37.
Mon maaf gais baru dateng.
Mau kasih clue dikit. Aku balasin komen kalian tandanya mau update ya, jd maaf kalau terkesan basi bgt wkw
Ah ya! Gong xi fat chai untuk yg merayakan!💖
Glenn Fredly — Sedih Tak Berujung
X
Bon Iver — Skinny Love
"Mbak, tolong bayarin taksi di depan ya."
Setelah berkata begitu, Abel langsung melangkah tergesa menuju tangga tanpa menutup pintu lagi. Rosi yang baru selesai mengangkat jemuran sontak terkejut melihat anak majikannya.
"Bel? Kamu kenapa?!"
Abel tidak menjawab. Begitu tiba di kamar, gadis mengunci pintu, dan melangkah menuju meja belajar. Ia duduk dengan posisi kepala menunduk, keningnya menempeli kedua tangannya yang terlipat.
Tak ada suara musik yang memenuhi telinga, hanya ada suara AC. Seketika suara Widura saat mencegah kepergiannya terngiang di benak. Dengan gemetar, tangan Abel bergerak meremas daun telinganya sendiri.
Lalu berganti dengan suara lirih Estrella yang memanggil namanya.
Gadis itu langsung menutup lubang telinganya rapat-rapat.
Sendatan gadis itu melemah, ia duduk tegap sembari menghirup napas panjang lewat mulut. Matanya melirik sekilas benda pipih di hadapannya, padahal benda itu telah disetting menjadi mode silent. Layarnya menyala lantaran Widura yang terus-menerus menelepon.
Abel langsung mengambil ponselnya dan menolak panggilan yang baru saja masuk. Ia memblokir nomor Widura, ia lalu memblokir satu persatu akun media sosial laki-laki itu. Semuanya. Abel tak ingin ada lagi Widura. Abel ingin Widura menghilang dari kehidupannya.
Masih merayakan kesedihannya, gadis itu memilih lagu Sedih Tak Berujung untuk menemani kesunyiannya. Air matanya tak dapat dibendujg mengingat kenangan demi kenangan yang sudah tak ada artinya lagi.
Abel termenung. Bibirnya menarik napas panjang, tangannya pelahan mengusap tengkuknya. Kepercayaan yang selama ini telah ia bangun terasa sia-sia. Harapan yang selama ini telah ia gantungkan terasa sia-sia. Kesetiaan yang selama ini ia pertahankan juga sia-sia. Semuanya sia-sia.
Dirinya kembali disia-disiakan.
Jika saja ia lebih dewasa sejak awal mungkin Widura tidak akan berpaling. Jika saja ia lebih pengertian mungkin Widura tidak akan jengah. Abel memejamkan matanya, hal ini membuat air matanya tak henti mengalir.
Siapapun setuju bila putus cinta bukanlah hal mudah, kecuali bagi mereka yang tak pernah merasakannya.
Abel membuka matanya, saat itulah ia tak sengaja melihat kumpulan foto candid sosok gondrong yang ia jepret dari polaroid. Ia tertegun. Enggan merobek foto itu— bahkan untuk menyentuhnya saja ia tak sudi. Tetapi, pandangannya menetap pada foto itu.
Lama.
Ketika Glenn kedua kalinya menyanyikan lirik 'selamat tinggal kisah tak berujung, kini ku kan berhenti berharap', barulah ia berpaling. Gadis itu menyentuh dadanya yang berdebar. Hatinya hancur berkeping. Saat ia tak sengaja melihat gunting yang ada di depannya. Tanpa ragu, Abel menyambar benda itu.
Ia melangkah gontai ke arah cermin. Sorot matanya dipenuhi kebencian mendapati wajahnya yang memerah dan bengkak. Aliran air mata Abel tak sederas yang sebelumnya.
Dalam amarahnya, ia mengambil beberapa bagian rambutnya, dan mengguntingnya tanpa ragu. Sebetulnya Abel membenci model rambut pendek, tetapi ia lebih membenci dirinya sendiri. Ia membenci dirinya yang lagi-lagi mengulangi kebodohan yang sama.
Harusnya Abel sadar jika sejak awal mereka bertemu untuk berpisah.
SUDAH dua jam lebih Widura tak keluar dari ruangan kamar bernuansa grunge itu. Laki-laki itu hanya diam, meletakkan kepalanya pada lengan yang terlipat di atas lutut sambil memandang ponselnya di lantai. Mendapati semua akunnya diblokir, ia menjambak rambutnya frustasi.
Widura memejamkan mata, ibu jari dan telunjuk tangan kanannya menekan pangkal hidungnya yang sempat membasah. Ia bersandar ke tembok.
Widura menghirup napas panjang. Ia butuh solusi dari Eja atau Kievlan, tetapi ia tak yakin akan mendapatkan apa yang diinginkannya. Malah bisa jadi ia hanya menerima umpatan. Tetapi, kalau dipikir ia layak mendapatkan lebih. Entah pukulan atau apapun.
Lalu bagaimana caranya Widura bisa memperbaiki semua ini? Karena yang ia tahu pasti ribuan kata maaf saja tak cukup meluluhkan hati Abel. Terlebih ia tahu, Abel pasti perlu waktu untuk mencerna semuanya.
Lelah bertarung dengan logikanya, ia menyambar kunci motornya yang tergeletak di lantai, lalu keluar dari ruangan, mengabaikan fakta di luar masih hujan deras.
WAKTU menunjuk pukul setengah satu siang, pandangan Anika beralih ke buliran hujan yang membasahi jendela kamarnya. Masih terus menyimak, gadis itu memejamkan matanya sejenak sebelum menatap lawan bicaranya lagi, tarikan napas Anika selalu terasa lebih sulit setelah kalimat demi kalimat Estrella masuk ke telinganya.
Matanya terkadang enggan menatap lawan bicaranya. Bukan karena kehilangan konsentrasi, malah klarifikasi Estrella barusan membuat jantungnya berdegup kencang. Kepalanya mendadak pening.
"Aku berengsek banget ya, Nik?" ujar Estrella setelah hampir satu jam bicara, ia tertawa getir.
Merasa kasihan tetapi kesal, pada akhirnya Anika hanya menatap sahabatnya dengan sorot tak percaya. Lantaran masih tak percaya akan pengakuan Estrella tentang momen di Puncak. Berusaha memahami keadaan sahabatnya, gadis itu lalu mengusap wajahnya sendiri.
"Dan lo ada expect gak sih, ini bakal ended up kayak gini?" Intonasi Anika terdengar begitu pelan dan hati-hati.
Estrella tersenyum kecut.
"Mana mungkin lah, Nik ada yang berani mikir negatif ketika lagi seneng?"
Duduk di atas kasur, gadis berambut ikal itu mencomoti keripik kentang yang terasa hambar. Setidaknya di mulut Estrella rasanya begitu. Padahal, keripik yang Anika sediakan ini rasa keju. Tapi terasa hambar bagi Estrella. Susu cokelat yang tergeletak di nakas juga hambar. Sandwich yang sudah digigit satu kali itu juga hambar. Semua hambar. Estrella tidak merasakan apa-apa.
Semuanya mati rasa.
Terlebih hatinya.
"Engga, maksud gue ended up lo yang jalan kaki kayak tadi." Anika jadi tak enak, ia menjeda sejenak. "Lo gak ngira Widura bakal anterin lo ke sini gitu?"
"Nggak bakalan lah."
Estrella memutar matanya, mengingat adegan Widura meninggalkannya demi mengejar Abel. Rongga dadanya semakin terhimpit, pasokan oksigen yang masuk mendadak ciut.
"Tapi, setelah liat ada Abel. Barulah jelas aku tau gimana endingnya," Estrella mengangguk pelan.
Tahu sahabatnya masih ingin meluapkan unek-uneknya, Anika diam. Ia tak memberikan sentuhan entah itu berupa usapan punggung atau genggaman tangan. Bukan karena ia tak berempati, tetapi ia masih ingin mencerna.
Estrella kali ini mengangguk, ia mengembuskan napas berat.
"Ya udah pasti aku ditinggal, terus dibuang, emang siklusnya selalu gitu kok. Jadi bukan hal baru lagi sih."
Setelah kata-kata itu meluncur dari mulut Estrella, sontak Anika mengusap bahu sahabatnya. Anika tahu betul bukan hanya kepiluan lagi yang menyelinap di dada sahabatnya. Melainkan, hancur. Gadis itu mengubah posisi duduk yang tadinya lurus, jadi bersila.
"Hey, it's okay."
Suara Anika terdengar lebih lirih dibandingkan sebelumnya. Ia ingat kedatangan sahabatnya dengan kondisi berseragam lusuh dan mata sembab. Saat itulah, Anika langsung menyuruh sahabatnya mandi dan berganti pakaian sebelum menceritakan semuanya.
"El."
Estrella mengatupkan rahangnya kuat-kuat.
"Emang aku yang salah, Nik." Estrella memundurkan kepalanya. Lalu ia tertawa getir. "Gila gak sih? Hina banget demi Tuhan."
Air mata Estrella tak dapat dibendung lagi disaat Anika menariknya ke dalam pelukan. Anika mengusap punggung sahabathya, berharap perempuan itu berhenti menyalahkan dirinya sendiri.
"Udah selingkuh, jadi pelampiasan pula. Kurang hina apa coba?"
Estrella memejamkan mata, menyadari bahwa setelah kejadian itu, tidak ada notifikasi apapun di ponselnya dari Widura. Bahkan Estrella ingat jelas disaat ia mematung melihat Widura berlari menyusuli Abel, mengabaikannya dengan sempurna. Dan ia berjalan kaki kurang lebih 3km menuju rumah Anika sendirian, tanpa sepengetahuan Widura.
Atau bahkan sebenarnya laki-laki itu tahu, tetapi ia memilih masa bodoh?
Entahlah.
Yang jelas kini Estrella sadar bahwa kebedaraannya di hidup Widura bukanlah hal yang penting.
"Masya Allah," ujar Inaaya, seraya menarik kenop.
Inaaya terkejut bukan main melihat kehadiran dua anak remaja di depannya. Wanita berjubah hitam itu menatap putri semata wayangnya dengan sorot tak percaya. Namun, ia berubah biasa lagi begitu pandangannya terhenti pada gadis berkaos biru laut di sebelahnya.
Cengkraman Estrella pada lengan Anika menguat, ia melirik sahabatnya was-was. Disuruh Inaaya duduk di sofa, kedua anak itu menurut. Dalam diam, ia memperhatikan ibunya yang berlari menuju tangga— yang Estrella yakini menyuruh Alan turun, menemuinya. Atau lebih tepatnya memarahinya.
Estrella menatap Anika dengan sorot khawatir, dan berbisik pelan.
"Makasih ya, Nik. Makasih banyak, dari dulu kamu terus."
Anika hanya menggeleng pelan, seolah mengatakan bahwa ini bukanlah hal besar.
Melihat sosok Alan yang menuruni tangga, Estrella membenarkan kaos abu yang dikenakannya.
"Kamu kenapa sih, nak? Ulang tahun kok malah nginep di rumah orang?" Inaaya duduk di sebelah Estrella. Tangannya terlipat di depan dada saat ia memerhatikan kedua anak itu tiba-tiba melamun.
Estrella terenyak, ia menggeleng dan tersenyum sekilas.
"Anika? Kenapa?" Inaaya mengulang pertanyaan.
Bukannya menjawab, Anika malah terdiam seribu bahasa. Ia sendiri tidak tahu harus menjelaskan dari mana. Mungkin berbohong via chat atau telepon mudah dilakukan, tetapi tidak dengan bicara langsung.
"Kamu kenapa, El?" Kali ini Alan yang bertanya. Sosok berkaos stripes putih hitam itu melipat kedua tangannya di depan dada.
Estrella menunduk, menatap sandal hotel berwarna putih yang ia kenakan.
"Aku pengen sembuh."
Hanya itu yang mampu Estrella ungkapkan.
"Jadi bener kamu sakit?" Alan langsung menurunkan tangannya.
Terkejut, Inaaya refleks memundurkan tubuhnya. Dahinya mengerut. Ia menatap kedua anaknya bergantian dengan sorot tak percaya, seolah menuntut penjelasan. Anika yang sebenarnya sudah tahu semuanya memilih diam.
Estrella menelan ludahnya dan mengernyit. Kepala anak itu masih menunduk. Ia enggan sekali menatap wajah ketiga orang di dekatnya. Terutama ibunya.
"Belum tau juga. Masih bingung." Suara Estrella terdengar lebih parau dibandingkan terakhir ia berbicara.
"Loh? Apa sih ini? Kamu sakit apa?"
"Mi."
"Kalian sembunyiin apa dari mami?"
Inaaya tak dapat menahan pelototannya. Alan yang berdiri di sebelah ibunya, langsung memegang lengan wanita itu seolah memberi peringatan non verbal.
"Nanti dulu ya, Mi. Aku pengen ke atas dulu."
Tahu betul karakter adiknya yang tertutup, Alan langsung menarik ibunya.
"Ella?!" Inaaya menatap anaknya dengan sorot tak percaya.
"Aku capek, Mi. Mau istirahat dulu boleh ya?"
Tak tega mendengar kegetiran di intonasi putrinya, Inaaya akhirnya mengalah. Ia menghela napas panjang, dan menggeleng takvpercaya. Sedangkan Alan hanya bisa terkekeh dan mengusap kepala Anika yang menegang di tempatnya.
"Temenin dia ke atas dulu ya, Nik?"
Anika terperangah, ia mengangguk canggung.
"Naik aja, Nik, gak apa-apa." Wanita berjubah hitam itu menyunggingkan senyumnya, nampak enggan sekali menatap wajah putrinya.
"Nanti kalo laper turun ya." Ini suara Alan.
Anika paham betul kalau Alan hanya bercanda.
"Hehe." Gadis berkaos biru laut menggaruk-garuk kepala. "Ya udah, aku naik ya!"
Alan mengangguk, ia lalu menarik ibunya ke dapur. Laki-laki itu lalu menasehati ibunya supaya memberikan adiknya space untuk menyendiri sementara waktu. Terlebih, mengingat hari ini merupakan hari ulang tahunnya.
Pijakan Estrella melemah ketika melihat temannya mendahuluinya. Sementara Anika berhenti persis di depan pintu, membiarkan sang pemilik kamar yang membuka pintu.
Sempat merasa aneh lantaran kamarnya tidak dikunci, kini Estrella terkejut bukan main mendapati sosok laki-laki berkemeja putih yang tengah duduk di kasurnya.
"Hai."
Laki-laki itu beranjak menghampiri Estrella dengan kue ulang tahun digenggaman, dan sebuket lily di atas siku.
"A very happy birthday, Estrella,"
Mata Estrella berkaca saat suara lembut Ghazi kembali menyambutnya. Dadanya terasa semakin sesak saat kue ulang tahun diarahkan padanya.
Sontak, Anika langsung menyanyikan lagu ulang tahun sambil bertepuk tangan riang gembira, disusul Alan dari belakang.
Estrella tidak mampu berbuat apa-apa selain mengusap air matanya. Ia mengambil alih buket, dan mencium benda itu sekilas.
"Ayo dong ditiup!" Seru Alan. "Eh—Loh? Lilinnya mana?!"
"Iya, yang satu sumbunya tumpul. Kan aneh kalau nanti pake satu angka doang."
"Yah..."
"Angka berapa emang yang tumpul?" Alan mengernyit dan tertawa.
"Satu."
"Berarti ini ulang tahun ke delapan ya, El." Anika lalu menertawai jokes-nya sendiri.
Estrella tertegun menatap sosok di hadapannya. Memang, surprise yang Ghazi berikan sangatlah praktis. Tidak ada dekorasi-dekorasi romantis berupa foto-foto polaroid yang menggantung, atau balon huruf dan taburan kelopak bunga.
Hanya kue tanpa lilin dan sebuket lily.
Ritme napas Estrella berubah, merasakan ketulusan di diri laki-laki itu.
"Yaudah, lah gue turun ya, mau lanjut nge-game."
Enggan menjadi obat nyamuk, Anika akhirnya ikut meninggalkan ruangan.
Kini tinggallah mereka berdua di ruangan, tidak ada obrolan yang berlangsung. Pintu masih terbuka, keduanya sama-sama merasa canggung satu sama lain. Padahal hampir lima bulan sudah mereka telah bersama, bahkan kebisuan seperti ini seringkali terjadi.
Tetapi lain dengan yang kali ini, lantaran ada rahasia baru yang betul-berul Estrella tak ingin Ghazi ketahui.
"Maaf ya, El lilinnya gak ada."
Melihat Estrella yang terdiam seribu bahasa, Ghazi akhirnya bersuara. Ia meletakkan kue di meja terdekat sebelum akhirnya merogoh saku, dan mengeluarkan korek api.
Bibir Estrella sontak terbuka disaat benda itu diarahkan padanya. Ia terkejut.
"Tiup ini dulu gak papa ya?"
Mata Estrella kembali berkaca. Demi Tuhan ia sudah tak sanggup lagi dengan semua ini.
"El?"
Di bawah pantulan cahaya, Estrella menatap wajah Ghazi dan api bergantian. Maka ditiupnya api itu.
Ghazi tersenyum. Begitu ia hendak memasukan korek ke dalam saku, kelopak matanya melebar saat Estrella tiba-tiba berjinjit memeluknya.
Begitu erat.
"I'm sorry."
Estrella tak mampu menahan isakannya. Dalam dekapan gadisnya, Ghazi tersenyum. Laki-laki itu menghirup aroma chamomile, mencium ujung kepala Estrella yang menundukkan kepala di bahunya. Ghazi tidak ingin lagi melepaskan apa yang sedang dipeluknya.
Kini dan nanti.
Rasa kecewa dan khawatir yang sejak beberapa hari membebani pundaknya perlahan-lahan terangkat.
"I really sorry."
Ghazi mengangguk tiga kali. Ia mengusap lembut punggung Estrella yang semakin mengeratkan pelukannya.
"It's okay, we'll be okay." Bisik Ghazi, sebelum mengecup lama rambut gadis itu.
Jujur, menurut kalian siapa yang paling tragis deh?
Dann gimana part ini overall?
Tbh, keknya ga sampai 5 part lagi Gulma bener2 tamat, ada yg bisa expect ga akhir cerita ini gimana?
Atau barangkali ada request? Wkwkwk
Btw, makasih banyak ya udh stay di sini (gilasi ini cerita terlemot yg pernah gue tulis)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top