28.
Halo semua! Its been so long!
Maaf ya baru dateng. Btw part ini tidak dianjurkan untuk hater Abel, karena aku yakin kalian makin benci dia kl baca🤣🤣
Btw, terima kasih ya udah mau nunggu dan selalu ramaikan Gulma!🖤
Jessie Ware - Say You Love Me
JARUM jam pendek menunjuk angka 11, Estrella bersandar di sebelah jendela kamarnya, memandang ke halaman rumah yang hijau dipenuhi banyak pepohonan. Tapi bukan tentang apa yang dilihatnya yang sedang ia pikirkan. Bukan juga kaktus mati di sebuah pot cantik di sudut kamarnya.
Estrella diam memikirkan kata-kata Ghazi di mobil, dan memikirkan tentang bagaimana bisa ia memahami dirinya sendiri. Belakangan ini Estrella sering menghabiskan waktu mencari jawaban yang tidak pernah ditanyakan siapa-siapa.
Apa sebenarnya perasaan yang ia miliki terhadap Ghazi? Benarkah ini cinta? Ketertarikan itu tidak bisa dipungkiri tapi Estrella rasa Ghazi juga tidak bodoh.
Estrella yakin, Ghazi peka terhadap perasaannya.
Lalu Widura?
Ah! Mengapa sulit sekali ia lupakan sosok itu? Jelas-jelas yang banyak berkorban di hidupnya Ghazi. Lalu untuk apa? Untuk apa ia masih larut dalam perasaan menyiksa ini?
Tiba-tiba saja bayangan wajah seseorang yang sangat spesial baginya kembali memenuhi kepala. Estrella ingat tawa singkatnya, gesture arogannya saat bicara, sorot mata elangnya, cara ia mengunciri rambutnya, urat-urat di sekitar tangannya dan sentuhan tangannya.
"Ya Allah cukup, El!" Estrella mengusap wajahnya.
Tiba-tiba saja bayangan wajah seseorang itu berganti dengan sosok lain. Estrella ingat suara tawa renyahnya, cara dia memandang dunia, suara ramahnya, sorot mata teduhnya, lesung pipinya, pembawaan berwibawanya saat berbicara, dan sentuhan tangannya.
Estrella memeluk bahunya sendiri, masih teringat persis bagaimana pelukan hangat laki-laki itu dapat mengusir beban di atas pundaknya, dan hal-hal lain yang membuat sayatan di dadanya terasa dua kali lebih menyakitkan.
"We do love each other right?" Bisiknya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa perasaan ini memang hanya untuk kekasihnya seorang.
Alih-alih menarik napas panjang, Estrella membuka galeri ponselnya, membuka salah satu file yang sengaja diberi nama 'You'. Dari luar file itu memuat sosok berambut gondrong yang tengah memandang ke arah samping.
File ini. File yang selalu ia buka saat sedang mematikan internet, atau bahkan saat sedang tak tahu ingin membuka aplikasi apa. File yang isinya memuat wajah satu orang. File yang isinya foto-foto capture-an tanpa sepengetahuan orang yang difoto.
Estrella menggigiti bawah bibirnya.
Jantung Estrella berdebar tak karuan, mati-matian ia mengusir keraguan di dalam dirinya. Ibu jarinya mengeklik opsi select, dan menghapus file itu.
Ternyata, tiada yang lebih pahit daripada mengakhiri apa yang belum pernah dimulai.
"Gue kangen elo nih, Dek. Lo kangen nggak, sama gue?"
Suara kalem Caesar terdengar saat berhadapan dengan Widura di depan pagar sebuah kost deluxe berwarna silver. Kedua laki-laki itu sama-sama turun dari jok Ninja hitam masing-masing, terlihat tenang tapi tidak menutupi sorot benci yang dilempar satu sama lain.
"Dek?" Widura mendecih geli. Anjing!
"Gimana ya reaksi Mayang sama mama-papa kalo tau kita ketemu?" Caesar menjeda sejenak. "Ah... suruh nyusul aja kali ya?"
"Gue kasih lo waktu tiga menit buat cabut dari sini."
"Kalo gue gak mau cabut gimana?" Caesar melipat kedua tangannya di depan dada .
Widura tidak bisa menahan tawa jijiknya. "Gue rasa lo cukup tau kalo gue bukan manusia konyol kayak lo,"
Caesar menertawai kata-kata adik bungsunya di kartu keluarga , dengan percaya diri yang tinggi, ditambah nada sarkas nan dingin khasnya.
Suara tawa Caesar dan Widura 11-12, sama-sama mengerikan dan sukses membuat siapapun bergidik saat mendengarnya.
Caesar sedikit terpukau pada ketenangan cowok itu, "Lo sama sekali gak berubah ya," dirogohnya saku, mengambil rokok, menyalakan, lalu dihisapnya kuat-kuat, tatapannya tak lepas dari Widura . "Entah dari jaman masih dipelihara sampe dibuang."
Tahu jika dirinya sedang dipancing, Widura memilih bergeming. Tatapannya menghunus tajam pada laki-laki yang umurnya lima tahun di atasnya.
Caesar mengembuskan asap rokoknya lamat-lamat, "Gacoan lo apa kabar? Si Sela itu?"
Bangsat.
"Atau lo udah ada yang baru sekarang?"
Widura tanpa sadar tertawa.
"Kenapa sih nggak lo kenalin aja ke mama? Oh ya. Lo kan dibenci ya sama dia, yaudah sama papa lah minimal. Oh! Mayang-Mayang!"
"You're done?" Sahut Widura ketus, dingin, dan menusuk.
Hubungan Widura dan Caesar sejak lama tak akur. Padahal saat kecil Widura sangatlah respect pada Caesar. Caesar pun saat kecil begitu menyayangi Widura . Namun, karena satu riwayat buruk, semuanya berubah.
Bahkan malam ini Caesar tak segan untuk menghabisi Widura.
Tak ingin membuang waktu, laki-laki gondrong itu berbalik badan berniat membuka pagar.
"Rayvanna Nabila..."
Nama yang diucapkan oleh mulut Caesar sanggup menghentikan aksi Widura detik itu juga.
Widura terkejut. Nama satu orang itu sanggup membuatnya diam, dan membeku seketika.
"Siapa? Abel ya?" gumam Caesar di sunyi dan dinginnya malam.
Keterkejutan Widura tak dapat disembunyikan lagi, ketenangan seolah tercabik dan membuat jantungnya berdebar tak karuan. Dalam diam itu Widura membalik badan, ditatapnya Caesar yang kini tertawa penuh kemenangan.
"Abel," Caesar menertawai wajah kaget Widura.
Tangan Widura terkepal tanpa dimimta.
"Abel apa gembel?"
Tatapan laki-laki berkaos hitam lengan panjang itu menggelap, penuh amarah, dan Caesar menyadarinya. Tapi ini kesempatan untuk menghancurkan Widura.
"Kenapa?" Caesar tertawa mengejek, "Kaget?"
Widura merasa terjebak, bibirnya terkunci rapat-rapat. Pandangannya menggelap seketika.
"Katanya junior lo ya?" Caesar menepuk bahu Widura . "Lagi imut-imutnya kali ya? Boleh lah check in satu malem doang? Kuat kan dia?"
Tanpa aba-aba ia menarik kerah kemeja biru Caesar dengan segala kekuatan dan meninju cowok itu keras hingga anak rambut cowok itu berjatuhan. Widura terlanjur emosi, ketenangannya hilang begitu saja.
"Jangan pernah seret dia, anjing!"
Caesar mengusap ujung bibirnya yang berdarah dengan punggung tangan. Tatapannya lurus pada Widura dengan sorot kemarahan dan kekecewaan. Dan ketika ia teringat kembali pada alasan mengapa ia memulai semua ini, ia tidak bisa menahan perih yang rasanya jauh lebih parah kalaupun Widura meninjunya beratus-ratus kali
"Sentuh dia. Lo beneran mati!"
Lima detik selanjutnya Caesar membalik keadaan dengan meninju perut Widura keras hingga laki-laki itu tersungkur dan kulit lengannya mengelupas oleh kasarnya aspal.
Widura dan Caesar berbalas tinju, menepis, menendang dan hal-hal lain yang dilakukan ketika berkelahi.
"Dia gak tau apa-apa, anjing!" sentak Widura, memegang perutnya yang nyeri.
Semakin terlena oleh amarah, Caesar menghajar Widura tanpa jeda. Mulai pelipis, hidung dan yang terparah adalah mata dan telinga hingga darah meluber ke mana-mana.
"Sampe kapanpun lo gak berhak bahagia! Karna apa? Karna lo tuh cuma anak kampang, bangsat!" Tambah Caesar.
MELIHAT sosok yang baru saja memasuki area taman membuat Abel buru-buru menghentikan selfie-nya dan berjalan menuju laki-laki itu. Ia tak dapat menahan pelototan kagetnya melihat Widura yang terluka.
"Astaga," gumamnya, ia menarik kakak kelasnya duduk di gazebo.
Tak lama, Mbak Rosi muncul berlari membawa kotak obat dan sebaskom air hangat serta handuk basah.
"Kakak kenapa?" Gadis berkaos putih polos itu duduk di sebelah Widura, meletakkan alat-alat tersebut di atas bambu. Widura yang masih kacau hanya berdiam.
Melihat Mbak Rosi berbalik masuk ke dalam, ia memerhatikan Abel mulai mengobatinya. "Kak? Kakak kenapa?" Abel mengulang pertanyaan.
Bukannya menjawab, Widura malah diam seribu bahasa. Ia sendiri tidak tahu harus menjelaskan dari mana. Setiap napas yang ia ambil terasa berat.
"Kakak abis berantem?"
"Enggak."
"Bohong!" Tangan Abel berhenti.
"Bener."
"Bohong!"
Widura menghela napasnya.
Gerakan tangan Widura mengusap pelipisnya terjeda seketika. Nada Abel terdengar penuh kepiluan. Perasaan Widura mendadak risau lagi. Sial.
"Kenapa sih aku dibohongin, kak?" Suara Abel bergetar.
Widura lagi-lagi menghela napasnya.
"Ini tuh—"
"Berantem!" Seru Abel. Matanya berair. "Iya kan?!"
Widura mengumpulkan anak rambutnya, dan menggenggamnya kuat-kuat, tanpa menguncir. "Gue anak laki. Ini hal biasa. Yang terpenting kan lo tau kalo gue baik-baik aja sekarang."
"Kak!" Abel teriak lagi. Air matanya meleleh begitu saja. "Kakak kalo belom apa-apa aja udah bohongin aku gimana nantinya?!"
"Yaudah. Ok. Gue emang berantem, tapi udah clear! Dan ini gak begitu sakit! Gue pernah lebih parah dari ini, jadi ini bukan big deal. Paham?"
"Apaan sih! Kakak mau jadi jagoan?!" Isak Abel.
Sambil berusaha menghentikan isakan, Abel menggigiti bagian dalam pipinya. Widura mengamati gerakan perempuan itu mengapus air matanya.
"Pake acara bohong lagi!" Tambah Abel.
"Gue nggak mau lo kepikiran."
"Tapi aku kan tetep kepikiran, malah dengan kakak bohong gini aku makin sedih lah." Air mata Abel tambah deras.
"Yaudah ah, jangan ditangisin." Widura mengusap air mata Abel, dan menatap kekasihnya dengan sorot sedih.
"Mana bisa aku gak sedih liat cowokku begini?!" Abel jadi emosi jiwa.
"Luka gue gak bakal sembuh kalo lo tangisin."
"Ya ini aku obatin kok!" Seru Abel. Ia mengambil kotak obatnya dan meletakkan benda itu di atas pangkuannya.
"Emang lo maunya apa?"
"Aku tuh maunya kakak nggak berantem lagi!"
Widura menghirup napas panjang.
"Iya nggak?!"
"Iya, sayang. Iya. Udah ya jangan bahas ini lagi."
Abel menggigit bagian dalam pipinya. "Yaudah ini masih mau diobatin gak?"
"Lo sendiri serius mau ngobatin nggak?"
"Ih kan!"
"Kalo lo serius harusnya gak perlu nanyain ini."
Abel memeras handuk yang sejak tadi terendam dan mulai menekan pelan bagian-bagian yang terluka. Melihat pergerakan lembut gadis itu membuat Widura teringat akan sosok yang sempat melakukan hal yang sama padanya di UKS beberapa bulan yang lalu.
"Gimana temen-temen lo? Masih ada yang nge-bully?" Ujarnya, berusaha lari dari bayangan wajah seorang gadis yang tiba-tiba muncul di benaknya.
"Enggak, paling kakak kelas aja ada yang rada sinis gitu kalo liatin aku." Abel membasahi kapas dengan alkohol.
"Ya, tinggal bales apa susahnya?"
"Tuh bibir kalo ngomong enak bener!"
Widura meringis pelan, menahan sakit di beberapa bagian kulitnya.
"Lo jadian sama orang yang tepat kok. Pokoknya gak akan ada yang berani ngusik lo."
"Cih. Jago berantem doang belagu." Abel membuka betadine. "Ayam aja jago gak belagu."
Widura tak menanggapi ucapan kekasihnya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Hingga akhirnya keduanya saling diam. Keheningan mereka terjadi selama Abel menekan pelan sudut bibir Widura. Dalam diam Widura mengamati gadis itu. Wajah imut cantiknya yang membuat siapapun gemas saat memandanginya.
"Kak Wid,"
"Hm?"
Merasa selesai dengan aktivitasnya, Abel menggeser baskom dan kotak obatnya ke sudut gazebo.
"Aku mau nanya."
Kebiasaan. "Apa?"
Abel tak langsung menyahut, perempuan itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Bibirnya bergerak-gerak tak jelas, ia tersipu.
"Apa sih yang bikin kakak tuh suka banget sama aku?" ujar Abel, akhirnya.
"Hah?" Widura mengernyit.
"Iya."
"Emang gue suka banget sama lu?"
"Lah terus kalo nggak suka banget suka aja gitu?" Abel ikut mengernyit.
"Iya. Suka doang."
"IIIIIH!" Abel mencubit pipi Widura yang tak ada bekas lukanya. "Udah tadi kesel diboongin sekarang dibully jadi makin kesel!"
Widura tertawa. "Yaudah jangan kesel-kesel."
"Ya kalo gak mau akunya kesel jangan ngeselin dong!"
Abel kini menyentil bagian pelipis Widura yang masih dipenuhi obat merah.
"A! Sakit!" Widura mengusap pelan bagian yang tadi disentil.
"Bodo!"
"Yaudah maaf, deh."
"Bodo. Aku budek."
"Heh apaansi."
Perasaan Abel masih berkecamuk. Ia mengembungkan pipinya dan memalingkan muka. Ogah bertatapan dengan Widura.
"Udah, dong. Masa gitu doang ngambek?" Widura memastikan.
"Au ah gelap!"
Widura membuka ponselnya, dan menyalakan flashlight.
"Terangkan?"
Abel tergelak. "Terangkanlah? Terangkanlaaah..."
Widura semula mengernyit, langsung menggeleng dengan kekehan geli.
"Tadi marah-marah, sekarang receh lagi. Bipolar kali lo ya?"
Tawa Abel berhenti. Sontak ia berubah datar, dan menatap Widura tajam.
"Awas aja kalo sampe kakak begini lagi aku bener-bener marah!"
"Beneran bipolar keknya nih."
Abel tak menggubris. Ia memalingkan wajahnya, dan menatap lurus tanaman di hadapannya. Diam-diam Widura tersenyum, kepalanya menggeleng geli. Ia menyenggol bahu Abel, namun perempuan itu bergeming.
"Hey."
Tanpa menoleh, Abel melirik Widura sinis.
"Sini dong." Widura merentangkan tangannya.
"Gak!"
Tak pedulikan penolakan dari mulut gadis itu, Widura merengkuh tubuh Abel.
"Gak mau bales?"
Bibir Abel maju dua centi, dengan gerakan lambat ia balas memeluk Widura. Kedua tangannya melingkari tiap pinggang Widura, ia mulai menggerutu di dada bidang laki-laki itu.
"Tapi Abel kesel," gumamnya. "Kesel banget. Kak Widura itu sengeselin-ngeselinnya orang ngeselin!"
"Yaudah lah kan sekarang udah nggak ngeselin kan?"
Abel langsung mendorong dada Widura sampai kakak kelasnya itu nyaris jatuh. "Apaan!"
"Bel!"
"Lagian gak ada akhlaknya banget jadi orang!
"Bel?"
"Kamu belom pernah diazab—"
Widura mengusap tengkuk Abel. "Gak enak ah sama orang rumah."
"Mereka pada kondangan bodo amat! Pokoknya aku mau puas-puasin marahin kakak!"
"Jelas-jelas lo yang gak ada akhlak." Widura mendekati Abel, hingga ia dapat melihat jejak air mata yang membekas di pipi merah gadis itu.
"YA MAKANYA KALO KAKAK GAK MAU AKU KAYAK GINI, KAKAK JANGAN KAYAK GITU!"
"Udah." Widura mengecup kening Abel.
Abel terlonjak, ia mengerjap. "KAK!"
Widura mengecup pipi kanan Abel. "Ini biar pipinya nggak merah."
"Ih, kak!"
Lalu Widura mengecup bibir Abel. "Kalo ini biar nggak teriak lagi."
"Kak—" Abel kali ini tak berteriak, ia terkejut setengah mati.
Demi apa?!
Demi apa barusan first kiss-nya dengan Widura?
Widura menarik pinggang Abel mendekat, dan memeluk tubuh mungil itu lagi. "This is all i need."
"Lepasin gak?!" Abel membeku.
"Nggak akan."
Merasakan kecupan ringan di puncak kepalanya, Abel menggigiti bawah bibirnya. Sebetulnya ia sudah tak bisa marah, karena perbuatan Widura membuatnya meleleh. Namun, karena ingin mendapat perhatian lebih, Abel lebih suka marah-marah.
"Kakak tuh sebenernya gimana sih orangnya? Kenapa bikin aku bingung terus?"
"Pegangan lah kalo bingung."
"Gimana mau pegangan kalo kakaknya malah meluk mulu kayak gini?"
Widura melepas pelukan itu lalu menatap kedua manik Abel. "Lo nggak suka gue peluk?"
"Ish!"
Widura tertawa, mengacak rambut Abel. "Terus kenapa daritadi dumel mulu?"
"Au ah!" Abel memukul bahu Widura.
"Gue mau minta sesuatu boleh?"
"Apa?" Sahut Abel, sok ketus.
"Liat gue."
Abel menurut. Ia menatap lurus sosok yang duduk di dengan posisi yang sama dengannya. Wajahnya datar, tapi tatapan matanya seakan-akan berbicara. Entah kata-kata apa, tapi yang jelas Abel menyadarinya.
"Kalo ada apa-apa bilang. Jangan pernah jawab panggilan atau chat dari nomor yang lo gak kenal, dan pastiin baterai lo jangan pernah dibawah 5%. Pokoknya stay contacted. Paham?"
"Kenapa deh emang?"
"Intinya paham gak?"
"Paham," sahut Abel. "Emang kenapa sih?"
"Karna gue cowok lo. Itu aturan dalam hubungan kita."
Abel mengubah posisi duduknya. "Kalo gitu aku juga punya aturan dong."
Widura diam, tak menanggapi.
"Satu: Kakak juga harus stay contacted. Dua: kakak gak boleh bohongin aku. Apapun itu. Aku gak mau banget dibohongin. Tiga: kakak gak boleh anter jemput cewek lain tanpa seizin aku. Empat—"
Abel menjeda sejenak, berpikir keras.
"Ah, kakak gak boleh selingkuh pokoknya nggak ada yang namanya deket-deket sama perempuan lain. Lima—kakak harus jagain aku terus, gak boleh ninggalin aku ataupun putusin aku."
Widura mendecih. Ia menjitak pelan kepala Abel, gerakannya terjeda karena gadis itu menahan tangannya, dan menggenggamnya. Tatapan mereka terkunci, semakin lama semakin dalam.
Abel menelan ludahnya, merasakan usapan lembut Widura.
Tak tahan ditatap seintense ini, Abel menggigit pelan punggung tangan Widura.
Widura tertawa. Merasa cukup bermanja dengan perempuan di depannya, Widura melirik aroljinya, lalu beranjak.
"Mau ngapain?" Abel terlonjak.
"Balik lah," Widura menghela napasnya.
"Ih! Kak!"
"Apalagi?"
"Kakak kenapa mau balik?"
"Hah?" Widura menatap Abel dengan sorot bingung.
"Masa balik? Parah banget."
Widura tak menanggapi.
"Nginep aja sih kak."
Reaksi Widura masih sama.
Abel mengembuskan napas perlahan. "Kakak nggak tidur sama Abel, tapi tidurnya ntar di kamar tamu!"
"Bel."
"Abel nggak mau kakak pulang. Maunya di sini aja."
"Bel."
Abel melihat Widura meretsleting jaketnya langsung menahan tangan laki-laki itu, dan menyuruhnya duduk lagi di sampingnya. "Kak," bisik Abel. "Kakak jangan pulang. Kakak masih luka!"
"Emang kenapa sih? Kan besok ketemu lagi di sekolah?"
"Gak mau." Abel menarik-narik lengan jaket Widura.
"Kan nanti malem VC kayak biasa?"
"Gak mau VC, lagian kan kakak masih sakit! Jangan nyetir dulu."
"Bel."
"Jangan pulang. Aku masih mau sama kakak!"
Widura menghela napasnya.
"Please?"
Kali ini laki-laki itu mendecak pelan.
"Hari ini aja. Nginep ya?" Sorot Abel penuh permohonan.
"Kalo gue nginep apa kata orangtua lo?"
"Mereka pasti nggak bakal marah."
"Tau dari?"
"I just knew." Abel mengangkat kedua bahunya.
Widurs menangkup kedua pipi Abel agar mata gadisnya tidak kemana-mana. Lalu di luar dugaan, ia mengecup pelan kening gadis itu. "Good night. Nanti begitu sampe langsung gue VC ya."
Gimana perasaannya tim WidBel?
Atau Widest?
Btw, mon maap Ghazi absen dulu di chapter ini. Next chap ada dia kok tenang wkwkk
Btw untuk yg mau tau rupanya Caesar macem mane, ini dia!
/sebetulnya dialah mr money uang kaget/
/sweaternya biar couplean sm kakwid/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top