25.

Hai gais! Maaf banget ya akunya baru muncul lagi!

Gabisa ngomong banyak selain makasih buat yg tetap setia sama Gulma. Once again, deeply sorry untuk keterlambatan yang super ini

Aku tunggu ya antusiasmenya! Jangan ragu buat komen atau mengkritik🖤

"HAHAHAHA –ya ampun, Es!"

Ghazi yang hampir melahap jagung bakarnya spontan tertawa saat ia melihat ke belakang mendapati gigi pacarnya dipenuhi noda hitam.

"Kenapa?" Estrella mengernyit.

Orang-orang yang berada di sekitarnya sampai menaruh perhatian karena sore hari di kawasan Puncak lumayan ramai.

"Buka kamera kamu deh," gumam Ghazi sebelum ia membuang jagungnya ke bawah dan menghampiri Estrella.

"Kamu mau foto-foto?"

Ghazi refleks tertawa lagi.

"Loh kok malah ketawa?" Estrella dengan lugunya kembali melahap jagungnya, membiarkan lengan jaket ungu yang membungkus bahunya melorot sebelah.

"Sumpah, ay," Ghazi menghela napas dan mengusap puncak kepala Estrella. "Yaudah, yaudah abisin dulu jagungnya."

"Punya kamu udah abis?" balas Estrella yang belum menyadari noda-noda hitam di giginya.

"Udah." Ghazi membungkuk dan membenarkan jaket Estrella. "Kamu mau nambah nggak?"

Perempuan yang rambutnya dicepol itu menggeleng pelan.

"Jadi foto-foto?" gumamnya hati-hati, agak malu mengajak pacarnya selfie duluan.

"Ayo."

"Loh? Aku kira kamu mau minta aku fotoin kamu?"

Ghazi tersenyum geli. "Kan ada pacar? Ngapain foto sendiri?"

"Diem. Lagi nggak mau digombalin."

"Aku nggak gombal, ay. Aku cuma—"

"Ish!" Estrella mengernyit jengkel, ia tak mau mendengar gombalan.

"Ntar kita sebelum balik magriban di sini dulu ya."

Estrella mengangguk.

Ghazi tertawa. "Sekarang kita ke sana dulu yuk."

"Mau ngapain?"

"Beli sekutrng."

Sambil berjalan santai di area jajanan masjid At-Ta'awun, Estrella tiba-tiba teringat obrolannya dengan Giska semalam tentang Widura. Percaya atau tidak, Estrella masih memikirkan hal itu berhari-hari.

Meski Giska sudah menekankan bila Widura sekedar tak sengaja menge-like fotonya yang boleh jadi muncul di explore Instagram, tetapi batin kecil Estrella masih berharap jika Widura memang stalking akunnya.

Salahkah ia?

"Kamu udah ada persiapan buat SBMPTN?"

Estrella menggeleng. Ia menurunkan jagungnya.

"Loh? Kenapa?" Ghazi menghentikan langkahnya.

"Kayaknya aku nggak ambil PTN deh." Estrella ikut berhenti.

"Terus kamu mau kuliah dimana dong?"

"Swasta, mungkin."

"Di?"

"Jakarta aja. Kamu sendiri dimana?" Estrella kembali mengigiti jagunya. Mereka kembali berjalan.

"Berarti kita ga LDR banget kan? Soalnya aku pengen banget di UI, yah semoga aja lolos."

"Lolos, pasti lolos."

"Belum tentu."

"Lolos." Estrella berhenti mengunyah. "Aku tuh tau gimana pinternya kamu. Bahkan kalo kamu apply di luar negeri aku yakin bakal tetep lolos juga."

"Jangan terlalu muji."

"Eh? Beneran tau," sahut yang perempuan, setelah mengunyah.

"Kamu kenapa nggak coba aja di Aussie?"

"Enggak mau."

"Kenapa? Kamu takut gak lolos? Kamu kan pinter?"

"Ya, aku nggak mau kita LDR-an."

Estrella menarik napas dalam-dalam. "Zi."

"Serius aku."

"Apaan sih?"

Ghazi menatap perempuan di sampingnya dengan cemas. "Ya aku nggak mau lah jauh-jauh dari cewek aku."

"Ghazi... ini tuh tentang masa depan kamu."

"Emang kamu bukan?"

Estrella refleks mendorong pelan lengan Ghazi. "Ck, gak usah gitu lah."

Ghazi meraih tangan kiri Estrella yang tadi mendorongnya. "Tapi aku beneran, Es. Aku juga seneng banget kali kalo lolos UI. Orang tua mana juga kan yang nggak bangga?"

"Iya. Aku tau. Tapi aku yakin kamu tuh bisa menempuh yang lebih tinggi, kamu punya potensi jangan disia-siain kayak gitu." Estrella melepas tangannya.

Ghazi memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan diam sejenak. "Yaudah, yaudah jangan bahas ini dulu ya."

"Terus maunya bahas apa?"

"Kita aja."

Estrella mengernyit, seolah bingung dengan kalimat pacarnya.

"Apa aja sih yang aku nggak tau tentang kamu?"

"Hah?"

Ghazi mengeluarkan tangannya. "Yah... aku mau tau kira-kira hal apa lagi tentang pacarku yang aku gak tau..."

"Emang kenapa?"

"Ya karna aku ngerasa kamu punya banyak rahasia."

"Emang kamu sendiri nggak ada rahasia?"

"Yah... pasti adalah. Kita fair aja..." Ghazi melembutkan intonasinya. "Sebenernya yang aku kepoin tuh kayak hal-hal kecil tentang kamu. Misalnya kayak... hal teraneh apa yang pernah kamu alamin atau hal apa yang paling kamu takutin— ya gitu lah..."

Tahu kekasihnya masih ingin bicara, Estrella tetap diam.

"Nggak kok... aku nggak lagi bermaksud buat ngusik privasi kamu. Aku tau batasan sebagai pacar, aku gak mau juga sih, Es terkesan nguasain hidup kamu—Cuma kalo emang ada yang kamu mau tanya atau share ke aku, aku pasti bakal up for that."

Melihat Estrella melamun, Ghazi tak dapat menahan tawanya.

"Caelah, serius amat si!" Seru Ghazi, di sela tawa. "Jadi nggak nih foto-fotonya?"

"Eh— ayo ayo!"

"Minta." Ghazi menunjuk tangan Estrella.

"Minta apa?"

Ghazi menghela napas, ia mengambil tangan Estrella dan mengigiti beberapa bagian jagung yang paling hitam di sana. Sedangkan Estrella mati kutu. Namun ia langsung berusaha normal lagi saat Ghazi merangkul bahunya. Kemudian yang laki-laki mengeluarkan ponselnya, dan membuka kamera.

"Astaga— eh kok kamu gak bilang-bilang si kalo gigi aku item?!" Estrella refleks melotot melihat Ghazi meng-capture asal saat mereka nyengir lebar.

"Daritadi sebenernya tujuan aku emang itu."

"Apus ih!" Estrella berusaha meraih ponsel Ghazi, namun laki-laki itu terlalu luwes untuk menghindar.

"Udah si biarin! Mau warna apa juga gigi kamu tetep cantik."

"Big smile!" Melihat gigi depannya masih hitam semua, Ghazi mengarahkan kamera layar depan ke arahnya dan Estrella.

BEGITU melihat galeri Snapchatnya sudah mencetak ke-102, Abel akhirnya berhenti selfie. Gadis itu lalu meletakkan ponselnya di kasur. Sebelum tergoda untuk merebahkan diri, gadis itu melangkah gontai ke meja rias, dan mengambil cleanser.

Setelah menuangkan micellar water ke kapas, ia langsung mengusapkan pada kelopak matanya. Diam-diam ada hal yang menggelitiki hatinya. Ia ingat kejadian pulang sekolah tadi saat Widura menolak ajakannya mencari makan dulu.

Karena selama pulang bersama, mampir ke kedai seafood salah satu rutinitas mereka. Widura suka sekali seafood, sedangkan Abel suka semua makanan. Tapi, tadi Widura malah tak menggubris ucapannya, ia malah banyak diam ketika Abel ngerusuh di motor.

Ya, memang sih Widura tuh pendiam.

Tapi, kan biasanya ada saja kalimat ejekan yang ia lontarkan ke Abel.

Paling tidak ada responnya, gitu.

Tapi kali ini boro-boro.

Sempat Abel mengira Widura tidak mendengar, tapi saat Abel memanggilnya, laki-laki itu menyahut.

Kan ngeselin.

Abel sudah berusaha asik, Widura malah terkesan terusik.

"Ish!" Desis Abel, ia berhenti mengusap kelopak matanya. Tak pedulikan sisi kelopak matanya dipenuhi noda hitam.

Saat ia hendak menuangkan micellar water di kapas barunya, ponselnya berbunyi.

Gadis itu refleks berlari ke kasur, dan menyambar ponselnya.

Kak Wid

Mata gadis itu membelalak. Saking terkejutnya, ia langsung terduduk. Ia bahkan tak sadar jika ia telah menahan napasnya. Otaknya tak mampu menebak-nebak apa yang akan dikatakan laki-laki itu.

"Apa?" Sapa Abel, suaranya sengaja dibuat sedingin mungkin. Gadis itu menggigiti bawah bibirnya.

"Lo dimana?"

"Rumah. Kenapa?"

"Mau keluar gak?"

"Kemana? Cari makan?" Abel tak dapat menahan senyumnya.

"Enggak."

Senyum Abel memudar. "Terus?"

"Yaudah."

"Yaudah?" Abel mengerutkan keningnya. "Gitu doang?"

Tak ada jawaban, panggilan langsung diputus Widura begitu saja. Kerutan di kening Abel semakin dalam.

"Ih? Apaan sih? Dasar orang tua yang gak tau diri!" Omelnya, pada ponsel.

"Bel!"

Sosok perempuan yang baru saja membuka pintu kamarnya, membuat Abel menatap Rosi yang baru muncul di ambang pintu kamarnya. Dan respon yang Abel berikan hanya kernyitan alis, tanpa bergerak sama sekali dari kasur.

"Temen kamu nungguin tuh di bawah!"

"Siapa? Helen?"

"Bukan."

"Sonia?"

"Ck, orang cowok!"

Fokus Abel otomatis buyar. Kakinya yang tadinya di atas kasur, langsung turun. Gadis itu refleks meletakkan menyambar ponselnya lagi. "Ih? Siapa mbak?"

"Gak tau saya lupa namanya siapa, buruan gih orangnya nungguin."

Dengan mata membulat, bibir gadis itu membeku. Ia masih tercengang atas ucapan pembantunya barusan.

"Buruan, Bel!"

Sempat membeku di tempat selama beberapa detik, akhirnya Abel turun. Ia membenarkan rambutnya yang tatanannya sudah kusut sebelum beranjak dari kasur dengan debaran jantung yang begitu hebat.

Gadis itu menuruni menuruni anak tangga sambil memerhatikan suasana rumahnya yang sepi. Orangtuanya tengah ke acara makan malam teman papanya, dan Rosi sepertinya balik lagi ke ruang TV untuk lanjutkan menonton serial Bollywoodnya.

Menghirup udara sekeras apapun sepertinya tak bisa mengusir kegugupan di dirinya. Sebetulnya ia tak hanya merasa gugup, tetapi juga takut dan heran. Gugup karena seketika muncul wajah dua orang laki-laki.

Widura.

Fadil.

Astaga bye parah opsi terakhir!

Degupan jantung Abel kini melebihi yang tadi. Bibirnya terbuka sedikit dengan mata yang sempat membelalak saat ia melihat sosok laki-laki berkaos gitam polos di depannya. Tapi perempuan itu tak dapat menahan senyum semringahnya.

"Gimana?" tandas yang laki-laki, sebagai pembuka.

"Gimana apanya?"

"Njir." Widura melipat kedua tangannya di depan dada. "Ini lo tuh bodoh beneran apa pura-pura sih?"

Abel refleks memundurkan tubuhnya ke belakang, dan menatap kakak kelasnya tak percaya.

"Gue mau ngajak lo keluar."

"Oh..." Abel nyengir. Ia menggaruk keningnya.

"Oh apa?"

"Oh, iyaa?" Cengiran Abel melebar. Gadis itu manggut-manggut.

Setelah itu, tidak ada lagi suara. Masing-masing dari mereka sama-sama diam, namun tatapannya beradu. Dan, kontak mata ini hanya bertahan beberapa detik, karna pada akhirnya Abel menyerah dan kembali menunduk.

"Live music bar nggak papa?" Widura melepas  ikat  rambut Abel, membuat lengkungan ujung rambut gadis itu terlihat jelas.

"Um— dimana?"

"Beer Garden?" Ujarnya, seperti tengah bertanya pada dirinya sendiri.

"Berdua aja?"

"Berdua aja," Widura mengangguk mantap.

Otak lemot Abel masih mencerna kejadian di hadapannya. Bibir Abel terbuka sedikit, ia tak ingin mengeluarkan sepatah katapun. Yang ia rasakan kini desiran darahnya yang mengalir lebih cepat setiap kali matanya beradu dengan mata Widura.

Melihat kegugupan di depannya teramat jelas, Widura tertawa. Ia melempar kunciran hitam tadi ke  arah  Abel,  membuat adik kelasnya itu salah tingkah  dan langsung memejamkan mata karena terkejut.  

"Ok. Gue kasih waktu lima menit buat lo bersihin mata."

"Kak Wid ayo ih terakhir!"

Setelah memilih filter baru di beranda Instagramnya, Abel kembali mengarahkan kamera ponselnya ke dirinya dan Widura.

"Nggak!" Tolak Widura mentah-mentah, jengkel karena mau-mau saja diajak foto lima kali.

"Ih kak?! Sekali lagi udah ayo janji deh!"

"Ini tuh filternya bagus banget, jarang ada yang make juga. Hampir gak ada yang make malah orang Indo, ini tuh lagi hits di luar!"

"Bodo amat."

Tepat setelah Widura mencebik seperti itu, Abel tidak langsung menyerah. Ia malah merogoh sling bag-nya, mengambil polaroid. Perempuan itu langsung mengarahkan kamera kepada wajahnya, dari tempatnya dan Widura berdiri.

Widura tak menyadari hal ini, lantaran ia terlalu fokua pada band jazz yang masih meramaikan panggung. Widura baru menyadarinya ketika flash dari kamera yang Abel pegang menyala.

"Anj—" Widura melotot. "Ngapain si fotoin gue?!"

Abel langsung menjauh, bola matanya melebar begitu melihat kertas foto yang perlahan keluar, dengan antusias ia mencabutnya. Walaupun hanya menampilkan sisi kiri wajah Widura, namun bagi Abel ini sempurna.

Rambut Widura yang dicepol, dan lekukan bibir yang datar khas laki-laki itu.

Buru-buru ia masukan selembaran tersebut ke dalam saku celananya.

"Tapi kak, aku nggak nyangka akhirnya kita nonton live music juga!" Abel mendekati Widura lagi.

Widura tak menanggapi, ia hanya menoleh sekilas.

"Yah, walaupun jam sembilan juga kita pulangnya..." Abel bicara sendiri lagi.

Gadis berkemeja kuning itu berjinjit, berusaha melihat para personil di panggung.

"Kakak paling antusias sama siapa?"

Tahu Widura tak mendengar, Abel menggoyangkan lengan kakak kelasnya.

"Apa?!"

"Kakak paling antusias sama siapa?!" Abel meninggikan suaranya.

"Hindia!"

"Kalo aku Pamungkas!"

Padahal tidak ada yang bertanya.

Gadis itu lalu membuka ponselnya lagi, melihat-lihat hasil foto di galeri ponselnya. "Ih kak! Yang ini akunya bagus, tapi kakaknya malah merem..."

"Ini pertama kalinya ya lo nonton live music?" Widura tak berteriak, lantaran melihat band jazz tadi turun dari panggung."

"Enggak pertama kalinya sih. Tapi kalo sama cowok pertama kalinya!" Mengira kakak kelasnya bolot, Abel tetap berteriak.

"Gue denger. Gak usah teriak."

Abel mendecih pelan.

"Kira-kira menurut lo abis ini siapa yang manggung?"

"Pamungkas!" Sahut Abel, semringah.

"Pamungkas-Pamungkas mulu lo."

"Karna aku taunya dia doang, kalo Hindia cuma yang Secukupnya aja." Abel nyengir.

Widura tak merespon, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.

"Kak, aku mau bobba deh tapi nggak ada di sini!"

"Yaudah nggak usah!"

"Is! Aus!" Abel mencengkram lengan Widura.

"Di bar ini banyak minuman. Gak usah rewel!

"Tapi pengen bobba!!" Kali ini gadis itu menggoyangkan lengan Widura.

"Jangan rewel ah, males gue." Widura mengernyit, jengkel tanpa melepaskan tangan Abel darinya.

"Ih, kak. Cuma bobba masa nggak boleh?"

"Yaudah ntar aja pulangnya."

"Eh beneran loh ya?!" Abel mengganti posisi tangannya jadi menggandeng.

"Iya!"

"Tapi sambil makan aja yuk, Kak?"

"Gak. Nonton dulu. Makan nanti." Kali ini Widura melepas belitan tangan Abel. Bukan karena risih dengan sentuhan ini, tetapi mulut gadis itu.

"Ih emang kenapa sih?" Sebetulnya kenapa-nya Abel itu ditujukan untuk dua penolakan yang Widura beri.

Widura lagi-lagi tak merespon, dan tak menoleh sama sekali. Ia malah memiringkan kepalanya sedikit, untuk melihat band yang sedang bersiap maju ke panggung.

"Sambil duduk kek paling nggak?"

"Lo bisa diem gak sih?" Intonasi Widura berubah. Ia menoleh ke Abel.

Abel mati kutu. Gadis itu langsung membenarkan posisi earphone yang mengalungi lehernya.

"Lo ngapain deh pake bawa earphone segala?" Tanya Widura, baru menyadari penampilan aneh adik kelasnya.

Giliran Abel yang ngacangin Widura.

"Ditanya!" Widura menyenggol lengan Abel.

"Tadi nyuruh diem!"

"Yaudah serius gue ini maksud lo pake earphone biar apa?"

"Ya biar keliatan edgy aja."

"Edgy-edgy bangsat." Widura terkekeh. "Lebay yang ada."

"Ih kenapa emang? Gak suka?"

"Nggak."

"Yaudah sana pulang!" Seru Abel, sok sewot

"Terus kalo gue pulang lo di sini sama siapa?"

"Sama mereka semua."

"Tapi mereka udah pada gede. Lo kecil sendiri."

"Body shaming!" Kali ini Abel sewot beneran.

"Bukan kecil body maksud gue. Tapi lo tuh bocil, sedangkan mereka udah pada dewasa,"

"Emang kenapa kalo mereka pada dewasa?"

"Udah diem, Bel." intonasi Widura menegas begitu melihat sosok Baskara Putra menaiki panggung, dan langsung meremas microphone.

"Yah... bukan Pamungkas, kak!" Abel tak sepenuhnya kecewa, karena ia melihat guratan bahagia di mata Widura. Ditambah lagi senyum tipisnya yang tercetak jelas.

"Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?

Tak perlu memikirkan tentang apa yang akan datang

Di esok hari"

Para audiens ikut bernyanyi, termasuk Widura. Meskipun laki-laki itu hanya menggumam pelan, Abel suka melihatnya. Terlebih ia juga suka lagu ini.

"Wisata masa lalu

Kau hanya merindu

Mencari pelarian

Dari pengabdian yang terbakar sirna,"

Abel ikut menyanyi. Tak kalah antusias dengan audiens yang lainnya. Semakin banyak orang-orang mengerumuni area panggung, Widura refleks menahan lengan gadis yang berdiri di sebelahnya.

Sementara Abel yang sudah tenggelam dalam atmosfer tak menggubris sekitarnya. Ia tetap bernyanyi dengan keras.

"Kita semua gagal

Ambil s'dikit tisu bersedihlah secukupnya

AH AH AH AH!"

Tubuh mungil Abel bergerak sesuai irama musik, bahkan ia mengangkat kedua tangannya, seolah mengajak Widura untuk bernyanyi sekencang kencangnya.

"Abel."

Memandangi senyum lebar Abel yang tak juga memudar, Widura tak dapat menahan dirinya. Ia tertular.

"Abel!" Serunya lebih kencang.

"Hah?!" Suara audiens semakin ramai, Abel mengernyit. Lampu bar gelap, ia tak dapat membaca gerakan bibir Widura dengan jelas.

"Gue suka sama lo." Setelah sekian lama akhirnya Widura dapat merasakan lagi debaran tak karuan di jantungnya.

"Hah?!" Abel benar-benar tak dapat mendengar, tubuhnya tetap berjoget.

"Gue suka sama lo!" Widura memegang kedua bahu Abel, menyuruh gadis itu berhenti.

"Hah?!" Abel mengernyit.

Widura mengembuskan napas keras-keras. Tatapannya lalu tertuju pada benda yang melingkari leher gadis itu. Ia lalu memasangkan earphone di telinga gadis itu. Abel mengernyit heran, terlebih saat Widura menahan gerakan tangannya yang menunkan benda itu.

Tanpa mengulur waktu, Widura mengeluarkan ponselnya, dan menelepon gadis itu.

"Angkat!"

"Hah?!"

Widura mengarahkan ponselnya ke Abel, memperlihatkan layar ponselnya yang tengah menyambungkan telepon ke gadis itu.

"Oh— angkat..." Abel menggumam pelan, dan menerima panggilan. "Kenapa, Kak? Mau ke toilet—"

"Diem." Potong Widura. "Dengerin gue."

"Jangan dicela, karena nggak bakal ada reka ulang."

Abel mengernyit melihat Widura menaikan volume earphone hingga level teratas. Diam-diam ia merasakan jantungnya berdebar-debar, desiran aliran darahnya terasa lebih cepat.

"Hari ini gue mau nyatain kalo gue suka sama lo, Abel."

Tarikan napas Abel tertahan. Gadis itu dapat merasakan punggungnya memanas seolah ia baru saja berlama di uap sauna.

"Awalnya gue cuma ngerasa lo tuh biasa aja. Bahkan, jauh dari kata menarik. Lo itu alay, ribet, ngeselin, manja, kekanakkan, banyak bacot, intinya lo nggak kayak perempuan idaman gue—

Abel tak berkedip enam detik.

"Tapi entah kenapa lo selalu bisa buat gue khawatir setelah kakak gue. Semakin hari, gue ngerasa lebih hidup aja setiap sama lo. Dan setelah gue pikir-pikir, gue ngerasa semakin yakin sama lo. Too good to be true i wanna be with you,"

Widura menghela napasnya sebelum melanjutkan, "So— will you, Rayvanna Nabila?"

Gimana part ini?

Wkwkwk ada yang udah berpaling atau masih netepkah?

Bingung2 deh🤣🤣

Btw, buat yg udah 18+ aku buat tribute trailer PDB ya, monggo dicek kalau berkenan!🖤

[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top