35.
Gatau harus bilang apa yang jelas maap baru update ya gais🥺
Semoga berkenan vote/komen cerita ini
Nanti curhat dikit ya di a/n hehehe^v^
Keshi — Like I Need U
SEMBURAT langit oranye kini berubah menjadi agak keunguan menandakan hari sudah magrib. Mata Estrella yang tertuju pada bangunan sekitar kontan membelalak, tangan kanannya yang tadinya menggenggam lutut refleks mencengkram jaket Widura saat motor melintasi polisi tidur.
"Sori. Gak keliatan."
Estrella terkejut, tenggorokannya tercekat hingga ia kesulitan menelan ludah. Jantungnya seketika berdegup tidak karuan, begitu kencang sampai-sampai ia khawatir Widura dapat merasakannya.
"Sori, sori."
Estrella langsung menarik diri sambil menahan napas, mencoba mengusir debaran yang sedang ia rasakan. Sementara, Widura tak merespon apa-apa.
"Wid?"
Widura tak mendengar.
"Wid!" Kali ini Estrella teriak.
"Apa?"
"Kamu kira-kira masih gabut gak?" Estrella masih berteriak.
Sontak, laki-laki itu memelankan gasnya, meminggirkan motornya.
"Kenapa emang?" Tanya Widura, begitu berhenti di tepi jalan. Ia membuka kaca helmnya.
"Enggak." Estrella menelan ludahnya. "Aku soalnya gak pengen pulang."
"Lah? Maksudnya gimana?" Widura menoleh ke belakang.
"Besok aku ulang tahun."
"Terus?"
"Aku gak mau pulang."
"Hah?" Widura mengerutkan keningnya.
"—Mau main yang jauh kira-kira boleh gak?"
TIDAK banyak percakapan yang terjadi antara Widura dan Estrella selama hampir tiga jam perjalanan menuju kawasan Puncak. Mereka lebih banyak diam, menikmati hiruk pikuk jalanan yang masih ramai.
Meski pada awalnya Widura sempat mengatakan Estrella gila, tetapi pada akhirnya Ninja hitam itu berhenti di warung kuliner Warpat.
Widura mematikan mesin motornya, ia melirik sekilas perempuan yang baru saja turun dari motornya. Diam-diam ia mengembuskan napas. Meskipun sempat ragu mengiyakan ajakan Estrella, tetapi entah mengapa Widura akhirnya bertindak sespontan ini.
Terlebih, diamnya Estrella yang membuatnya dirundung rasa segan.
Entahlah.
Yang jelas, diantara mereka tak ada yang membenci malam ini.
"Pantat lo gak pegel apa?" Tanya Widura, begitu turun.
"Pegel sih, tapi yaaa...." Estrella menggoyang-goyangkan kepalanya dan tertawa.
Widura tak menanggapi, kakinya berjalan menuju etalase. "Pesen ya, bu." Ujarnya, pada sosok wanita paruh baya berkerudung bergo hitam.
"Iya, mau pesen apa?"
"Lo mau nasi gak?" Laki-laki itu menoleh ke perempuan berambut ikal yang kini berdiri di sebelahnya.
"Nasi goreng boleh, deh."
"Di sini tuh vibesnya best banget kalo makan mie sama jagung bakar,"
"Nasi goreng satu, jagung bakar dua, indomie kari spesial dua, pake telor," Widura menoleh ke Estrella. "Lo minum apa?"
"Teh manis,"
"Teh manis satu, kopi hitam satu, mineralnya dua botol."
"Jadi, 79, A."
Widura mengeluarkan selembaran uang berwana merah muda dari dompetnya.
"Gak aneh emang abis makan mie makan jagung bakar?" Estrella sudah tidak lagi melihat ke depan, kali ini ia berdiri tegap membelakangi Widura.
"Di situ aja yuk duduknya," tunjuknya ke arah meja berbentuk persegi sembari berputar sesaat. Yang diajak mengangguk, lalu keduanya melangkah ke sana.
"Sayang banget ya kalau siang pasti bakal bagus banget nih view-nya."
"Biar apa gitu?"
"Kamu tuh gak pernah berubah ya,"
"Gak pernah berubah gimana?"
"That 'biar apa gitu?' Kan Widura banget." Sengaja Estrella memasang wajah datar ala Widura saat mengatakan 'biar apa gitu'
Widura hanya mengedikkan bahunya. Keduanya terdiam, hingga pesanan mereka datang.
"Btw, kan lo lagi ulang tahun, kok lo malah gak rayain sama keluarga atau pacar?" ujar Widura, tangan kanannya menyuap mie, sedangkan yang kiri menyendokkan kuah.
Kunyahan Estrella sempat memelan, namun ia langsung normal lagi begitu membelah kuning telurnya.
"Kan sama mereka bisa kapan aja, sama kamu enggak. Nanti kan setelah lulus, aku dimana... kamu dimana."
"Lagian kita udah terlanjur jauh juga, kocak abis kalo gue balikin lo ke Jakarta jam segini."
Kemudian hening lagi, hingga hidangan kedua remaja itu habis. Widura meraih jagung bakarnya, tak pedulikan delikan geli Estrella yang seolah mengatakan laki-laki itu rakus. Enggan pedulikan tatapan itu, Widura malah menyodorkan jagung bakar yang satu lagi ke arah Estrella, namun perempuan itu menggeleng.
"Gila kamu gak kenyang?"
"B aja."
Estrella menghela napasnya, ia berpaling ke sekitar. Sementara Widura meneguk mineralnya sebelum melanjutkan santapannya.
"Kamu emang gak capek?"
Widura mengerutkan keningnya. "Kok capek?"
"Kalo sekiranya gak kuat anter aku balik besok, aku bisa naik umum."
"Gaya." Kerutan Widura hilang, berganti dengan delikan geli. "Kayak pernah naik umum aja?"
"Pernah lah." Estrella balas mendelik geli. "Emang kamu doang yang sering?"
"Kalo gantian lo yang nyetir motor aja gimana?" Widura tersenyum miring. Wajahnya menunjukan kalau ia cukup terkesan.
"Ya, kalau kamu udah bosen hidup aku sih gak masalah."
"Kebetulan ya?" Widura menarik sebelah alisnya. "Lo juga udah bosen kan?" Lanjutnya, bercanda. Ia terkekeh saat menyadari mulutnya mengeluarkan asap lantaran dingin.
"Lo ada tempat yang mau dituju gak?"
"Aku sih gimana kamu aja."
"Lah?" Entah sudah berapa kali Widura menarik alisnya.
"Iya. Terserah kamu, kemanapun yang kamu mau, pasti aku juga mau."
"Lo mau sunrise di bukit?"
"Kenapa enggak?"
Widura menegak mineralnya. Jagungnya sudah habis. Laki-laki itu menyesap kopinya perlahan. Matanya memandangi gadis yang tengah menyisiri rambutnya dengan jari.
"Lo paling jauh jalan sama Ghazi kemana, Es?"
Estrella menarik napas dalam sebelum mengangguk sekali. "Puncak juga,"
"Oh, di mananya?"
"Masjid Atta'awun,"
"Wow, wisata religi ya."
Estrella tergelak. "Enggak, emang viewnya juga bagus banget disitu, tempatnya pun cozy, jadi yaudah."
Widura melirik Estrella sekilas, lalu meretsleting rapat jaketnya.
"Kamu sendiri pernah ke sini sama pacarmu?" Estrella bertanya, tapi pandangannya tak luput dari orang-orang di sekitar.
"Nggak," jawab Widura jujur. "Gue cuma pernah ajak dia ke live music, mall, pokoknya tempat-tempat yang dia banget lah," tanpa perlu bertanya balik, Widura sudah tau kalau Estrella juga pasti belum pernah ke sini.
"Tempat-tempat yang dia banget tuh kayak apa?" Mata Estrella kini beralih ke arah pepohonan besar yang berjejer.
"Tempat-tempat yang instagramable,"
"Dasar anak jaman."
"Gitu lah, budak aesthetic."
Estrella mengangguk dua kali, dan tak sadar jika ia menahan napasnya.
"Bertolak belakang banget ya sama gue yang gak begitu suka tempat kayak gitu?" Lanjut Widura.
"Emang yang kamu suka kayak apa?" Kali ini Estrella menatap Widura intense.
"Kayak gini." Widura menjeda sejenak. "Adem, asri, tenang, jauh dari keramaian."
"Berarti aku aja dong yang pernah kamu ajak ke sini."
"Warpatnya iya. Puncaknya enggak." Ekspresi Widura sempat berubah, namun ia langsung biasa lagi.
Kening Estrella mengerut. "Terus siapa lagi dong?"
"Giska," sahutnya, kalem.
"Giska?"
"Iya, pas kelas sebelas."
"Yang penting kan sekarang kamu udah ada pacar, jadi Giska udah lewat lah ya..." Estrella mengangkat bahunya.
Keduanya kembali diam. Bukan karena kehabisan topik atau apa, tetapi enggan saja mengatakan hal-hal yang tidak perlu dibahas.
"I don't know what to say," Estrella masih memandang ke depan. "Tapi aku suka banget sama tempat ini."
"Emang waktu ke At-Ta awun sama Ghazi gak diajak mampir ke sini?" Widura mengeluarkan rokok dan korek dari saku jaket.
Estrella mengedikkan bahunya, menoleh sekilas ke lawan bicara. "Enggak langsung bablas," ujarnya.
"Well, now you're here," balas yang laki-laki, seraya mengisap benda itu pelan-pelan.
Perempuan itu akhirnya menoleh dan menatap Widura sambil tersenyum. Kedua tangannya meremas ujung kardigannya, menahan rasa dingin yang lama-kelamaan mulai menusuk kulit.
"Makasih ya, Wid."
Widura hanya tersenyum sebelum ia kembali menatap ke sekeliling. Setelah tidak ada yang bicara lagi selama dua menit, akhirnya sebuah suara memecahkan keheningan antara mereka berdua.
"Di sini jual mochi kan?" tanya yang perempuan.
"Lo kedinginan ya?" Widura malah balik bertanya.
"Lumayan," Estrella merapatkan lututnya.
"Kalo lo udah gak kuat bilang ya, biar nanti kita ke Bogor aja."
Estrella hanya mengangguk. Hingga keheningan kembali tercipta. Dalam hati, Estrella mensyukuri segala hal kecil yang terjadi di hari ini.
"Wid,"
Yang dipanggil menoleh.
"Aku boleh jujur gak?"
"Apa?"
"Aku ngantuk," ujar yang perempuan pelan.
Widura mengernyit. "Lah? Katanya mau sunrise?"
"Iya, tapi ngantuk."
"Sekarang banget mau tidurnya?"
"Emang kamu mau di sini sampe kapan?" tanya Estrella.
"Terserah lo."
Perempuan yang baru saja meraih mineralnya itu mengernyit. "Kok?"
"Kan lo yang lagi ulang tahun, jadi ini hari lo. Semua rules ada di lo."
Refleks, senyuman Estrella mengembang sempurna. Pancaran matanya berbinar terang seperti rembulan di atasnya.
"Bener?"
Alih-alih menghirup napas panjang, Widura akhirnya mengangguk.
"Kalo aku mau sampe sunset?"
Widura mengangguk lagi.
"Sampe midnight?"
Kali ini Widura terkekeh. "Udah gila lo."
"Lagian." Estrella ikut tertawa. "Aku cuma mau sunrise."
"Jadi setelah sunrise kita balik nih?"
Estrella tertegun, menatap Widura cukup lama. Ia terlalu takut untuk mengungkapkan jawaban. Karna, berapapun angka waktu yang ia mau tidak akan pernah cukup. Ia akan selalu merasa kurang. Hati kecilnya selalu ingin bersama Widura.
Mengingat baru saja melalui perjalanan yang cukup panjang, masa sudah membahas pulang saja? Lagi pula, Estrella sebetulnya juga tidak ingin membayangkan hal itu. Berada di Puncak dengan pemandangan yang sangat indah dan Widura di sebelahnya adalah hal terbaik yang pernah ada di ulang tahun Estrella.
"Tapi gue akuin, gue gak yakin kuat nyetir setelah sunrise."
Posisi duduk Estrella berubah. "Berarti—"
"Mau gak mau." Potong Widura, laki-laki itu membuka dompetnya, dan mendongak. "Lo bawa uang berapa?"
"Aku gak bawa ATM,"
"Anjing. Mana duit gue tinggal dua ratus dua puluh, shit!" Widura sontak melempar rokoknya yang masih penuh ke bawah.
"Aku masih ada tapi nih cash tujuh lima."
"Gue rasa uang kita cuma cukup untuk single bed."
Estrella yang masih shock, hanya menatap Widura tanpa berkedip. Laki-laki itu mengeluarkan kartu berwarna biru dari dompetnya.
"Pegang ini." Widura menyodorkan KTP-nya ke Estrella. "Kalo lo waswas gue berbuat kurang ajar sama lo, ini jaminan kalo lo mau laporin gue ke polisi."
MEREKA berdua turun dari motor dan berjalan ke arah tempat reservasi, laki-laki itu menyamakan langkahnya dengan Estrella yang kini berdiri di hadapan resepsionis.
Sempat Estrella diserang perasaan gugup begitu menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata lantaran seragam abu yang mereka kenakan.
"Silahkan, ada yang bisa dibantu?"
Widura mengeluarkan ponsel, menunjukkan bukti yang ada di e-mail ke perempuan berambut sanggul di hadapannya, tak lama perempuan itu mengembalikan ponsel Widura.
"Aku nunggu di sana ya," Estrella menunjuk ke arah sofa di sebelah patung Venus de Milo. Widura mengangguk.
Estrella mengeluarkan ponselnya, namun nahas. Benda itu sudah mati. Gadis itu refleks mendesah resah.
"Aduh begonya aku!" Pekiknya.
"Kenapa?" Ujar Widura yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapan Estrella.
"HP-ku matot."
"Anjing, gue juga gak bawa charger lagi. HP gue tinggal 10%"
"Aduh! Aku takut orangtua aku nyariin aku!"
Saat seorang pekerja hotel memberikan satu kartu yang telah dipesankan atas nama Widura Anugerah, kedua remaja itu terbungkam seribu bahasa. Widura menatap perempuan ikal di hadapannya dengan sorot tak terbaca.
"Yaudah kalo lo mau balik, gue pesenin taksi ke jakarta aja gimana?"
"Enggak lah! Kan kita udah booking kamar!" Bisik Estrella, setengah memekik.
Widura tak menjawab, ia mengurungkan langkahnya yang hendak menuju ke lift.
"Lagipula kan aku yang minta diajak jalan jauh?" Lanjutnya, dengan intonasi yang sama.
"Yaudah kalo gitu, sekarang kita tidur. Biar besok kita bisa balik pagi." Tanpa babibu, Widura akhirnya melangkah menuju lift.
Selama di dalam lift, kedua remaja itu berdiri agak jauhan. Hingga pintu lift terbuka, Widura melangkah ke arah pintu nomor 909. Hal pertama dilakukan Widura setelah pintu terbuka adalah menjatuhkan tubuhnya di sofa dan melepas sepatunya.
Sedangkan Estrella, duduk di sisi ranjang single bed-nya. Ia meremas jaketnya, ragu-ragu untuk tidur dalam keadaan masih berseragam.
Tubuh Estrella masih berada di atas kasur. Perlu dua belas detik baginya untuk mencoba berbaring.
"Wid." Panggil yang perempuan dengan posisi meringkuk, menatap sosok yang betisnya melewati ujungnya sofa.
"Hm?" Sahutnya dengan mata terpejam.
"Kamu ada baju lagi nggak?"
"Enggak."
Lalu Estrella terdiam.
Widura membuka matanya, diliriknya perempuan yang masih mengenakan seragam putih abu itu lewat ujung mata, ia tahu pasti jika Estrella tidak baik-baik saja, dan dirinya ingat bila seragam gadis itu sempat terciptat air hujan tadi sore.
"Jangan bilang lo gak ada ganti sama sekali?" Widura akhirnya menatap Estrella sepenuhnya.
Gadis itu mengangguk kaku. Ia menarik selimutnya hingga membungkus pundak.
"Dalem seragam lo?"
"Tanktop," sahutnya pelan.
Widura menghela napasnya.
"Yaudah gak papa kok, aku yang penting kan ada selimut."
Laki-laki berambut gondrong itu melirik jam dinding, jarum pendek yang hampir menunjuk angka dua belas.
"Yaudah, tidur," ujar yang laki-laki, dilipatnya kedua tangan di depan dada.
"Kamu gak selimutan gak papa?"
"Lo sendiri emang gak papa tidur pake rok pendek kayak gitu tanpa selimut?"
Hening.
"Emang kamu nyaman tidur di sofa yang kecil kayak gitu?"
Widura tak menjawab, laki-laki itu mengeratkan lipatan tangannya di depan dada.
Dengan sisa-sisa keyakinan yang ada dalam dirinya, perempuan yang meringkuk itu menoleh ke arah sofa. Butuh waktu lima menit baginya untuk memberanikan diri membuka mulut.
"Kalo kamu mau pindah ke kasur gak papa, kok. Aku percaya kamu gak bakal ngapa-ngapain."
Sontak, mata Widura yang baru terpejam sebelas detik langsung terbuka lagi. Ia menelan ludahnya. Lipatan tangan di depan dadanya meregang. Kemudian ia menoleh ke arah ranjang. Terlihat, gadis berambut ikal itu kini membelakanginya.
Setelah melawan keraguannya selama sebelas detik, akhirnya laki-laki itu bangkit dari tempatnya, melangkah mendekati ranjang, lalu membaringkan tubuhnya di sisi yang kosong.
Meski tak bergeser atas bergerak sama sekali, Widura tahu betul jika Estrella tidak tertidur dan perempuan itu tetap memunggungi Widura. Laki-laki itu membuka selimut, dan membungkus tubuhnya.
Sebenarnya ia sendiri tidak tahu apa yang sedang dilakukannya. Namun, ia yakin kalau apa yang membuatnya bertingkah seperti ini adalah karena ternyata ia merasakan ada kehangatan lain yang ia rasakan terlepas dari bungkusan selimut.
Widura menyandarkan kepalanya di atas lipatan kedua tangannya. Tubuh laki-laki itu menghadap Estrella. Kaki mereka bersentuhan, tubuh mereka mendempet. Sambil berusaha mencerna gejolak yang membara di dadanya, tangan kanan Widura bergerak, memeluk perut Estrella.
"Happy birthday ya, Es," ucapnya pelan, meski ia tak tahu jika waktu masih menunjuk pukul 23:55.
Gais maap baru muncul
Sesuai omongan, part ini full widest☺️🤟🏾
Gimana? Seneng?
Tim widbel mohon bersabar , tim ghazest juga
Maap banget saya baru nemu mood untuk menulis, tp saya ga akan biarin cerita ini gantung. Insha Allah dalam kurun 2 bulan saya akan usahakan tamat🤗
Makasih udah bertahan💖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top