31.
Halo semua! Maaf ya aku baru muncul, aku gaada apa2 emang lagi belum mood aja untuk nulis
Semoga berkenan baca author's note di bawah.
Jd, maaf ya udah buat nunggu atau kesel.
Ditunggu komentar/votesnya🖤
Kodaline — All I Want
SEPANJANG perjalanan pulang, Abel mengunci mulutnya rapat-rapat. Matanya tertuju pada deretan pepohonan rindang di luar jendela mobil. Pikirannya melayang ke kejadian dua jam lalu.
Padahal pertemuannya dengan sosok laki-laki asing tadi bukanlah hal yang besar.
Tetapi, jika ada yang bertanya apakah Abel merasa familiar dengan sosok tadi jawabannya iya. Padahal, laki-laki bermata sayu itu hanya memberikan botol minumnya yang terjatuh.
Memang, apa yang dikatakan laki-laki itu terdengar agak creepy. Namun, setelah turun dari eskalator, ia berbelok ke arah kanan, meninggalkan Abel. Abel tak mengenali orang itu. Tetapi, ia merasa seperti pernah melihat sosok itu, entah kapan dan di mana persisnya.
Lalu, embusan napas berat lolos dari mulut Abel. Gadis yang sekarang duduk di taksi biru itu langsung teringat Widura.
Apa jadinya bila laki-laki itu tahu kalau dia keluyuran sendiri di stasiun MRT?
Setelah hampir satu menit menimbang-nimbang, Abel akhirnya memutuskan untuk menghubungi Widura. Ditekannya logo telepon genggam di pojok kiri kolom chatnya dengan Widura.
Status panggilan berdering.
Hingga di akhir sambungan, status panggilan terus berdering sampai akhirnya sambungannya putus sendiri.
Kening Abel mengerut lantaran mendapati panggilannya tak dijawab.
Alih-alih masih ingin mencoba, gadis itu menghela napasnya pelan-pelan sebelum memanggil Widura lagi. Namun, hasilnya masih sama. Panggilannya tak dijawab. Jantung Abel berdebar-debar tak karuan, lantaran, perasaan khawatiryang tiba-tiba muncul di dalam hatinya membuatnya terus mencoba hubungi Widura.
Karena ia ingat, Widura berkata bila ia sedang tertimpa musibah.
Kali ini panggilan Abel ditolak.
Posisi duduk Abel otomatis langsung berubah. Gadis itu benar-benar panik. Karna bukan lagi suara sambungan panjang yang diterima olehnya. Namun, jangan panggil Abel kalau tidak nekat. Perempuan itu tetap menghubungi Widura.
Setelah dua kali mendapat penolakan, akhirnya panggilan mereka terhubung.
Perempuan itu malah mendengar kegelisahan dari sebrang. Deru napas orang yang ditelepon tidak beraturan dan terdengar pula kerusuhan di seberang.
"Halo, Kak Wid—"
"Lo bisa diem dulu gak sih?!" Bentak laki-laki di seberang.
TATAPAN Ghazi fokus ke depan saat mobil yang mereka duduki berjalan. Estrella menyibukkan diri dengan ponsel, dan lagu Lemon Tree berputar. Bukan tanpa alasan kenapa Estrella membuka-tutup berbagai aplikasi. Ia tidak ingin saat ia meletakkan ponselnya, suasana akan terasa canggung —meski sekarang sudah terasa.
Sama halnya dengan Ghazi.
Ia terus saja menatap jalanan di depan.
Meski kepalanya tidak mau diam, ia terus memikirkan hal-hal kecil yang berkaitan dengan gadis yang duduk di sebelahnya saat ini.
Bila diingat kejadian-kejadian di sekolah tadi; Estrella seolah membuang muka saat di lorong loker (padahal mereka saling bersitatap selama dua detik) atau saat jam istirahat di kantin tadi; Estrella melewatinya begitu saja padahal mereka berpapasan. Yang terakhir, saat Estrella menolak ajakannya ke kantin bersama.
Ghazi semakin merasa bersalah. Ia yakin seratus persen jika perubahan pada Estrella ini ada kaitannya dengan kejadian kemarin. Ralat, bukan ada. Tetapi memang itulah akar dari segalanya. Lalu spekulasi-spekulasi lain muncul hingga membuat jantungnya menyentak resah.
Bagaimana bisa Estrella berubah drastis? Apa kesalahan yang ia lakukan itu benar-benar fatal? Tiba-tiba Ghazi terbatuk, menyembunyikan kekehannya.
Pake ditanya lagi. Lo bener-bener manusia paling bodoh, Zi, batinnya.
"Mau makan dulu gak?" Tanya Ghazi, sebelum memutar stirnya ke kanan.
"Dimana?" Estrella membalas tatapan Ghazi dengan sorot datar.
"Drive thru mau? Mumpung aku lagi bawa mobil?"
"Boleh."
"Gak papa kan MCD bukan A&W?"
"Gak papa," Estrella tersenyum simpul.
"Tadi kamu tumbenan nongkrong?"
"Iya, lagi mood."
Sambil mengantre di circuit drive thru, Ghazi membuka ponselnya, membaca pesan masuk dari Inaaya.
Inaaya Khairani: Ghazi sama Ella sdh makan belum nak?
Hisbatul Ghazi: lagi pesen drive thru tante😁
Hisbatul Ghazi: btw kalo mau nitip boleh kok tan
Inaaya Khairani: ah... sayang sekali padahal tante masak banyak lho
Ghazi tersenyum, ia melirik sekilas perempuan yang juga tengah sibuk dengan ponselnya. Tak lama, muncul pesan baru dari Inaaya.
Inaaya Khairani: btw lilinnya udah tante siapin delapan belas pcs, pokoknya lusa harus jadi ya. Tante ga sabar mau liat Ella pertama kalinya ulang tahun sama pacar. Di rumah lagi!
Kedua ujung bibir Ghazi tertarik, membentuk senyuman.
Hisbatul Ghazi: makasih tante udh bantu Ghazi☺️
Hisbatul Ghazi: Pokoknya kalo urusan surprise Ella, Ghazi bakal total kok Tan, apalagi kan Ella sama Ghazi mau lulus. Gak mungkin Ghazi lakuin semua ini setengah-setengah. Ghazi pengen Ella bahagia, sebelum kita mencar😅
Inaaya Khairani: aamiin... tolong ya nak jaga anak tante, tegurlah pelan bila dia salah. Jangan sampai ada yang menyakiti yaa... tante yakin Ghazi anak yang baik❤️❤️🙏🙏
Inaaya Khairani: coba dong fotoin muka kalian, mau tante masukin di grup keluarga hihihihihi
Ghazi langsung menoleh ke perempuan yang kini tengah berbalas chat dengan teman-temannya.
"Eh— mami kamu minta pap nih."
"Hah?"
"Iya, minta pap kita."
"Dari kamu aja."
Estrella tersenyum sambil mendekatkan bahunya dengan Ghazi yang tengah mengarahkan kamera depan ke arah mereka. Lalu, tanpa melihat hasilnya ia langsung mengirimkan foto itu ke Inaaya.
"Kamu lagi chattingan sama mami?"
"Iya, kan jadi— aku kabarin mami kamu kalo lagi sama aku. Sekalian ijin biar kamu boleh balik jam 9."
"Selamat datang, silahkan pesan." Suara operator membuat Ghazi menoleh ke kanan.
"Paket panasnya 2 sama kentang goreng 2." Laki-laki itu menoleh ke kiri. "Kamu mau es krim nggak?"
Yang ditanya menghela napas pelan dan menggeleng.
Setelah membayar, dan menerima pesanan mereka, Ghazi melajukan mobilnya ke arah parkiran, dan menghentikan kendaraannya di sana.
"Kamu nggak pengen makan di dalem?" Estrella mengintipi isi plastiknya, dan menyodorkan rice box yang satu lagi ke Ghazi.
"Aku pengen kita makan di parkiran sekali-kali. Kamu gak papa kan?"
"Gak papa, kok. Aku nyalain ya lampunya."
Setelah menyalakan lampu kabin, Ghazi memandangi Estrella yang mulai melahap ayam kentucky-nya. Dari jarak yang begitu dekat, ia memerhatikan bagaimana Estrella mengupas kulit ayamnya, dan menyisihkannya di sudut kardus. Tanpa disadari oleh laki-laki itu, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Kenapa malah liatin aku? Bukannya makan..." Estrella yang sadar diperhatikan, menatap Ghazi dengan raut bingung.
Kalo gue nanya nanti dia kehilangan selera makan, tapi kalo gue nggak nanya, gue bakal gini terus sama dia....
"El, Kamu kan bentar lagi ultah, kamu kira-kira mau apa?"
Estrella berhenti mengunyah. "Eng... apa ya? Aku sih nggak mau apa-apa,"
"Entah barang atau tempat atau apa gitu?"
"Um... kan taun lalu ulang tahun 17 dirayain di luar, sekarang pengen sih dirayain juga tapi di rumah aja."
"Kenapa emang gak mau di luar?"
"Karna takutnya nanti aku merantau, terus ya... aku gak bisa lagi ngerasain ulang tahun di rumah."
Ghazi manggut-manggut. "Kata kamu, kamu pengen di Jakarta aja?"
"Iya sih... tapi kadang aku ngerasa bosen juga sama hiruk pikuk ibukota gini, aku pengen keluar gitu dari zona ini."
"Terus rencana mau ke mana?" Melihat rambut Estrella yang menghalangi sisi kanan wajah, Ghazi menyelipkan rambut gadis itu dibalik daun telinganya.
"Bali... mungkin?"
"Kenapa Bali?"
Estrella tersenyum. "Karna aku ngerasa happy aja ketika di Bali, dan aku suka banget sama pantai. Jadi ya... kenapa enggak?"
"Kamu sendiri?"
"Mungkin aku bakal mantep di UI."
Diam-diam Ghazi memandangi Estrella yang tengah menikmati makanannya, seketika ia merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan di mata gadis itu.
"Aku minta maaf ya, El?"
Suara Ghazi kembali terdengar setelah Estrella memasukkan suapan ke-limanya, namun kali ini terdengar lebih lirih. Estrella langsung menoleh ke sebelahnya. Ia masih belum mampu mencerna sepenuhnya makna dari perkataan Ghazi.
Estrella terkekeh.
Suara kekehan kecil dari sebelahnya itu Ghazi anggap bahwa kekasihnya sudah tak tahu lagi harus berkata apa, atau lebih tepatnya risih akan kata-katanya. Kebisuan yang terjadi di antara mereka membuat Ghazi enggan mengeluarkan sepatah katapun.
Ghazi menelan ludahnya, ia melirik rice box-nya yang masih terbungkus rapat.
Dalam dirinya, ia begitu yakin kalau Estrella tidak suka dengan kejadian kemarin. Dan hal itu membuatnya menyesal. Yah, walaupun hal tersebut atas dasar "sama-sama mau", tetap saja.
Ghazi merasa bersalah.
Dengan setegah hati, laki-laki itu membuka rice box-nya. Kunyahannya pada setiap suapan yang masuk kian melambat, rasanya ayam di dalam mulutnya sudah tak gurih lagi. Kesunyian itu masih berlanjut sampai akhirnya mereka selesai dengan makanan masing-masing.
Estrella mengambil cup putih berlogo M di dashboard sebelum meneguk lemon tea-nya. Tak lama, Ghazi memengambil kardus milik Estrella dan menggabungkan dengan miliknya ke dalam kantong, saat ia hendak keluar dari mobil, Estrella menahan lengannya.
Ghazi refleks menatap Estrella dengan raut bingung.
"Kenapa?" Ini suara Estrella.
Ghazi belum menjawab. Estrella melepas tangannya.
"Bukannya kamu tau ya kalo ini bukan salah kamu?"
Keduanya mengingat saat kejadian itu, Estrella yang malah menarik Ghazi lagi saat laki-laki itu hendak melepaskan.
"Kamu nggak salah kok. Sama sekali enggak, malah aku." Estrella masih menatap sosok yang sedang menatapnya balik.
Namun Ghazi masih membisu.
"Malah harusnya aku yang minta maaf."
Ghazi mengusap wajahnya. Sebelum berniat untuk menyahuti Estrella. Pandangannya terkunci pada manik perempuan yang duduk di sampingnya.
Gadis yang masih mengenakan seragam itu diam, menunggu tanggapan Ghazi. Ia tak ingin tidurnya tak tenang seperti malam kemarin.
Dalam benak Ghazi, semua hal ini memang didasari atas rasa sama-sama mau. Tetapi, bila ia mengingat kata-kata Estrella yang malah minta maaf membuatnya semakin tak tenang. Namun, ia merasa begitu enggan untuk menanyakan hal tersebut.
Ia tak tahu, mengapa rasanya enggan sekali menanyakan alasan perempuan itu malah meminta maaf balik.
Estrella mengambil alih kantong dari cengkraman Ghazi, lantaran tak jua mendapat tanggapan apa-apa.
"Aku keluar—"
"Kenapa jadi kamu yang merasa bersalah?" potong Ghazi.
Setelah pertanyaan itu meluncur dari mulut Ghazi, bukan hanya Estrella yang merasa terluka, laki-laki itu pun juga. Entah mengapa ia benar-benar menyesali apa yang baru saja ia tanyakan.
"Udah lah, lupain," gumam Estrella, sebelum ia keluar dari mobil, dan bergegas ke toilet.
Ghazi yang memandangi Estrella dari tempat duduknya, menunduk, mengambil tisu basah di dashboard.
Tepat saat Ghazi sedang mengelap tangannya, terdengar dering ponsel nyaring di jok sebelahnya.
Anika Calling...
"Halo iya, Nik?"
"Halo, Zi!" Seru perempuan di seberang. "Eh gue buru-buru banget nih! Tolong dong! Gue baru inget!"
"Apa?"
"Lo lagi sama Ella kan? Tolong fotoin tugas Sosiologi dong yang Essaynya!"
"Hah? Gue gak tau bukunya yang mana."
"Udah sih cari aja di dalem tasnya!"
"Nggak ah! Gue gak pernah buka-buka tas dia."
"Ya Allah tolong kek! Urgent banget nih. Soalnya gue, Aci sama Giska belom dapet nih dari anak-anak."
Ghazi melirik tas backpack di jok sebelah dengan tatapan ragu.
"Ayolah tolongin, kan gak aneh-aneh?"
Ghazi menghela napas panjang. "Yaudah iya sebentar gue cari."
"Oke!"
Dengan berat hati, Ghazi membuka retsleting tas Estrella, ia membuka satu persatu barisan depan buku tulis di sana, dan begitu menemukan buku pelajaran yang diincar Anika, laki-laki itu langsung membuka halaman terakhir bagian tugas.
"Udah ketemu nih."
"Langsung fotoin ya! Makasih Ghazi!"
Setelah memotret lima halaman jawaban essay, laki-laki itu iseng membuka halaman terbelakang di sana. Ia pikir ada coret-coretan gak jelas seperti di buku siswa lain, ternyata nihil.
Lalu, saat ia tak sengaja membuka dua lembaran paling tengah, fokusnya langsung menajam. Jantungnya berdebar-debar.
Sekarang jam 02:47 tiba-tiba saja aku gak bisa tidur, teringat kamu. Hai kamu. Apa kabar? Aku masih seperti dulu. Perasaan aku ke kamu masih belum berkurang sejak awal tragedi aku menangis di SMP dulu.
Secara fisik, kita padahal deket banget, tapi entah kamu atau aku saling menjauh. Sebetulnya, aku nggak sepenuhnya kuat untuk jaga jarak dari kamu.
Tapi aku perlu tau seberapa besar kamu merasa kehilangan? Atau malah nggak sama sekali?
Kebodohanku sampai saat ini masih saja terulang. Iya, mengingat-ingat momen bersamamu yang padahal gak sebanding sama kisah orang-orang. Tapi tetap saja, aku gak bisa berkelit.
Aku kangen kamu. Aku kanget masa-masa saat kita bisa saling bicara lepas satu sama lain.
Yah walaupun dari dulu kamu dingin, aku tetap aja suka. Bahkan pas SMP diam-diam aku udah jadi secret admire kamu, kamunya aja yang gak tau.
Diam-diam aku cari tau alamat kamu, hobi kamu, bahkan sampe makanan favorit dan lagu-lagi kesukaanmu. Semua itu aku cari tau sendiri.
Gak terasa ya, 5 tahun sudah kita saling kenal.
Berkat kamu, aku punya motivasi untuk berubah, memperbaiki penampilan. Yah, walaupun responmu sama saja. Tetapi, gak apa. Aku gak nyerah gitu aja.
Di awal kelas sepuluh, kita satu ekskul. Aku padahal dulu gak suka fotografi, tapi karna pengen sama kamu terus, aku ikut. Kita sering banget mengobrol saat itu, yah walaupun harus aku yang memulai. Tetapi, asal kamu tahu.
Sampai saat ini, berbicara hal-hal tak penting denganmu adalah sesuatu yang bermakna buatku. Terserah buatmu penting atau nggak, yang jelas aku mau berdua terus sama kamu. Entah membahas masa depan atau menertawai masa lalu kita.
Kamu tau gak sih kapan momen terbaik di SMA itu?
Tentu pas kelas sebelas.
Terutama pas kita ngeband bareng buat pensi, itu adalah the best thing. Aku suka banget liat kamu main saxophone, nobody compares to you. Asli.
Kamu tau gak? Di tanda tanganku dari dulu tuh ada inisial nama kamu.
Tapi aku sadar kok harapan aku harus berhenti sejak bulan lalu. Sejak aku liat perempuan yang duduk di motor kamu.
Dari sana aku tau kalau kamu udah ada sosok yang harus dijaga perasaannya.
Begitu pula aku.
Walaupun setiap kali lihat kalian di parkiran aku datar aja, tapi tetap aja ada perasaan yang memberontak. Seperti perasaan gak rela. Tapi nggak apa-apa, aku pengen ucapkan selamat untuk kamu. Bahagia selalu ya!
Btw sebentar lagi aku ulang tahun loh. Dari dulu sebetulnya aku selalu memimpikan satu hari bahagia. Yaitu, rayakan ulang tahun sama kamu.
Sampai saat ini aku pengin banget hari itu terjadi—
Gak ada siapa-siapa, gak perlu tempat mewah, atau kue dan lilin. Aku cuma mengharapkan satu hari bahagia sama kamu. Betul-betul berdua aja seharian, seenggaknya untuk yang terakhir kalinya.
Entah sekedar jajan di pinggir jalan, atau keliling Jakarta naik motor kamu. Karena aku ingin punya satu hari terindah bersama kamu.
Setidaknya, sebelum menghadapi hari menyedihkan itu.
Hari kelulusan nanti.
Hari di mana kita benar-benar berpisah secara fisik dan segalanya.
Jujur, aku gak berani hadapi hari itu datang, bahkan untuk bayangkannya saja aku gak sanggup.
Walaupun aku bukan pilihan kamu, seenggaknya izinkan aku rasain satu hari terindah bersamamu, Wid.
Estrella, 03:11 AM
Sumpah akhirnya aku meluapkan part yang dari lama pengen aku publish
Seperti biasa, gimana gais part ini?
Sumpah aku ngerasa kasian sm Abel dan Ghazi, mereka kasian. Terutama Ghazi
Next chap insha Allah, ada yang ngeri2 lagi🙂
Nah kali ini aku mau kasih tau alasan kenapa aku baru muncul?
Jujur, karna aku bukan tipikal org yg nulis karna merasa tertuntut, aku nulis karna aku suka, jadi ketika aku ngerasa belum saatnya buat update, aku ga update, aku gamau cerita ini berjalan amburadul...
Intinya terima kasih ya semua udah mau nunggu+apresiasi karya ini. Maaf akunya kebangetan lama😭
/sad boi x sad gurl/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top