33.

Sesuai janji gais, hari ini aku update lagi aowkwowko. Ada yg seneng ga?🤩🤩

Makasih bgt ya antusiasmenya di chapt kemaren. Insha Allah aku bales komennya besok/malam ini (kl ga ngantuk😭)

Ditunggu yaa keluh/kesahnya di part ini. Semoga sesuai sm apa yg kalian mau (loh?)

Adam Levine — Lost Star
X
Nadin Amizah — Star

KUNYAHAN Widura memelan setiap kali matanya melirik benda pipih yang tergeletak di dekat piringnya. Kernyitannya muncul, pertanda heran sekaligus cemas.

Kemana sih nih anak? WA-nya gabisa dihubungin, iMessage-nya gak dibales.

"Terus lo nginep ntar?" Tanya Eja.

Laki-laki gondrong yang baru saja menyuap nasi berserta kulit ayam itu menggeleng pelan, pipinya mengembung sebelah. Sembari menunggu Mayang siuman, Kievlan mengajak kedua sahabatnya makan ayam geprek di sekitar pinggir jalan rumah sakit.

"Hari ini Ryan sama Agra yang nginep, gue besok."

Kievlan yang tengah melihat-lihat Instastory dari beranda akun, langsung menekan layar tengah ponselnya begitu mendapati video layar serba hitam, lengkap dengan lagu galau ber-caption 'current mood'. Kievlan tak dapat menahan kernyitan dahinya melihat username si pengunggah instastory. Laki-laki itu langsung teringat kejadian siang tadi.

"Eh, Wid, tadi kan gue ketemu cewek lu, bege."

"Hah? Dimana?" Widura tak jadi menggigit timunnya.

"Di jalanan, kasian bener mana jalan sendirian tadi siang."

"Parah lu. Cewek lu jalan kaki," celetuk Eja. Laki-laki itu meremas jeruk limo dikobokan.

"Tau. Mana hareudang pisan tadi." Kievlan menggeleng prihatin. "Parah bener."

"Jalanan mana?"

"Di Praja," sahut Kievlan. Satu tangannya masih menggenggam ponsel.

"Kok bisa?" Kali ini Eja yang menyahut.

"Tau. Lupa gue, terus dia minta dianterin ke MRT."

"Terus lo anterin dia ke sana?"

"Iya." Kievlan meletakkan ponselnya ke meja sebelum mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya.

"Kenapa lo gak anter sini aja?

"Lah? Kan lo baru kabarinnya juga magrib?"

"Bagi, Pli," kata Eja sebelum meraih sebungkus Marlboro merah di sebelah asbak.

"Kenapa lo gak bilang gue?"

"Lah, ini gue bilang?"

"Hahahaha goblok." Eja yang baru saja menyelipkan rokok di bibirnya, tertawa. Bahunya berguncang, matanya menyipit.

Kievlan hanya mengedikkan bahunya, dan mengembuskan asap rokoknya ke arah Widura, seolah menyoraki laki-laki itu. "Nih liat, nih. Doi baru banget upload Instastory."

Laki-laki berambut pirang itu mengarahkan ponselnya ke Widura, dan Eja tak dapat menahan diri untuk tidak mengintip.

"Ya Allah, Wid, Wid. Baru juga berapa bulan udah Untuk Apa aja, doi." Eja lalu ikut menggumamkan lirik lagu Maudy Ayunda itu. "Bener-bener lu emang."

"Asu bet. Layar item kamera ditutup jempol, lagu galau dari laptop. Plis udah. Sad girl starterpack, babi."

"Pengalaman bet ya, Pli." Eja mengambil korek, dan membakar rokoknya.

"Ettss, sori banget nih bos, Giska sama gue tu tipikal yang omongin berdua, baik-baik—"

"Tai kuda!"

Respati Widura: gue gak lagi ngemis perhatian, tapi ada yang harus lo klarifikasi

Tak sampai dua menit, dering notifikasi ponsel Widura berbunyi. Mata laki-laki itu membelalak bukan hanya karena malu kegeeran mengira bahwa itu dari Abel. Melainkan, karena nama si pengirim pesan.

Caesario: She's tiny and cute, right? Mana tadi pake sepatu kuning gemes bgt wkwk

Bangsat!

"Gue duluan ya." Widura menyambar kunci motor dan sebungkus rokok yang tergeletak di dekat kotak tisu.

Eja terperangah.

Kievlan melongo.

"Eh, mau kemana lo?" seru Kievlan.

"Cewek gue," sahut Widura.

"Yha bangsat."

"Bucin trooss!"

HAMPIR dua puluh tiga kali sudah, lagu Untuk Apa milik Maudy Ayunda berputar dari laptop Abel. Gadis itu sengaja mematikan Wi-Fi, dan data seluler-nya. Tak pedulikan beberapa sobekan di kaos putih kebesarannya, serta celana jogger pants berwarna hitam, ia anteng tengkurap dengan kaki ditekuk.

"Abel," Tamara yang baru saja membuka pintu menghampiri anaknya yang tengah tengkurap di atas kasur.

Abel mem-pause lagunya, dan menoleh.

"Ada Widura tuh di bawah."

Abel mengembuskan napas pendek, dan menatap laptop lagi.

"Ngapain?"

"Gak tau, temuin gih," ujar Tamara, lembut. Tak sadar senyumnya mengembang, diam-diam merasa geli juga dengan drama percintaan anaknya.

"Enggak ah." Abel menggeleng.

"Kasian loh kayaknya dia abis dari perjalanan jauh."

"Biarin aja. Aku males sama dia." Gadis itu mengubah posisi tidurannya menjadi miring.

"Abel, gak boleh gitu ah." Tamara masih sabar.

"Badan Abel lagi nggak enak, bu!" Abel tidak dapat menahan rengekannya.

"Abel, ibu selalu ngajarin anak etika ya!" Intonasi Tamara berubah tinggi.

Abel otomatis bangkit dari tempatnya, dan mendelik jengkel ke arah ibunya. Dengan berat hati, ia turun ke bawah sambil menggerutu tak jelas. Ia lalu berjalan ke arah teras, degupan jantungnya tak dapat dielak begitu melihat laki-laki yang kepalanya ditutupi hoodie tengah berdiri di dekat meja teras.

Enggan mengeluarkan sepatah kata, Abel memilih berdeham sebagai sapaan.

Laki-laki ber-hoodie army itu memutar punggungnya, dan menatap gadis berkaos oblong putih tengah menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Mendadak jadi pengecut ya gak berani angkat telfon?" Tembak Widura langsung. Suaranya pelan, tetapi tajam.

"Cuma lagi males berantem,"Abel berujar sarkas dan dingin.

"Tapi, ada hal yang harus lo klarifikasi, Bel."

"Ngapain segala klarifikasi kalo ujung-ujungnya ribut?" Abel menurunkan kedua tangannya.

"Ya kalo lo nggak mau ribut harusnya lo nggak ngilang kayak gini, Bel!"

"Aku gak ngilang!"

"Terus apa kalo nggak ngilang? Pengen banget dicari." Intonasi Widura pelan, tajam dan menusuk. "Gue gak permasalahin ya sama tingkah caper lo. Tapi gue gak terima lo ngingkarin janji kayak gini."

"Ingkar janji?"

"Kita punya komitmen loh, Bel." Widura menunjuk Abel.

"Gak usah sok ngomongin komitmen deh, kak kalo kakak aja gak bisa ngehargain aku!" Abel mendorong tangan Widura ke bawah.

"Astaga. Gue kan udah bilang kalo gue tuh ada masalah yang harus gue urus, Bel!" Widura maju selangkah.

"Sesusah itu ya emangnya anter aku balik dulu, baru ke urusan kakak?" Mendengar suara Abel bergetar, Widura mundur.

Widura menarik napas panjang.

"Dari sini aja kakak gak tanggung jawab, kak." Lanjut Abel.

Laki-laki itu terdiam, membiarkan Abel meluapkan emosinya. Ia yakin sebentar lagi pasti gadis ini akan menangis.

Melihat mata Abel berair, Widura mundur lagi. Anjing lah malah nangis.

"Bel." Suara Widura memelan.

Abel menggeleng. "Pulang aja ya kak, Abel capek."

SEJAK percakapannya dengan Ghazi malam itu, Estrella seolah menjadi orang yang bukan dirinya. Pagi tadi ia berangkat sekolah diantar Alan, dan ia berbohong pada Inaaya saat menanyakan alasan Ghazi tidak menjemputnya.

Ia berangkat bersama perasaan asing yang sebelumnya pernah ia rasakan, perasaan tidak nyaman yang membuat dirinya risau selama duduk di mobil. Sepanjang jalan, matanya berair.

Namun sampai terakhir kali ia mencoba untuk menghubungi Ghazi, nomor yang dituju tetap tidak aktif. Semalam disaat mobil Ghazi meninggalkan rumah, Estrella berdiri dibalik pagar dengan tangisan serta kaki dan tangannya yang bergetar kecil.

Istirahat kali ini pun, ia memilih menyendiri di perpustakaan. Sempat Aci, dan Anika menanyakan hal ini. Namun, Giska langsung menyuruh kedua temannya diam. Meski belum bercerita, Giska tahu bila Estrella sedang butuh waktu untuk menyendiri.

Suara Adam Levine di headset yang sengaja ia keraskan tak juga membantu rasa sepi dibalik dadanya. Layar ponselnya dibiarkan mati, tidak ada lagi notifikasi yang masuk dari kontak Ghazi sejak semalam, Estrella memasukan ponselnya ke saku.

Bahkan ia tidak memiliki keberanian untuk menghubungi laki-laki itu atau sekedar berbasa basi singkat. Hampir dua bulan menjalani hubungan, mereka belum pernah berada dalam situasi seperti ini. Ia bahkan belum siap menceritakan hal ini ke teman-temannya.

Estrella melirik aroljinya, waktu istirahat masih lima belas menit lagi.

Estrella bangkit dari tempatnya, berjalan ke arah UKS. Entahlah. Mungkin merebahkan diri di sana dapat mengobati perasaan hampanya. Pintu UKS terbuka, Estrella mendapati ruangan itu kosong, tak ada guru piket yang menjaga.

Ia menutup pintu sebelum mencopot sepatunya, dan merebahkan tubuhnya di ranjang paling pojok.

Semalam tadi, Estrella tidak dapat tertidur tenang. Ia terbangun di pukul dua, lalu ia teringat perkataan Ghazi semalam. Bayang-bayang akan sosok Ghazi dan tatapan matanya menghantui Estrella sejak semalam.

Dengan sempurna, Ghazi menunjukkan bahwa ia marah dan sedih dalam waktu yang bersamaan. Sejujurnya Estrella belum pernah melihat Ghazi seperti itu. Ia bahkan sampai terpaku, tak mampu berkata apa-apa.

Namun, jika ditanya apakah ia merasa kehilangan? Jawabannya ya.

Akan tetapi, ia tak menampik fakta bila ia masih belum bisa sepenuhnya mencintai Ghazi.

Deritan pintu terbuka menyadarkan Estrella dari laminannya. Sontak ia terduduk, debaran jantungna menggila begitu dilihatnya sosok gondrong yang baru saja memasuki ruangan.

Laki-laki itu menarik kedua alisnya sekilas sebagai sapaan non verbal padanya, dan Estrella membalasnya dengan senyum simpul.

Tak butuh waktu lama bagi laki-laki itu untuk merebahkan diri di tengah, sebelah ranjang Estrella. Tentu, dengan kedua sepatu yang masih terpasang.

Estrella langsung mencopot satu headsetnya.

"Lo gak makan?"

"Enggak laper," Estrella menjeda. "Kamu sendiri?"

"Sama." Widura menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannnya lewat mulut.

Mata elang itu menatap langit-langit kamar yang putih bersih dan lampu yang mati. Gorden sisi ranjang dibiarkan tersibak, sehingga gadis yang duduk di ranjang sebelahnya dapat menatapnya dengan jelas.

Merasakan ada perasaan tak biasa dibalik dadanya, gadis itu menurunkan kedua kakinya sebelum berdiri.

"Lo mau ke mana?" Widura yang sedang terlentang di kasur hanya menaikkan kepalanya sedikit saat mendengar hentakan suara sepatu.

"Keluar."

"Beli makan?"

"Enggak."

"Terus?"

"Nggh— aku takutnya pacar kamu nanti malah salah paham."

"Pacar lo apa gue?"

Strike.

"Kamu lah." Estrella berusaha menormalkan suaranya.

"Dia gak masuk." Widura menjawab asal.

"Sakit?" Estrella masih berdiri di sisi ranjang yang tadi ia duduki.

"Gak tau."

"Kok gitu?"

"Karna dia gak ngabarin gue." Widura menatap langit-langit lagi.

"Emang kamu gak jemput dia tadi pagi?"

"Nggak." Ngapain juga gue jemput orang yang udah ngusir gue?

Estrella manggut-manggut, keduanya terdiam lagi selama hampir satu menit.

"Lo sendiri? Cowok lo gak ke sini?"

"Dia lagi makan paling."

Kemudian, Widura menarik napas dalam-dalam dan duduk menatap sosok gadis masih berdiri di tempat yang sama.

"Es."

"Hm?"

"Kita UN berapa bulan lagi, sih?"

"Empat." Estrella memijat telunjuknya, berupaya mengusir perasaan groginya.

"Lo bosen gak?"

"Kenapa emang?" Estrella menghentikan aksinya. Jika boleh, ia lebih memilih menghadapi hujatan sekaligus makian orang daripada harus berdiri di depan Widura saat ini.

"Cabut yuk?"

SEPERTINYA, keputusan Widura mengajak Estrella untuk membolos bareng tak akan semulus seperti saat ia lakukan sendirian. Bukan hanya karena terjebak hujan di tengah perjalanan, tetapi ia sendiri sejak awal tak punya tujuan yang jelas ingin ke mana, ia jadi bingung mau mengajak Estrela kemana.

Cahaya lampu temaram nyatanya tak mampu menerangi ruko tempat mereka berteduh. Gadis yang rambutnya dikuncir ungu itu mengeratkan jaketnya. Entah bagaimana ajakan sederhana Widura mampu mengguncang pertahanan Estrella cukup hebat.

Meski Widura tak melakukan skinship apapun padanya, namun entah mengapa rasanya usaha Estrella untuk menghapus sosok di depannya selama ini seperti sia-sia. Benteng dalam dirinya hampir runtuh bila mengingat percakapan mereka di motor tadi.

Padahal yang mereka bicarakan hal-hal klise. Tidak ada sesuatu yang layak dibanggakan. Namun, hal ini membuatnya tenggelam dalam kebahagiaan yang tak semestinya. Estrella tersenyum kecut. Tak semestinya ini terjadi.

Tak semestinya ia bersama Widura di sini.

Tak semestinya ia menghabiskan waktunya bersama kekasih orang.

Tak semestinya ia melupakan sosok lain yang masih berstatus kekasihnya.

"Demi apapun gue belom makan dari pagi." Suara laki-laki gondrong di sebelah Estrella terdengar lebih tinggi, lantaran lebatnya hujan.

"Oh ya— kamu kan ada maag ya?"

"Lo juga belom makan kan?"

Estrella menggeleng pelan.

Widura menoleh ke depan, matanya berkeliaran sekitar. Pandangannya lalu tertuju pada sign KFC di kanan seberang dari tempatnya berdiri.

"Di seberang ada KFC tuh," Widura menunjuk arah restoran fast food itu.

Gadis berkuncir kuda itu memperhatikan gerakan Widura melepas jaketnya. Ia kira akan terasa  biasa-biasa  saja. Namun ternyata, dengan hanya menyisakan kaos hitam polos, Widura lagi-lagi berhasil  membuat jantung Estrella berdebar-debar.

"Kamu mau makan itu?" Estrella meninggikan suaranya, barusaha tak gugup.

Widura tak menjawab, ia melebarkan jaketnya di atas kepala sebelum menoleh sekilas ke Estrella. "Ayo."

Oke. Sekarang jantung Estrella rasanya hampir copot.

"Hah?"

"Lo mau keujanan?!"

Estrella menatap Widura kaget, mulutnya membulat. Demi Tuhan, Estrella ingin mati saja!

Enggan menghadapi lemotnya Estrella, Widura akhirnya menarik perempuan itu mendekat, dan memperlebarkan lagi jaketnya, hingga punggung gadis itu dilingkari oleh lengannya.

"Kalo udah sampe tiga, lari ya!" Seru Widura. "Satu, dua, tiga!"

Iya. Iya. Tau tim widest boleh deh berbahagia, tapi maap banget ya buat tim widbel/ghazest(?)

Mau nanya. Kira2 kalo Widura ga sama Estrella/Abel boleh ga? Sama Anika gt misalnya(?)😭

Tbh belum nulis untuk next chap, kira2 ada request kah untuk next nya? Awowkwowko kali2 tim abel lebih vokal dong, kasian biasnya dihujat mulu😞✋

Intinya, makasih ya buat antusiasmenya. Komen2 pasti dibalas walau telat hehehe

Dapet salam nih dari dua sahabat🙂

/he iya kan sahabat?🙂/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top