bersandar di pilar bata, bibirnya menggumamkan lirik lagu You're Gonna Live Forever in Me milik John Mayer yang mengalun di airpods.

Spontan ia melepas airpods dan menatap Estrella dan cup minuman di kedua tangannya bergantian. "Hai."

Estrella menjilat bibirnya yang kering. Jantungnya berdebar tak karuan. Napasnya agak tersenggal saat Estrella berjalan menghampirinya.

Dan, Estrella juga merasakan hal yang sama. Namun, ia lebih cerdas menutupi kegugupannya, dibandingkan dengan laki-laki yang berdiri tiga jengkal di depannya.

"Nih," Estrella menyodorkan salah satu cup. "Try some?"

"Enggak, makasih."

"Kamu nggak suka oreo blend?"

"Suka, tapi nggak aja."

"Coba dulu, deh." Tangan Estrella kembali terarah ke Ghazi.

"Nggak ah."

"Ayolah, biar bareng sama aku," kata Estrella. Ia menjeda sejenak, "Aku bikin sendiri loh ini pas ujian praktek bahasa Inggris tadi."

Ghazi terpaksa menurut. Mereka terdiam selama dua puluh detik. Berusaha menepis kecanggungan, Ghazi menyeruput oreo blend-nya tanpa jeda hingga di seruputan terakhirnya menghasilkan bunyi. Estrella sontak terkekeh, dan menyenggol pelan lengan Ghazi.

"Enak nggak?"

"Enak."

"Aku mau minta pendapat kamu deh."

Ghazi terdiam. Berusaha keras untuk tidak terlalu gugup di hadapan kekasihnya.

"Menurut kamu aku cocok nggak sih, Zi jadi psikolog?"

"Cocok-cocok aja."

Estrella mengembuskan napas kasar. "Itu jawaban terpaksa yang paling ngeselin tau gak."

"Yaudah deh, cocok banget."

Estrella terkekeh, selain karena kalimat Ghazi barusan juga karena mood laki-laki itu yang terkesan aneh.

"Kamu kenapa sih? Kelatannya gelisah banget."

"Enggak kok, aku nggak papa."

"Boong."

Ghazi terdiam.

"Tapi aku juga punya pertanyaan."

"Apa?" Meski sukses terlihat datar dari luar, sebetulnya Estrella sedikit cemas menerka-nerka pertanyaan Ghazi nanti.

"Kamu kenapa tadi pagi nggak mau bareng aku?"

"Tapi kan aku ngabarinnya dari subuh?" Intonasi Estrella malah terdengar seperti balik bertanya.

"Iya. Tapi kenapa?"

"Ya.. nggak papa."

Ghazi  memutar  bola  matanya sambil  mendengus.  "Jujur  ya,  aku  jadi  takut  sekarang."

Kata-kata  itu  berhasil  membuat  perubahan pada  Estrella  begitu  kentara.  Posisi  berdirinya berubah,  dan  tatapan matanya juga  jadi  berbeda.  Ghazi  melihat  Estrella  di  hadapannya dengan  sorot  mata  yang  sulit  dibaca  dari  sebelumnya,  dan hal  itu  membuat  Ghazi tambah  khawatir.

"Kenapa?" 

Lama  kelamaan,  Estrella  jadi  kesal  pada  dirinya  sendiri lantaran melontarkan pertanyaan itu lagi.

"Kamu gak  kebaca. Aku nggak berani nerka-nerka juga."

Yang  diajak  bicara hanya  bisa  menatap  balik  laki-laki  di  hadapannya  tanpa  membuka mulut sama  sekali.  Ia  mencari  sesuatu  di dalam mata  Ghazi yang  nampak terang.

"Gimana tadi kelas?" tanya Estrella, berusaha lari dari topik pembahasan.

"Baik." Ghazi melirik aspal di bawahnya. "Kamu sendiri?"

"Sama." Estrella menggaruk alisnya.

"Aku mau coba STAN nanti, doain ya."

"Loh? Cita-cita kamu berubah?"

"Enggak, cuma pengen coba aja, kalo rejeki.. alhamdulillah ya nggak sih?"

"Aamiin. Pokoknya aku selalu dukung apapun yang terbaik buat kamu, kok."

"Makasih, sayang."

Mendengar Ghazi memanggilnya 'sayang' ekspresi Estrella sempat berubah, namun ia langsung biasa lagi saat Ghazi menatapnya. Ia tak dapat menahan senyumnya membayangkan Ghazi berseragam biru suatu saat. Padahal, belum lama ia sempat membayangkan laki-laki itu mengenakan almamater kuning PTN ternama.

"Kenapa?" tanya Ghazi, melihat perempuan di hadapannya senyum-senyum sendiri.

"Lucu aja. Ngebayangin kamu pake seragam bea cukai."

"Enggak cocok ya?"

"Cocok kok. Pasti kamu keliatan lebih atletis, otomatis fans kamu makin banyak lagi."

"Emang apa sih gunanya punya fans banyak?"

"Yaa... masa sih kamu nggak ngerasa happy disukain banyak orang?" Estrella menggeser oreo blend miliknya yang tergeletak di atas bata.

"Aku nggak mau munafik. Siapapun happy disukai banyak orang, tapi yaudah. Kalo ngerasa kosong ya tetep kosong juga," sahut Ghazi kalem.

Ah, tuh kan.

Estrella hanya mengangkat kedua bahunya bersamaan untuk merespon pernyataan itu, enggan membahasnya lebih dalam. Ia sendiri sebenarnya semakin tidak tahan berada lama-lama di hadapan Ghazi seperti ini.

Sebetulnya ia telah mempersiapkan semuanya sejak beberapa hari belakangan, ternyata apa yang telah direncanakannya tidak semudah yang ia bayangkan. Ia dirundung perasaan ragu. Ia pikir melihat dengan tidak berangkat sekolah dengan Ghazi, akan terasa biasa-biasa saja.

Namun ternyata, berhadapan dengan Ghazi berhasil membuat jantung Estrella menyentak resah. Benteng yang telah dibangun Estrella hampir roboh. Ia mulai merasa tidak nyaman dan ingin cepat-cepat meluruskan maksudnya.

"Sumpah. Waktu tadi aku bilang takut, aku beneran," katanya. "Sampe sekarang aku masih ngerasain itu,"

"Kalo boleh jujur," Estrella diam sejenak. "Aku juga sih."

Hanya ada suara gesekan sepatu dan kebisingan para siswa dari bawah yang mengisi kesunyian yang terjadi antara dua remaja yang berdiri di rooftop. Keadaan semakin terasa mencekam untuk Ghazi, dan ia menatap lurus ke perempuan di hadapannya dengan rasa cemas.

Di hadapannya, Estrella berusaha untuk tidak menatap mata laki-laki itu sambil menahan rasa gugup. Setelah meyakinkan diri dan sadar bahwa ia telah membuang waktu, akhirnya Estrella merogoh tasnya yang dipindahkan ke depan dada, dan mengeluarkan kotak putih berukuran sedang yang dihiasi pita cokelat.

Laki-laki itu terskesiap saat melihat benda tersebut diarahkan kepadanya. Sorot matanya langsung sendu dan dadanya mulai terasa seperti dihimpit. Ia mulai tahu arahnya akan kemana.

"Ini baju dari kamu, buku, jam tangan, dan ada juga jurnal yang aku buat."

Butuh waktu tiga detik bagi Ghazi untuk menerima kotak tersebut.

"Kita putus aja ya, Zi?" ucap Estrella lirih. Matanya memanas. "Aku ngerasa hubungan kita lebih baik kembali jadi pertemanan lagi—"

"Apa ini karna Widura?" Potong Ghazi. Dadanya seakan tercabik.

"Enggak," Estrella menggeleng kuat, gerakan ini justru memicu airmatanya merembesi pipi. "Sama sekali enggak. Tapi karna aku. Aku yang udah berusaha keras buka hatiku buat kamu. Aku udah coba sekuat-kuatnya buat liat kamu aja, tapi ternyata— aku nggak bisa. Aku— aku bodoh, aku terlalu maksain diri dari awal," lanjutnya dengan isakan.

Ghazi menelan ludah, lututnya melemas. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tidak terlihat menyedihkan di hadapan perempuan yang merupakan cinta pertamanya.

Ia tidak mengerti mengapa keputusan yang diambil Estrella saat ini berhasil membuatnya merasa ingin lompat dari ketinggian. Ia tidak paham mengapa kalimat Estrella mampu menjatuhkannya hingga ke titik terbawah. Haruskah Ghazi meyakinkan Estrella kembali?

"El,"

Estrella refleks menutup wajahnya dengan kedua tangan. Entah mengapa mendengar Ghazi memanggil namanya justru membuat tangisan Estrella lebih kencang dari yang sebelumnya.

Setelah menurunkan tangannya, Estrella membuka mulutnya lagi.

"Jangan tahan aku ya, selain karna aku nggak layak, aku juga udah nggak bisa."

Tenggorokan Ghazi tercekat. Helaan napasnya terasa berat setiap kali matanya bertemu dengan milik lawan bicaranya.

"Zi, kamu itu baik. Kamu tulus, kamu sosok yang sebenernya aku butuh. Tapi—" Estrella menjeda sejenak. "I know it's unfair for you. And i really sorry."

Ghazi mulai merasakan matanya memanas.

"Aku sayang kamu, Zi. Tapi maaf, aku sadar rasa sayang ini cuma sebatas perasaan sayang ke temen, nggak lebih," tambah Estrella.

Dengan bahu yang naik turun, Estrella mengambil ponselnya yang tergeletak di atas bata, melangkah mendekati Ghazi mengusap pelan pipi laki-laki itu.

"Janji sama aku kamu harus jadi orang terbahagia ya?"

Perempuan itu menarik Ghazi ke pelukan singkat sebelum melangkah pergi. Ia berjalan menuruni anak tangga tanpa menoleh atau mengeluarkan sepatah kata. Bukan karena ia tidak peduli dengan keadaan, melainkan karena ia tidak menduga bahwa keputusannya akan sebegini menyakitkan dibandingkan yang ia kira.

Karena, tak ada satupun yang merasa 'selamat' di setiap 'selamat tinggal'.

TAMAT GAIS WKWKWK:(

Maaf banget kalo ngecewain atau ngga sesuai ekspektasi kalian!!! Pokoknya beribu maaf ya:(

Tp gimana? Puas ngga sm endingnya Gulma? Gilasi 2 tahun gue nulis ini (lama bgt astagfirullah)

Perlu adain epilog ga nih? Wkwkwkwk

Dan kira2 ada request kah kedepannya gmn? Awowko

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top