36

WARNING SUPER!

Part ini ga cocok buat kalian yang masih 17th ke bawah.

Segala curhatan akan aku tulis di authors note terbawah seperti biasa ya!

Semoga kalian mau memvote/komen cerita ini sebagai bentuk apresiasi💖🙏

Sheila on 7 — Mudah Saja
X
Sleeping At Last — Already Gone

PANDANGAN Ghazi tertuju pada jarum pendek jam yang menunjuk angka dua belas. Kesunyian menyelimuti kamarnya yang masih terang. Kepala laki-laki itu menghadap ke atas, melihat langit-langit yang kelabu. Jauh di lubuk hatinya ia menyesali perbuatannya terhadap Estrella tempo hari.

Tapi apa ia terkesan egois kemarin?

Ghazi mengganti posisi tidurannya yang semula terlentang, kini menjadi tengkurap, memeluk bantal. Ia melirik ponsel yang hampir dua jam tak ia tersentuh sama sekali.

"Sekarang banget gitu?" gumam Ghazi pada dirinya sendiri.

Ia ingat nasehat Rendy di sekolah saat ia menceritakan tentang Estrella tadi. Rendy mengungkapkan bahwa ia tidak ada gunanya mempertahankan seseorang yang jelas-jelas mencintai orang lain.

Alih-alih menetralkan pikiran, Ghazi meraih benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Begitu layar menyala, muncullah 6 pesan belum terbaca dari dua kontak yang berbeda di pukul sembilan hingga sepuluh.

Inaaya: Nak Ghazi?

Inaaya: Kamu lihat Ella nggak ya? Dia belum pulang

Inaaya: saya khawatir banget udah malem gak ada kabar

Inaaya: saya tunggu kabarnya ya nak

Ghazi sontak terduduk, lantaran terkejut. Laki-laki itu menatap ponselnya dengan kernyitan. Astaga! Kamu dimana, Es?

Hisbatul Ghazi: maaf tante baru bales, aku lagi nggak sama Ella

Ghazi menegang di tempat duduknya. Perasaannya berkecamuk. Ia mencoba hubungi Estrella, namun nomornya tidak aktif. Tarikan napasnya mulai tak beraturan.

"Astagfirullah..." Ghazi memejamkan matanya.

Kemudian ia berdiri, dan membuka kolom pesan yang belum terbaca dari kontak lain.

Allan: Zi

Allan: Ella lagi sama lo ngga?

Hisbatul Ghazi: maaf mas, gue lagi nggak sama dia

Tak sampai semenit, muncullah balasan.

Allan: oiya gapapa kok. tadi gue udah hubungin Anika, katanya lagi sama dia

Dengan gerakan cepat Ghazi mencari satu nama di kontaknya sebelum menempelkan ponsel di telinga, tangan yang lain berkacak pinggang. Setelah memasuki nada sambung yang ke-tiga, panggilan tersambung.

"Halo?" Sapa Anika di seberang.

"Halo, Anika? Bener lo lagi sama Estrella?" Ghazi menyahut cepat.

"Oh, iya. Kenapa, Zi?"

Ghazi menghela napas.

"Oh yaudah kalo gitu, soalnya nyokapnya cariin dia."

"Nyokapnya atau lo nih?"

Ghazi mendengus. "Serius gue, Nik..."

"Nanti gue titipin deh ucapan ulang tahunnya, tenang aja!"

HEMBUSAN napas Widura melemah merasakan belaian lembut tangan gadis yang tengah ia rengkuh pinggangnya. Seketika, bayangan sosok perempuan berpostur mungil yang selama ini menemani hari-harinya hadir di benak. Senyum lebarnya, gelak tawa renyahnya, gesture manjanya. Tarikan napas Widura mulai tak beraturan.

"Sori." Laki-laki itu segera menarik tangannya, dan memutar posisi tubuhnya jadi telentang, sontak kedua tangannya ia lipat di atas perut.

Rasa hangat dan nyaman yang semula Estrella rasakan kini berganti dengan rasa kesal dan kecewa. Seperti ada sesuatu di balik dadanya, ada rasa tak terima yang membuatnya merasa sesak.

"Please jangan balik badan." Suara laki-laki itu tersengar kembali.

Estrella menarik napas dalam-dalam walau rasanya berat. Matanya mulai panas, pandangannya memburam. Tapi tidak. Ia tidak boleh menangis sekarang, sebab ini hari bahagianya. Widura bilang, hari ini miliknya.

Artinya, Widura juga miliknya kan?

Mengabaikan seluruh akal sehatnya, Perlahan-lahan, Estrella berputar sampai tubuhnya menghadap Widura dan ia mendekatkan kepalanya ke sebelah telinga laki-laki itu.

"But I want you," Suara Estrella nyaris hilang. "So bad."

Bisikan terakhir gadis itu membuat Widura merinding. Napasnya mulai patah-patah. Dengan jarak sedekat ini, Widura tidak bisa menahan diri untuk tidak menatap mata dan bibir perempuan di sebelahnya secara bergantian.

Perempuan itu perlahan berpindah merangkak, dan menindih tubuh Widura. Dengan mata yang perlahan terpejam, Estrella membungkuk, dan mendaratkan kecupan lembut di bibir laki-laki itu.

Semuanya terjadi dengan cepat hingga ia sendiri tidak tahu apa yang sedang dirinya lakukan. Isi kepalanya mendadak kosong. Estrella tak menyangka bahwa pagutannya disambut. Widura membuka mulutnya, hingga lidah mereka bertemu. Hingga ia mulai kesulitan bernapas.

Seolah terlena, laki-laki itu terduduk dengan tergesa. Ia memindahkan tangan Estrella ke lehernya. Tangan gadis itu memegang erat tengkukknya hingga tiada lagi jarak diantara mereka.

Seiring makin panasnya ciuman mereka, Widura dapat merasakan tangan Estrella menyusup ke dalam kaosnya, dengan gerakan lembut ia meraba kulit perutnya hingga ke dada.

"Anjing!" Widura langsung menjauh. Matanya membelalak sempurna. Ritme napasnya patah-patah. Dengan cepat ia bangun dari kasur, dan membenarkan kaosnya.

"Wid!" Estrella terperangah.

"FUCK YOU!"

Estrella terlonjak kaget saat umpatan itu keluar dengan keras dari mulut Widura. Ia menutup mulutnya, masih terduduk di kasur dan menyaksikan Widura yang tiba-tiba bersimpuh di depan meja.

"FUCK! FUCK! FUCK!"

Melihat Widura menonjoki lantai dengan brutal membuat Estrella tak berani beranjak dari tempatnya.

"Kamu yang bilang hari ini hari aku kan?!"

Memilih tak menggubris, laki-laki itu melangkah ke arah sofa dan menyambar jaketnya, sontak Estrella langsung terduduk.

"Kalo gitu kamu juga milik aku hari ini!"

Widura menghirup napas panjang, ia mengusap kasar wajahnya dan memaki dirinya sendiri keras-keras.

"Aku cinta kamu, Wid." Suara Estrella nyaris hilang.

Estrella kembali berdiri menghadap Widura.

"Diem!" Bentak Widura. Laki-laki itu menunjuk perempuan yang hendak menghampirinya. "Jangan. Jangan lagi dan jangan pernah!"

Tenggorokan Estrella tercekat, hatinya sakit. Tetapi ia enggan menyerah begitu saja.

"Aku bakal rahasiain ini—"

"Estrella!" Widura semakin jadi. "Udah gila lo ya?!" Ia ingin menghilang dari hadapan Estrella sekarang juga.

Dibentak kesekian kalinya menimbulkan cubitan di dada Estrella semakin ngilu, seolah ada pisau tajam yang menusuk ulu hatinya. Seakan kehilangan akal sehat, gadis itu berlari ke arah pintu, dan mengambil cardlock yang tergeletak di nakas dekat pintu.

"Es, Es!"

Widura refleks mengumpat lagi melihat Estrella memasukan benda itu ke saku dadanya.

"Kamu mau kan?" Estrella menunjuk dadanya dengan gerakan kepala.

"FUCK!" Widura menendang sofa di dekatnya.

Meskipun takut, Estrella hanya ingin egois sekali ini saja. Ia bahkan berani menjamin bila ia takkan menyesali perbuatan mereka di kemudian hari.

"Lo!" Widura menunjuk gadis itu dan dirinya bergantian. "Gue udah punya Abel! Lo juga udah ada Ghazi!"

Mendengar kata ke-empat Widura, membuat Estrella naik pitam. Tatapannya lurus pada Widura dengan sorot kemarahan dan kekecewaan. Dan ketika ia teringat kembali pada alasan mengapa ia memulai semua ini, ia tidak bisa menahan perih yang rasanya jauh lebih parah kalaupun Widura harus main tangan terhadapnya.

Selama ini ia selalu mengalah. Selama ini ia selalu mendapat penolakan. Selama ini ia tak pernah dilihat. Tetapi tidak untuk kali ini.

"Tapi aku gak bahagia sama dia!"

Widurs mulai kesulitan bernapas, laki-laki itu menghirup udara lewat mulut. Mereka berdua terdiam hampir lima detik.

"Estrella, besok pagi kita balik." Widura berusaha menenangkan suaranya.

Estrella menggeleng cepat.

"Kamu juga gak bahagia kan sama dia?" Suara Estrella bergetar.

Widura memijat pangkal hidungnya.

"Es."

"Dia itu orang baru di hidup kamu! Dia gak tau apa-apa!" Kali ini Estrella tak dapat menahan tangisnya.

Kepala Widura memanas, laki-laki itu memejamkan matanya kuat-kuat.

"Sekali lagi aku tanya! Apa kamu bahagia sama dia?!"

Widura tak langsung menjawab, rahangnya yang sejak tadi menegang langsung melunak. Ia menghela napas pelan-pelan. Begitu melihat bahu Estrella merosot, barulah Widura membuka mulutnya.

"Gue gak pernah gak bahagia sama dia," suara Widura terdengar pelan, tajam, dan menusuk.

"Bohong!" Estrella terkekeh, ia menggeleng tak percaya.

"Dia satu-satunya kebahagiaan di hidup gue."

Airmata Estrella merembes begitu saja. Buliran ini bukan hanya mewakili kesedihan yang mendalam, tetapi juga amarah. Namun, karena terlalu marah, gadis itu tak dapat meluapkannya. Maka dikeluarkannya cardlock tadi dari sakunya, sebelum ia letakkan di tempat semula.

"Am i just a fool for you?"

TIDAK ada percakapan apapun sepanjang perjalanan hingga mereka telah tiba di Jakarta. Kedua remaja itu sama merasa resah satu sama lain. Terlebih mengingat setelah kejadian gila itu, Widura akhirnya menguncikan Estrella dari luar, dan memutuskan tidur di musholla hotel.

Alasan Widura melakukan hal demikian karena ia takut Estrella akan melakukan hal gila lain, seperti pulang ke Jakarta tiba-tiba atau apapun itu.

Lewat kaca spion, Widura melihat Estrella yang tadinya tengah memandanginya, kini memalingkan wajahnya. Sejak pagi tadi gadis itu terus menghindari kontak mata dengannya. Bahkan sejak Widura membuka pintu kamar tadi pagi.

Widura paham.

Jika dikulik kembali, sebetulnya bukan Estrella yang seratus persen bersalah di sini. Tetapi ia juga. Bahkan ia sadar jika dirinyalah yang menyulut api duluan.

Namun, laki-laki itu enggan mengatakan apa-apa. Karena ia mengerti betapa hancurnya Estrella. Aib ini. Aib ini milik mereka. Aib ini tanggung jawab mereka. Widura menegaskan hal itu dalam hati.

Alih-alih berusaha fokus, Widura mengurangi kecepatannya. Pandangan laki-laki itu menajam melihat jalanan yang hendak ia tempuh tengah dirazia polisi.

Sontak laki-laki itu menoleh ke belakang.

"Shit! Cops!"

Posisi duduk Estrella langsung berubah. Ia langsung menundukkan kepalanya.

"Kita ke kost gue dulu ya ambil helm."

"Lo gak bisa gitu, Bel. Jatohnya lo egois. Toh, kan Kak Widura masih ada itikad baik sampe nyamperin lo malem-malem. Malah dia juga pagi tadi jemput lo kan? Kalo lo terlalu ikutin ego lo, jatohnya lo yang toxic di sini. Lo dominan. Karna, kan posisinya Kak Widura udah usaha, itu artinya dia tanggung jawab."

Kata-kata Helen kemarin sore terus berputar di kepala Abel. Gadis itu menggigiti bawah bibirnya sambil mengganti posisi kepalanya yang awalnya di sanggahan tangan kirinya hingga menyender ke belakang.

Keputusannya untuk mengadakan surprise visit sambil sarapan bareng baginya merupakan hal yang tepat untuk memperbaiki keadaan. Setidaknya, Abel berharap kedatangan pertamanya ini dapat membuat hubungan mereka hangat lagi.

Pak Abu— sopir baru Abel, mengurangi kecepatannya ketika tiba di blok perumahan dan mencari nomor yang sesuai. Abel membuka kaca jendela. Matanya mengelilingi sekitar. Sampai pada akhirnya mobil itu berhenti, di depan rumah tingkat berpagar hitam.

"Ini udah bener kan, Bel?"

Abel membuka lagi maps untuk memastikan titik.
"Iyap! Betul sekali!" Gadis itu meraih goodie bag-nya yang berisikan dua kotak bekal.

"Nanti mau dijemput lagi gak?"

"Nggak usah, deh pak. Biar aku dianterin pacarku aja." Perempuan itu membuka pintu mobil dan memijakkan kakinya di aspal. Mencoba tak hiraukan debaran gila dibalik dadanya.

"Dasar abege!" seru Pak Abu begitu kaca jendela terbuka.

Abel menyengir lebar, tangan kirinya menjinjing tas, sedangkan yang kanan menggenggam ponsel.

"Yauda saya balik ya, nanti kalo berubah pikiran pengen dijemput telfon aja."

"Oke pak! Hati-hati!"

Melihat Pak Abu menekan klakson sekali, dan memutar balik, Abel berjalan menuju pos security kost. Tatapannya tertuju pada sosok paruh baya berkaos singlet putih dan celana cargo hitam di bawah lutut tengah merokok, membelakanginya.

"Permisi, Pak."

"Iya?" Laki-laki itu menoleh dengan raut heran melihat sosok perempuan mungil yang baru pertama kali ia temui.

"Pak. Aku ketemu sama yang namanya Widura bisa?"

"Oh, Widura mah dari kemaren gak ada, Non."

"Dari kemaren?"

"Pagi doang saya liat dia berangkat sekolah. Abis itu belom pulang..." Laki-laki itu membuang puntung rokoknya ke bawah sebelum menginjaknya.

"Berarti semalem dia nginep di luar, dong?"

"Iya, non."

Abel menahan napasnya. Pasti gara-gara aku...

"Emang non ini siapa?"

"Abel, pacarnya Widura. Bapak siapa?"

"Oh, saya Bani yang jaga kosan," kata Bani. "Udah coba telfon belom non?"

"Udah, tapi nomornya gak aktif terus."

"Yaudah, non. Nunggu di dalem aja yuk, di sini panas."

"Boleh, deh."

Bani membuka pintu berkayu jati besar di hadapannya, disusul Abel di belakangnya. Dan, tanpa ragu gadis itu langsung duduk di sofa marun yang berdekatan dengan stop kontak.

"Mau minum apa non? Biar saya suruh Mbak Pat buatin."

"Hm... enggak usah deh! Takutnya aku kepengen es teh manis. Soalnya kan lagi diet, hehe." Abel membuka goodie bag-nya, dan mengeluarkan chargeran ponselnya.

"Oh oke non,"

Bani mengurungkan niatnya ke atas, ia malah menghampiri Abel. Kepalanya menggeleng geli melihat gadis berkaos pink itu kini berjongkok, mencolok adaptor ke stop kontak.

Setelah melihat gambar petir di pojok kanan layar ponselnya, Abel duduk di tempat semula. Lalu ia membuka lagi goodie bag-nya.

Ribet bener dah ni bocah, pikir Bani.

"Biar beda ya non pagi-pagi ngapelin pacarnya."

Abel menoleh dengan cengiran lebar sambil menyelipkan rambutnya dibalik daun telinga.

"Iya, sekali-kali gitu bawain dia sarapan," sahutnya, ia lalu mengeluarkan kotak bekal pink bergambar tiga ekor gajah. "Ada dua nih pak, bapak mau gak?"

"Heee gak usah, non! Saya tadi udah nyabu."

Abel melotot kaget. "Hah? Nyabu?"

"Nyarap bubur, hehe."

"Bisa aja," Abel mendecih pelan. Tangannya tetap terulur ke arah Bani yang masih berdiri di dekatnya. "Tapi ini gak papa kok pak. Kan ada dua, jadi satu buat bapak, satunya lagi buat Kak Wid."

"Ah beneran nih, non?"

"Iyaaa! Masa aku boong?" Abel menggoyangkan kotak bekalnya.

"Yaudah deh, makasih ya non! Semoga berkah!" Pak Bani menerima bekal dengan semringah.

"Aamiin..."

"Yaudah saya ke atas dulu ya non, mau kontrol atap." Pak Bani menunjuk ke atas dengan tangan dan gerakan bibirnya.

Abel mengangguk cepat. "Iya pak, silahkan."

Mendengar suara deritan standar motor, Abel langsung berdiri. Namun yang masuk malah laki-laki berparas oriental yang bisa Abel tebak salah satu penghuni kost ini.

"Kirain Kak Wid...."

Setelah hampir setengah jam Abel menunggu, akhirnya ia mendengar suara Ninja yang sudah melekat diluar kepalanya. Gadis itu langsung bangkit, sambil mempersiapkan diri untuk bertemu Widura. Bibirnya berkomat-kamit mengingat rangkaian kata yang telah ia susun bersama teman-temannya.

Mendengar mesin motor dimatikan, gadis mungil itu berhenti bermonolog. Dengan degupan jantung hebat, ia melangkah keluar.

Kakinya terhenti tepat dua meter di depan pintu. Ketegangan di raut wajah Abel semakin jadi disaat kedua matanya melihat Widura yang baru saja turun. Ekspresi laki-laki gondrong itu pun tak kalah tegang.

Dan buliran di pelupuk mata Abel menggumpal begitu melihat sosok perempuan berambut ikal yang juga baru saja turun. Perempuan yang merupakan kakak kelasnya.

Abel terperangah. Bibirnya terbuka. Matanya menatap sosok di hadapannya bergantian dengan sorot tak percaya. Kakinya mundur dua langkah.

"Bel."

Tanpa berkata apa-apa, Widura segera menghampiri Abel dan menggenggam lengan perempuan itu erat-erat. Tapi Abel diam tidak berkutik.

"Bel, hey." suara Widura terdengar lembut. "Abel, Abel?"

Tak mendapat respon apa-apa, Widura lalu menarik gadis itu ke pelukannya. Tetapi, Abel masih bergeming. Gadis itu mematung. Seluruh kekuatan yang ia miliki seolah melemah dengan sempurna. Ia terpaku. Begitu matanya mengarah pada seragam Estrella yang lecak, airmatanya terjatuh.

Dengan sangat jelas Abel dapat merasakan degupan jantung Widura yang membabi buta.

"Bel, gue mohon tenang dulu ya."

"Lepas, kak." Isakan Abel terdengar parau dan lemah. Gadis itu menegangkan otot betisnya, agar ia mampu berdiri.

Widura menuruti permintaan kekasihnya, matanya mengikuti arah pandang yang Abel tuju— pada perempuan yang seragam sekolahnya sama dengan Abel miliki.

"Demi Tuhan gue cuma anterin dia doang! Gue nggak ngapa-ngapain!"

Abel memejamkan matanya kuat-kuat. Dalam kegelapan, ia ingat jelas perkataan Bani tadi. Mulai dari Widura yang tidak pulang seharian. Lalu kini ia datang bersama perempuan yang masih berseragam. Tambah lagi pakaian Estrella terlihat lecak. Berarti kemarin mereka menghabiskan waktu seharian. Itu bukanlah hal yang bisa dilakukan antara teman lawan jenis.

Kini Abel paham alasan dibalik sikap sinis Estrella yang kerap ditujukan padanya. Semua sudah jelas.

"Oke—" Abel mengangguk cepat. Pandangannya berpindah ke Widura, nanar.

"Nggak, Bel. Gak kayak gitu!" Widura menggeleng cepat.

Gadis itu terus mengangguk.

"Kalian tidur bareng kan?" Pertanyaan itu Abel ajukan kepada kelas perempuan yang dulu ia kagumi.

"ENGGAK BEL SUMPAH!" Seru Widura.

"Kamu jawab!" Abel menunjuk Estrella. Ia bahkan enggan menyebut nama kakak kelasnya. Ingin sekali ia menjambak atau memukul perempuan itu, tetapi untuk menghampirinya saja, ia sudah tak sudi.

Sementara perempuan berseragam putih abu itu menatap Abel dan Widura bergantian, sebelum samar-samar akhirnya ia ikut menangis. Dari sini Abel sudah dapat menarik kesimpulan. Gadis itu menutup mulutnya dengan punggung tangan.

"Bel—" Widura memegang kedua bahu Abel.

Abel menggeleng lemah. Napasnya tersenggal.

"Demi Tuhan gak kayak gitu Bel!"

Kepala Abel terus menggeleng. Ia menepis tangan Widura. Tidak kuat-kuat. Tetapi tidak juga lemah. Terkesan tegas dan tak terbantahkan.

"Abel." Kali ini Estrella yang angkat suara.

"Emang dasar anjing lo berdua!" Suara Abel membulat ditengah sendatan.

Tak pedulikan barang-barangnya yang tertinggal di dalam, gadis itu melangkah keluar pergi dengan ponsel di genggaman.

Airmatanya mengalir deras membanjiri pipinya. Sendatan mengiringi setiap langkahnya yang tergesa-gesa. Gadis itu mengabaikan Widura yang terus membuntutinnya serta tatapan orang sekitar.

"Bel. Please, gue gak tidur sama dia! Sumpah!"

Abel tak menggubris apapun, ia hanya terus mengusap air matanya sambil tetap berjalan. Isakannya semakin menjadi-jadi, bahunya terus berguncang, hidungnya tersumbat, pipi dan matanya memanas. Widura menahan tangan Abel dan perempuan itu menepisnya sekuat tenaga.

"UDAH!" Jerit Abel. Gadis itu terbatuk.

"Tapi gue gak tidur sama dia, Abel!" Widura semakin frustrasi. Matanya memanas, ia takut hal yang tak diinginkan terjadi. Ia benar-benar takut jika kata itu meluncur dari mulut Abel.

"Gue harus sumpah kayak gimana lagi sih biar lo percaya?!" Suara Widura hampir pecah.

Abel mengangkat satu tangannya, menyuruh Widura diam.

"Gak usah." Abel menggeleng kuat, susah payah ia menghirup napas lewat mulut. "Kita emang gak bisa terusin ini."

Belum juga Widura bersuara lagi, Abel kembali membuka mulutnya.

"Kita udahan aja."

MAAP BANGET YA NGARET LUAR BIASA

Makasih banyak buat kalian yg udah mau bertahan! Yak, part tamat semakin mendekat.
Artinya, kita akan berpisah dengan gulma</3

Gimana gais part ini?

Yang tadinya tim estrella ada yg berpaling? Atau sebaliknya? Yang timnya abel ada yg berpaling?

Asli. Gue juga kaget estrella bisa begitu anjas😭🤟🏾

Dan Abel... hm asli gue paling kesian sm Abel sm Ghazi😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top