30.
Special thanks buat kalian yg udah selalu sabar nunggu Gulma
Sumpah moodswingku lah penyebab dari semua ini
Aku minta maaf sebesar-besarnya ya ga bisa update 2x😭
Snoh Aalegra — Fool For You
"Sorry—" Ghazi langsung melepaskan diri.
Estrella terdiam. Gadis itu menatap Ghazi dengan tatapan kosong.
Sedangkan yang ditatap, merasa bersalah. Laki-laki itu menghela napas panjang. Bibir Ghazi terbuka, ia hendak meminta maaf lagi. Namun dengan gerakan cepat, Estrella menangkup wajah Ghazi, menciumnya lembut. Ghazi tertegun, namun perlahan ia melumat dengan hangat dan merasakan getaran yang menjalar saat gadis itu balas melumat bibirnya.
Ghazi tiba-tiba merasa sesak, seolah semua oksigen dalam paru-parunya habis. Tapi ia tidak ingin lepas. Tangannya memegang tengkuk Estrella. Laki-laki itu tidak ingin menyisakan jarak.
Mata Estrella terbuka.
Ada air mata yang menggumpal di pelupuk.
Begitu melepaskan, Ghazi pun mencium sudut bibir Estrella sebelum mencium bibir gadis itu sekali lagi, dan membawanya ke dalam pelukan. Lalu, bibirnya ia tempelkan pada kepala perempuan itu. Hidungnya menghirup aroma kelapa dari rambut halus yang ia sentuh.
Dalam pelukan Ghazi, Estrella masih mengatur napasnya. Ada perasaan tidak nyaman yang menggerogoti di balik dada. Pelukannya kepada Ghazi semakin erat, dan ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membuat perasaan itu hilang.
Pandangan Estrella kembali memburam. Ia membenamkan wajahnya ke dada Ghazi. Dengan gerakan cepat, ia menghapus air matanya.
Ini merupakan ciuman pertamanya.
Harusnya ia merasa senang.
Harusnya ia berdebar-debar.
Tetapi mengapa tidak?
Mengapa ia tidak merasakan apa-apa? Mengapa semua terasa hambar?
Bagian paling menyedihkan— ia berharap bahwa sosok yang baru saja berciuman dengannya bukanlah yang tengah memeluknya sekarang.
Melainkan—
Kamu bukan pelarian, Zi. Bukan!
"Masa sih, El, lo nggak ngerasain apapun?"
Hampir satu jam sudah Giska menghabiskan waktunya untuk mendengar curhatan Estrella di Kafe Pocaccia. Mereka hanya berdua saat ini. Sengaja Estrella tidak mengajak Anika maupun Aci.
Entahlah.
Antara takut dan ragu, Estrella merasa belum yakin saja unuk bercerita pada kedua sahabatnya itu. Tepatnya, ia takut saja bila nantinya malah medapat omelan Anika atau reaksi tidak masuk akalnya Aci. Maka dari itu, ia merasa Giskalah sosok yang tepat untuk ia jadikan tempat curhat.
Estrella berhenti menyeruput smoothies-nya, perempuan itu langsung menghela napas dan matanya agak berkaca-kaca. Hal tersebut seolah memperlihatkan bahwa ia sudah berusaha mati-matian untuk menyembunyikan perasaannya selama di sekolah, dan baru bisa menunjukkan yang sebenarnya ketika ia sudah berpisah dengan Ghazi.
Sebetulnya, Giska sudah menangkap kejanggalan di raut Estrella, ketika mereka istirahat bersama tadi. Tak disangka, sepulang sekolah, Estrella mengajak ke kafe ini untuk membahas apa yang sebenarnya terjadi.
"Aku bener-bener gak paham kenapa bisa gini, Gis. Dari malem aja aku tuh gak bisa tidur," ujar Estrella. Satu tangannya menggosok tengkuknya gusar. "Sumpah ini gak enak banget. Aku gak tenang banget."
"Terus Ghazi pas sekolah atau pulang gimana tadi?" tanya Giska pelan. Gadis itu menarik napas pelan-pelan. Ia ikut sedih melihat sahabatnya gundah seperti ini.
Ciuman tanpa perasaan?
Giska benar-benar tak habis pikir.
"Dia kayak canggung juga, tapi lama-lama biasa lagi. Tapi—" Estrella menelan ludahnya susah payah. "Tapi aku tuh malah yang ngerasa linglung gitu loh... Ngerti nggak, sih? Dia ngomong, aku jawab. Abis itu dia diem, aku diem lagi. Sempet sih aku mergokin dia lagi liatin aku diem-diem di motor, terus dia langsung liat ke arah lain. Mungkin dia ngerasanya aku tuh marah ke dia, tapi sebetulnya aku sama sekali nggak marah. Malah aku –"
"Iya, iya. Gue paham," potong Giska. Tangannya terulur menyentuh pundak Estrella. "Terus, sekarang dia lagi chattingan gak sama lo?"
"Dia chat aku, tapi belum aku bales."
Giska menghela napas. "Kok bisa ya lo ngerasa hampa kayak gitu?" gumamnya pada diri sendiri.
Estrella hanya menghela napasnya.
"Tapi paling nggak, gini, deh, El. Lo kayaknya nggak bisa juga kalau terus-terusan begini. Soalnya gimana, ya? Lo ketemu terus sama cowok lo. Dan nggak enak juga, kan, setiap lo ketemu Ghazi, lo kayak berusaha buat suka sama dia? Mungkin awalnya lo emang ada rasa..."
Jeda sebentar, Estrella masih sabar menyimak.
"Tapi... rasa itu hanya menggebu di awal, karna pada akhirnya lo ngerasa kosong lagi kan? Gue nggak tau sih ini solusi dari gue tepat apa enggak, tapi coba deh lo bilang ke dia minta waktu dulu buat sendiri. Coba aja. Tapi inget, ya, El. Lo bukan minta putus, cuma minta waktu sendirian bentar. Apapun yang terjadi, gue nggak mau lo udahin gitu aja, El, lo baru pacaran sekarang."
"Terus kalo aku udah sendirian dulu nanti bakal gimana?"
"Paling nggak saat itu lo bakal ngerasa ada yang beda atau enggak tentang perasaan lo ke Ghazi."
"Tapi, Gis.. aku mau nanya deh."
Wajah Giska perlahan berubah curiga. Posisi duduknya jadi lebih tegap, seperti sudah bersiap jika ia akan mendengar sesuatu yang tidak mengenakkan.
"Menurut mu wajar nggak, sih, kalau ternyata selama ini aku masih sayang sama Widura?" Estrella menatap sahabatnya begitu sendu, hanya dalam hitungan detik, Giska pelan-pelan menarik diri sebelum menghela napas lagi. Giska menopang dagunya, namun masih menatap Estrella.
"Nah, El. Sebetulnya dia tuh satu-satunya oknum yang ada di kepala gue."
Tanpa sadar, Estrella menahan napasnya.
"Tapi wajar juga, sih, menurut gue," kata Giska. "Soalnya gimana, ya? Karna kita kan gak bisa memilih perasaan ini tuh buat siapa. Meanwhile, Widura kan cinta pertama lo. Basically, lo punya perasaan yang gak biasa sama cowok itu... ya sama dia. Meskipun dia responnya gak sesuai yang lo harapkan. Ajaibnya, lo masih nunggu dia, ngarepin dia."
Estrella membungkam mulutnya rapat-rapat, ia tak tahu harus mengelak seperti apa lagi.
"Ya Allah El... El..." Giska mengusap wajahnya. "Sebetulnya salah juga si kalo lo overproud terhadap diri lo sendiri dengan merasa kalau sama Ghazi lo bakal bener-bener lupa sama dia, itu tuh sebenernya udah salah. Karna gue tau pasti bakal lama banget untuk bisa lupa selupa itu sama Widura. Sekalipun nanti kalian pisah pas kuliah, belum tentu, El lo bisa beneran lupa sama dia. Sekalipun iya, itu akan memakan waktu yang sangaaat lama. Jadi kalau lo mau bener-bener move dari Widura, lo gak usah lagi kepoin every single things about him. You have to push him away from your life no matter what," ujarnya panjang lebar. "You deserve to be happy."
Estrella masih diam. Ia merasa pernyataan Giska tadi semakin membuatnya sedih. Itu semua benar. Perasaan Estrella untuk Widura memasng sebesar itu. Selain itu, saat mengejar Widura, Estrella merasa bahagia, meski selalu lebih banyak penolakan yang ia dapati.
Tetapi, herannya Estrella dulu tak peduli, ia merasa sakitnya hanya sebentar. Karena jika diulik lebih dalam lagi, banyak juga momen-momen indah yang masih membekas di kepalanya hingga sekarang.
Memang, sewaktu kelas sebelas antara Widura dan Giska melukainya. Tetapi, kan pada akhirnya Giska kembali pada Kievlan. Namun, kini berbeda cerita.
Ketika Abel datang, semuanya benar-benar berubah. Rasa sakit Estrella semakin dalam. Walau pada akhirnya ia putuskan untuk menjalin kasih dengan Ghazi, karna ia nyaris berpikir bahwa mungkin perasaannya terhadap Widura akan benar-benar hilang. Akan tetapi ia tak pernah tahu kalau jalan cerita yang ia hadapi akan seperti ini.
"Sumpah ini complicated banget." Giska membelah rambutnya dengan jemari. "Gue jadi takut salah ngomong."
"Sebetulnya aku yang buat semuanya jadi rumit begini. Ini bukan salah Ghazi ataupun Widura," ujar Estrella. "Tapi tuh, kadang aku suka kepoin Abel –"
"Tunggu-tunggu," potong Giska. "Abel adek kelas itu?"
Estrella mengangguk.
"Lo pasti benci dia ya?"
"Nggak benci juga—But, i did not mean to blaming at her!" Suara Estrella meninggi di akhir.
Giska terdiam. Ia menatap sahabatnya dengan tatapan sendu.
"Jadi, permasalahannya tuh sebetulnya satu."
Estrella melipat bibirnya.
"Acceptance. Emang berat banget, tapi lo harus belajar terima semua ini. Itu aja. Lepasin. Ikhlasin. Widura emang bukan buat lo."
JARUM pendek pada jam yang melingkari tangan Widura menunjuk ke angka dua belas dan matahari sedang terik-teriknya di luar. Ia yang sedang duduk di luar sebuah coffeeshop menunggu Abel masuk sambil melihat-lihat galeri di polaroid pacarnya.
Sesekali Widura tersenyum melihat beberapa foto-foto candid-nya yang Abel potret. Begitu slide berikutnya memunculkan foto selfie mereka, Widura tertegun. Jujur, dibalik foto-foto selfie mereka selalu saja atas unsur paksaan.
Karna, pada dasarnya Widura bukanlah tipe cowok yang menyukai selfie. Ia bahkan cenderung jijik untuk melakukan hal ini. Namun, karena paksaan Abel, Widura akhirnya mengalah.
Suara deritan meja membuat Widura mendongak, dilihatnya seorang gadis membawa nampan berisi dua cup minuman berlogo sbux. Perempuan itu menarik kursi, melepas kunciran rambutnya sebelum ia duduk di bangku.
"Ayo! Liat apa?" sontak suara Abel menghentikan kegiatan Widura. Abel yang sedang menancapkan sedotan ke dalam cup berhenti, sementara Widura memundurkan tubuhnya, dan melanjuti aktivitasnya.
Memilih ikutan cuek, Abel menyeruput frappenya, namun gadis itu teringat satu hal. Jantungnya langsung berdegup lebih cepat.
"Jelek banget ini," Widura memberi unjuk foto aib Abel.
"Ih! Gak sopan banget sih liat-liat kamera orang!" Abel refleks menjulurkan tangannya, namun Widura lebih dulu menghindar.
"Ih! Balikin gak?" tangannya bergerak, berusaha meraih polaroid beserta pelindungnya yang masih berada di tangan Widura. Namun, laki-laki itu menghindar, membuat Abel tidak bisa mengambil benda miliknya tersebut.
"Kak Wid, ah!" Abel masih berusaha meraih. "Sini deh!"
"Dih? Kok sewot?"
"Sini kameranya!" Abel memajukan tubuhnya ke arah Widura, meraih polaroidnya dari tangan laki-laki itu. "Tuh kaaan, ngeselin banget sih!"
"Lebay."
"Gak sopan!" Gerutu Abel.
Widura menyandarkan punggungnya ke kursi, saat ia hendak mengeluarkan rokoknya dari saku, ada panggilan masuk di ponselnya. Laki-laki itu mengenyit sebentar, dan tanpa berpikir ia langsung bangkit, menjawab panggilannya.
"Bentar." Laki-laki itu lalu berjalan ke arah pilar.
Melihat gerak gerik Widura, Abel tak dapat menyembunyikan raut kesalnya.
"Telfonan sama siapa sih sampe ngumpet-ngumpet gitu?"
Dari tempat duduknya, Abel mengamati gerak-gerik Widura yang tengah mendongak dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku. Ketika melihat laki-laki itu mengusap wajahnya, Abel tak dapat menahan kernyitannya.
Tak sampai hitungan satu menit, Widura kembali ke mejanya. Ia langsung menyambar jaketnya dan kunci motornya.
"Handphone lo masih ada aplikasi ojol kan?"
"Hah?" Abel melongo.
"Lo nanti baliknya naik taksi aja ya?" Widura memegangi kepalanya dengan satu tangan, suaranya terdengar agak panik, dan canggung.
"Apaansih—" Abel melotot, dengan raut tak percaya.
"Soalnya gue gak bisa anter lo. Gue harus cabut sekarang, ada hal yang harus gue urus." Potong Widura. Ia membuka ponselnya dan membuka aplikasi ojek online.
"Kenapa sih kak? Emang kakak mau kemana?"
Widura tak menjawab, ia langsung menghela napasnya begitu mendapat driver mobil.
"Nih, gue udah pesenin. Platnya—"
"Apa-apaan sih kak?!" Seru Abel, ia ikut berdiri.
"Gue harus pergi, Abel! Gue ada masalah penting!"
"Ya kenapa?! Emang masalahnya apa sampe sebegitunya?!"
Widura tak menjawab, ia mengetikkan beberapa pesan untuk driver, sebelum akhirnya menangkap layar data driver tersebut.
"Kak?" Suara Abel melemah.
"Namanya pak Arifin. Gue udah screenshot platnya ya. Kontaknya juga udah gue kirim ke lo, nanti langsung kabarin gue begitu udah sampe."
Dengan pandangan memburam, Abel menyaksikan Widura yang kini berlari menuju motornya hingga ia melajukan benda itu keluar dari parkiran. Tak lama, tangisan Abel pecah. Ia tak mengerti mengapa ia bisa semellow ini.
Tetapi, sedih sekali.
Abel merasa tak dihargai, bahkan terbuang.
Padahal selama di perjalanan tadi mereka sedang akur.
Namun secepat kilat kebahagiaan itu berubah menjadi kesedihan.
Abel mengusap air matanya, ia membuka chat terakhir dari Widura, dan menghubungi kontak driver taksi online itu.
"Halo?" Sapa suara bariton di seberang.
"Halo, dengan bapak Arifin?"
"Iya, bener, dengan siapa ya?"
"Saya pacarnya yang mesen tadi. Mau nanya, itu payment-nya cash atau cashless?"
"Tadi sih bayarnya pakai AVA, Mbak."
"Oh, yaudah kalo cashless bapak gak usah jemput saya ya pak,"
"Loh? Kenapa, Mbak? Bentar lagi aku sampe, tunggu bentar ya..."
Dari suaranya, Abel dapat mendengar sosok di seberang terdengar begitu gelisah. "Nggak— beneran nggak papa kok pak, soalnya saya mau dijemput temen saya."
"Beneran, Mbak?"
"Iya."
"Oo... ya sudah kalau begitu, makasih ya mbak!"
"Jahat banget sumpah." Gumam Abel begitu sambungan terputus, gadis itu menggeleng tak percaya.
Kirain Fadil doang yang jahat.
Dengan perasaan menjadi-jadi, gadis bersweater tosca itu berjalan gontai keluar kafe, ia merasa tak berguna sekaligus bodoh. Kenapa Widura tak memperbolehkannya tahu permasalahannya? Padahal, kan mereka sudah berkomitmen untuk saling percaya.
Tetapi apa?
Janji tinggallah janji, semua hanya berakhir menjadi omong kosong.
Setelah berjalan selama kurang lebih sepuluh menit, dari bayangan Abel melihat beberapa mobil memasuki kompleks yang tengah Abel lewati.
"Eh— bocah! Siapa sih... Eh! Ceweknya Widura!" Seruan dari belakang membuat Abel menoleh.
Abel mengernyit melihat sosok pirang dibalik jendela yang terbuka. "Lo ngapain bege sendirian?"
"Mau balik."
"Oh? Rumah lo daerah sini?" Laki-laki itu membuang puntung rokoknya sembarang arah.
Abel menggeleng.
"Terus di mana?"
"Pinang Emas."
Kievlan menganga. "Buset! Kurang jauh, bos!"
"Udah sini deh, naik! Kasian bener si. Bocil... bocil... sini biar om yang anter."
"Aku gak mau pulang sama cowok lain," kata Abel, dingin.
"Lah? Yaelah. Tenang aja, kali. Gue kan temenan sama Widura dari orok!"
Melihat Abel kembali diam, Kievlan menghela napasnya. "Yauda kalo lo gak mau barengan sama gue, mampus si kepanasan. Overcook ntar."
Kata-kata Kievlan sontak membuat Abel langsung mendongak, menatap langit. Demi apapun! Sinar UV musuh bebuyutannya kini tengah membakar kulitnya?!
"Heh! Malah liatin langit kayak syuting azab lagi! Gc naik! Ntar gue diklaksonin ini!" Seru Kievlan.
Abel melangkah ke mobil Kievlan yang kini berhenti tidak jauh dari gerobak rujak. Perempuan itu membuka pintu, sebelum ia duduk di jok sebelah pengemudi.
"Lo kenapa random banget dah jalan sendirian lagi hareudang begini?"
"Orang aku mau naik kereta." Abel mengelap keringat yang mengalir deras di sekitar dahinya.
"Buset! Jalan kaki lu ke stasiun?" Entah sudah keberapa kalinya anak kecil di sampingnya membuat Kievlan syok. "Lah? Pinang Emas kan lumayan jauh dari stasiun?"
Abel hanya menggeleng.
"Terus?" Kievlan menginjak pedal gasnya.
"Yaudah. Tolong drop aku di stasiun MRT,"
"Lah? Bocah stress kali?"
"Aku mau abisin saldo kartu MRT aku."
"Emang lo kenapa gak minta jemput sama cowok lo, dah?"
Abel lagi-lagi menggeleng.
"Kenapa? Dia males jemput ya?"
"Gak tau, padahal tadi lagi nongkrong bareng malah main ninggalin gitu aja."
"Loh? Kok gitu? Berantem apa lo berdua?"
"Berantem sih nggak. Cuma gak tau ah!"
Kievlan menggeleng samar. Laki-laki itu mengecilkan volume tape.
"Nih ya, gue kasih tau. Kalo Widura marah-marah iyain aja, jangan dilawan. Kalo lo lawan malah makin jadi, gue tuh tau banget dah tabiat dia kayak gimana. Jangan terlalu dimasukin hati omongan dia, kadang nyelekit si, tapi emang udah karakternya begitu," Kievlan menjeda sebentar. "Tapi, dia orang baik kok, serius gue."
Entah mengapa, agaknya kalimat Kievlan terdengar seperti penghibur. Namun, tetap saja rasa kesal pada Widura tidak dapat hilang begitu saja.
"Kakak yang namanya Kievlan ya?"
"Iya. Kalo lo?"
"Abel."
Kievlan manggut-manggut, "Gak usah pake salaman yak, ntar lu baper repot gue."
Bila biasanya Abel akan membalas jokes Kievlan, kali ini tidak. Ia tak merespon apa-apa.
Entahlah.
Rasanya untuk bercanda saja sulit.
Jangankan untuk bercanda, pura-pura baik-baik saja pun sulit.
Kemudian selama di perjalanan, mereka tenggelam dalam keheningan panjang. Sebetulnya ingin sih Kievlan mengajak Abel mengobrol banyak, tetapi nampaknya mood anak itu sedang tidak baik, jadi Kievlan memilih diam saja. Ia lalu memutar stir mobilnya ke arah kiri, tepat di depan stasiun MRT.
"Ini beneran mau turun di MRT?"
"Iya."
"Yaudah iya."
Abel terkekeh pelan. "Makasih ya kak."
Merasakan botol dingin di lengannya, Abel langsung menunduk. "Biar lo gak aus. Lo hati-hati, jangan mau kalo dikasih minum sama orang gak dikenal."
"Iya kak." Abel nyengir. "Makasih lagi ya!"
Abel mengangguk pelan melihat Kievlan mengangkat satu tangannya, sebelum membunyikan klakson satu kali. Di atas zebra cross, ia memperhatikan di sana hingga mobil Kievlan sudah tidak terlihat lagi. Dan kemudian gadis itu berbalik melangkah ke arah stasiun MRT.
Sore ini suasana stasiun tak seramai biasanya. Beberapa siswa berseragam ada yang malah sibuk foto-foto di sekitar stasiun. Cengkraman Abel pada botol minumnya meregang.
Tetapi, saat ia hendak mengambil ponselnya di dalam saku, botol minumnya jatuh—hampir menggelinding ke turunan bawah. Untung saja laki-laki yang berdiri di belakangnya langsung menahan benda itu dengan kakinya lalu memungutnya, Abel pun langsung menoleh.
Dilihatnya seorang laki-laki bermata sayu kini berdiri tegap di hadapannya. Abel melihat ujung bibir laki-laki itu tertarik ke atas, membentuk seringai dan dengan ringan bertanya,
"Anak kecil kok berani banget keluyuran? Gak takut nanti dimarahin?"
Gimana gais part ini?
Menurut kalian siapa yg paling kasian?
Sebetulnya kalian si yg paling kasian, lama bgt nunggu. Once again, i deeply sorry for my bad:<
Kira2 ada yg bisa nebak siapa yg ketemu sm Abel itu ga?🧐🧐🧐
/est x kiev/
/Fyi, mereka sepasang mantan lol/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top